Jumat, 10 Februari 2017

Hubungan Industrial ( Prakerin Jillid 2 )



KATA PENGAHANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                       Jakarta,  8 Februari 2017












                                                                         BAB 1
   PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI. Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag, pekerja/buruh atau serikat pekerja buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu juga latar belakang penulis makalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi. Perjanjian kerja sebagai sarana pendahulu sebelum berlangsungnya hubungan kerja, harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya, dalam arti mencerminkan keadilan baik bagi penguasaha maupun bagi buruh, karena keduanya akan terlibat dalam suatu hubungan kerja. Di dunia barat kehidupan masyarakat seperti halnya merupakan arena pertarungan antara kepentingan-kepentingan perseorangan yang saling bertentangan, sedangkan didalam lingkungan masyarakat Indonesia adalah tempat kerjasama dimana anggota melakukan tugas tertentu menurut pembagian kerja yang tertatur menuju tercapainya cita-cita bersama, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dalam masyarakat Indonesia yang demikian itu, misalnya dicerminkan dalam asas pokok yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, soal pemburuhan nanti bukan lagi semata-mata soal melindungi pihak yang perekonomiannya lemah terhadap pihak yang perekonomiannya kuat untuk mencapai adanya keseimbangan antara kepentingan yang berlainan, melainkan juga soal menemukan jalan dan cara yang sebaik-baiknya, dengan tidak meninggalakan sifat kepribadian dan kemanusiaan, bagi setiap orang yang melakukan pekerjaan, untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya dari tiap pekerjaan yang sudah ditentukan menjadi tugasnya dan sebagai imbalan atas jerih payanhnya itu mendapat kan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena




TUJUAN PENULISAN

Tujuan-tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan informasi tentang hubungan industrial pancasila di Indonesia. Sehingga dapat diharapkan pembaca dapat memahami teori hubungan pancasila dengan jelas dan dapat menganalisis informasi tersebut.

       BAB II
PEMBAHASAN

A Pengertian Hubungan Industrial
Hubungan industrial sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah Hubungan Industrial Pancasila. Berdasarkan literatur istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP) merupakan terjemahan labour relation atau hubungan perburuhan.Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara kerja/buruh danpengusaha.
 Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubugan Industrial Pancasila (HIP) departemen Tenaga kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, yang tumbuh dan berkembang di atas keperibadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk perilaku semua subjek yang terkait dalam proses harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh. Dalam pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
perilaku dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Hubungan Industrial berawal dari adanya hubungan kerja yang lebih bersifat individual antara pekerja dan pengusaha. Pengaturan hak dan kewajiban pekerja diatur melalui perjanjian kerja yang bersifat perorangan. Perjanjian kerja ini dilakukan pada saat penerimaan pekerja, antara lain memuat ketentuan mengenai waktu pengangkatan, persoalan masa percobaaan, jabatan yang bersangkutan, gaji (upah), fasilitas yang tersedia, tanggungjawab, uraian tugas, dan penempatan kerja. Di tingkat perusahaan pekerja dan pengusaha adalah dua pelaku utama dalam kegiatan Hubungan Industrial. Dalam Hubungan Industrial baik pihak perusahaan maupun pekerja/buruh mempunyai hak yang sama dan sah untuk melindungi hal-hal yang dianggap sebagai kepentingannya masing-masing juga untuk mengamankan tujuan-tujuan mereka, termasuk hak untuk melakukan tekanan melalui kekuatan bersama bila dipandang perlu. Di satu sisi, pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahan, tetapi di sisi lain hubungan antar keduanya juga mempunyai potensi konf1ik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak. Hubungan industri melibatkan sejumlah konsep, misalnya konsep keadilan dan kesamaan, kekuatan dan kewenangan, individualisme dan kolektivitas, hak dan kewajiban, serta integritas dan kepercayaan.Sementara itu, fungsi utama pemerintah dalam Hubungan Industrial adalah mengadakan atau menyusun peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan antara pekerja dan pengusaha berja1an serasi dan seimbang, dilandasi oleh pengaturan hak dan kewajiban yang adil. Di samping itu pemerintah juga berkewajiban untuk menyelesaikan secara adil perselisihan atau konflik yang terjadi. Pada dasarnya, kepentingan pemerintah juga untuk menjaga kelangsungan proses produksi demi kepentingan yang lebih luas.
Tujuan akhir pengaturan Hubungan Industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Kedua tujuan ini saling berkaitan, tidak terpisah, bahkan saling mempengaruhi. Produktivitas perusahaan yang diawali dengan produktivitas kerja pekerjanya hanya mungkin terjadi jika perusahaan didukung oleh pekerja yang sejahtera atau mempunyai harapan bahwa di waktu yang akan datang kesejahteraan mereka akan lebih membaik.
Sementara itu kesejahteraan semua pihak, khususnya para pekerja, hanya mungkin dapat dipenuhi apabila didukung oleh produktivitas perusahaan pada tingkat tertentu, atau jika ada peningkatan produktivitas yang memadai, yang mengarah ke tingkat produktivitas sesuai dengan harapan pengusaha. Sebelum mampu mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, semua pihak yang terkait dalam proses produksi, khususnya pimpinan perusahaan, perlu secara sungguh-sungguh menciptakan kondisi kerja yang mendukung. Kunci utama keberhasilan menciptakan Hubungan Industrial yang aman dan dinamis adalah komunikasi. Untuk memelihara komunikasi yang baik memang tidak mudah, dan diperlukan perhatian secara khusus. Dengan terpeliharanya komunikasi yang teratur sebenarnya kedua belah pihak, pekerja dan pengusaha, akan dapat menarik manfaat besar.

2. Landasan Hubungan Industrial Landasan hubungan industrial terdiri atas;
a. Landasan idil ialah pancasila
b. Landasan konsitusional ialah undang-undang dasar 1945
c. Landasan opersainal GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah
3. Tujuan Hubungan Industrial
Berdasarkan hasil seminar HIP tahun 1974 (Shamad, 1995: 12) tujuan hubungan industrial adalah mengemban cita-cita proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai derajat manusia. Sedemikian berat dan mulianya tujuan tersebut, maka semua pihak yang terkait dalam hubungan industrial harus meahami untuk terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial dengan baik.



Tujuan Hubungan Industrial  adalah mewujudkan Hubungan Industrial yang  harmonis,  Dinamis,  kondusif dan berkeadilan di perusahaan.  Ada tiga unsur yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
A.  Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan
B.  Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal/bipartit 
C.  Mogok kerja  oleh  pekerja  serta penutupan perusahaan (lock  out)  oleh pengusaha,  tidak perlu digunakan untuk memaksakan kehendak masingmasing, karena perselisihan yang  terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik. 
Namun demikian Sikap mental  dan sosial para pengusaha dan pekerja juga sangat  berpengaruh dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial yang kita karapkan.  Sikap mental dan sosial yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial  tersebut adalah
1.  Memperlakukan pekerja sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha sebagai investor 
 2.  Bersedia saling  menerima  dan meningkatkan hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja secara terbuka
3.  Selalu tanggap terhadap kondisi sosial, upah, produktivitas dan kesejahteraan pekerja
 4.  Saling mengembangkan forum komunikasi, musyawarah dan kekeluargaan.
4. Ciri-ciri Hubungan Industrial
a) Mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
b) Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
c) Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan perusahaan.
d) Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.
e) Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.
5. Sarana Hubungan Hubungan Industrial
a. Serikat pekrja/serikat buruh
b. Organisasi pengusaha
c. Lembaga kerja sama bipartit
d. Lembaga kerja sama Tripartit
e. Peraturan Perusahaan
f. Perjanian kerja bersama
g. Peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan dan
h. Lebaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
6.Prinsip- hubungan industrial
  1. Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
  2. Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
  3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas
  4. Kekeluargaan
  5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
  6. Peningkatan produktivitas
  7. Peningkatan kesejahteraan bersama

B. Kesepakatan Kerja Bersama
Menurut pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian peraturan perusahaan (PP) adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang membuat syarat-syarat kerja dan tata cara perusahaan.
Sedangkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perbandingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 13).
Pengertian dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1996/1997: 2) ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau serikat-serikat pekerja yang terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja dengan pengusaha-pengusaha, perkumpulan perusahaan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.
Dalam praktik selama ini banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian kerja bersama (PKB), seperti:
a. Perjanjian Perburuhan Kolektif (PKK) atau collecteve Arbeids Ovreenkomst (CAO);
b. Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Coolective Labour Agreement (CLA);
c. Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB); dan
d. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).
Semua istilah tersebut di atas pada hakikatnya sama karena yang dimaksud adalah perjanjian perburuhan sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 1954 (di mana undang-undang ini sudah tidakberlaku sejak memberlakukan undang-undang Nomor 13 tahun 2003).
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah suatu kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama – sama antara pengusaha atau beberapa pengusaha dengan organisasi serikat pekerja/gabungan organisasi serikat pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Organisasi serikat pekerja ini minimal mempunyai anggota 50 % lebih dari seluruh Karyawan yang ada di perusahaan. Persyaratan ini harus dipenuhi karena kalau kurang maka dapat berkoalisi dengan organisasi serikat pekerja sampai mencapai 50 % lebih atau dapat juga meminta dukungan dari karyawan lainnya.
Dalam hal suatu perusahaan terdapat lebih dari 1 serikat pekerja/buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh adalah serikat pekerja/buruh yang memiliki anggota lebih dari 50 % dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
Adapun dasar dibuatnya perjanjian Kerja Bersama ini merujuk pada  Undang – undang No. 18 Tahun 1956 yang diratifikasi dari Konvensi No. 98 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengenai berlakunya dasar - dasar dari hak untuk berorganisasi dan berunding bersama, Kemudian oleh pemerintah dikeluarkan :
1.      Undang - undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diatur mulai dari pasal 115 sampai dengan 135;
2.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep/48/Men/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
3.      Fungsi Perjanjian Kerja Bersama adalah sarana untuk memuat dan menuangkan kesepakatan baru yang didasari atas kesepakatan antara serikat pekerja/buruh dengan pengusaha yang disebut Lex Special artinya sebuah prodak yang tidak diatur dalam Undang – undang maka dia akan menjadi normatif bila mana sudah disepakati dan dituangkan dalam PKB serta telah diketahui oleh Dinas yang terkait dan mengikat kedua belah pihak untuk dilaksanakan.

Tujuan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama :
1.      Mempertegas dan memperjelas hak – hak dan kewajiban pekeja dan pengusaha
2.      Memperteguh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis dalam perusahaan
3.      Memetapkan secara bersama syarat – syarat kerja keadaan industrial yang harmonis dan atau hubungan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam peraturan perundang –undangan.


Manfaat Perjanjian Kerja Bersama :
1.      Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih memahami tentang hak dan kewajiban masing – masing
2.      Mengurangi timbulnya perselisihan hubungan industrial atau hubungan ketenagakerjaan sehingga dapat menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha
3.      Membantu ketenangan kerja pekerja serta mendorong semangat dan kegaitan bekerja yang lebih tekun dan rajin
4.      Pengusaha dapat menganggarkan biaya tenaga kerja (labour cost) yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya PKB.

C. Hubungan Bipartit dan Tripartit
Yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan, yang anggotanya terdiri atas pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekera/buruh (periksa Kaputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor Kep-255/Men/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lemaga Kera Sama Bipartit). Sedangkan Tripartit yaitu forum komunikasi, lonsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan, yang anggotanya terdiri atas unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah (periksa Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2005 tentang Tata kerja dan Susunan Organisasi Lembaga kerja sama Tripartit). Pengertian bipartit dalam hal ini sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses perundingan yang dilakukan antara dua pihak, ayitu pihak pengusaha dengan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, antara lain, apabila terjadi perselisihan antara pengusaha dengan pekera/buruh diperusahaan (surat edaran Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Nomor SE-01/D.PHI/XI/2004. perundingan bipartit pada hakikatnya merupakan upaya musyawrah untuk mufakat antara pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
1.   Penyelesaian dengan cara Bipartit
Penyelesaian perselisihan dengan cara Bipartit adalah penyelesaian Perselisihan yang dilakukan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat oleh Karyawan atau yang mewakili dengan Pengusaha atau yang mewakili yang dilakukan antara Pengusaha dengan Karyawan tanpa melibatkan Pihak lain.
Tujuan dilakukannya penyelesaian dengan cara Bipartit adalah agar penyelesaian   perselisihan    terhadap   Karyawan   yang   telah   melakukan pelanggaran dapat di selesaikan secara Kekeluargaan dan dapat menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan.
Upaya dan langkah yang dilakukan Perusahaan dalam melakukan upaya penyelesaian Perselisihan secara Bipartit adalah sebagai berikut:
A.    Penyelesaian perselisihan dilakukan dengan upaya pemanggilan terhadap Karyawan pada tingkat Perusahaan untuk mengadakan musyawarah untuk mufakat (bipartit);
B.     Dalam perundingan tersebut, harus dibuat risalah perundingan secara tertulis;
C.     Dalam musyawarah, Perusahaan dapat memberikan beberapa penawaran solusi kepada Karyawan dengan catatan penawaran tersebaut tidak bertentangan dengan Ketentuan Ketenagakerjaan yang berlaku;
D.    d.      Hal yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh Pengusaha adalah   Penawaran yang diberikan mempunyai nilai yang sepadan nilai kerugian Perusahaan serta tingkat palanggaran yang dilakukan apalagi penyelesaian ini akan berpotensi berlanjut pada penyelesaian yang harus dilakukan melalui institusi Ketenagakerjaan terkait (P4D/P atau Lembaga PPHI);
E.     Dalam hal musyawarah membuahkan hasil yang disepakati, maka Para Pihak harus menuangkan hasil kesepakatan tersebut dalam bentuk Kesepakatan Bersama yang insinya memuat minimal :
1.      Nama dan alamat karyawan;
2.      Nama dan alamat Pengusaha atau yang mewakili;
3.      Tanggal dan tempat perundingan dilakukan;
4.      Efektif Karyawan berhenti dari perusahaan;
5.      Jumlah kompensasi yang akan diberikan;
6.      Batas waktu dilakukannya Pelaksanaan kewajiban Para Pihak;
7.      Tanggal dan tanda tangan Para Pihak yang melakukan perundingan.
    F.     Dalam hal musyawarah telah dilakukan minimal sebanyak 3 kali dalam waktu maksimal 1 bulan akan tetapi Para Pihak belum menemukan kesepakatan, maka Para Pihak harus menuangkan kesimpulan musyawarah yang berisikan minimal :
1.      Nama dan alamat karyawan;
2.      Nama dan alamat Pengusaha atau yang mewakili;
3.      Tanggal dan tempat perundingan;
4.      Alasan pokok timbulnya Perselisihan;
5.      Pendirian Para Pihak;
6.      Kesimpulan perundingan;
7.      Tanggal dan tanda tangan Para Pihak yang melakukan perundingan





2.   Penyelesaian dengan cara Tripartit
Dalam hal penyelesaian ditingkat perusahaan tidak dapat dihasilkan kesepakatan, maka penyelesaian  perselisihan dapat dilanjutkan dengan mengajukan permohonan  Ijin PHK ke Suku Dinas Tenaga Kerja (“Disnaker”) Up. P4D/P atau Lembaga PPHI setempat.
 Langkah penyelesaian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
       Penyelesaian pada Tingkat Pemerantaraan
1)      Pegawai Perantara yang ditunjuk oleh Disnaker tempat Perselisihan didaftarkan, wajib melakukan pemerantaran perselisihan paling lama 7 hari setelah perselisihan didaftarkan;
2)      Pemerantaraan dilakukan dengan memanggil pihak pengusaha dan pihak Karyawan untuk didengar duduk perkara yang menjadi dasar terjadinya perselisihan;
3)      Dalam hal Pemerantaraan didapat kesepakatan penyelesaian maka Para Pihak wajib membuat Kesepakatan Bersama yang disaksikan oleh Pegawai Perantara;
4)      Bilamana pada tahap Pemerantaan ternyata belum dapat menghasilkan kesepakatan, maka Pegawai Perantara harus membuat anjuran tertulis yang memuat usul penyelesaian dengan menyebutkan dasar pertimbangan dan menyampaikannya kepada Para Pihak serta mengupayakan tanggapannya paling lambat 7 hari setelah diterimanya anjuran dimaksud;
5)      Apabila anjuran tersebut diterima, maka dibuat Persetujuan Bersama secara tertulis yang disaksikan oleh Pegawai Perantara;
6)      Apabila anjuran dimaksud tidak dapat diterima oleh Para Pihak, maka dalam waktu 7 hari setelah diterimanya tanggapan penolakan tersebut, Panitia Perantara harus meneruskan perkara perselisihan tersebut ke P4D (Panitia Daerah) untuk Peselisihan perorangan atau P4P apabila perselisihan tersebut berhubungan dengan PHK masal.

 D. Tata Cara Menyusun Kesepakatan Kerja Bersama
Dalam Organisasi Seperti lajimnya perjanjian, pembuatan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja sama juga ada ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan dimaksud adalah:
1. Pembuatan peraturan perusahaan
A.    wajib bagi perusahaan yang memperkerjakan minimal sepuluh orang pekerja/buruh.
B.     kewajiban butir (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang sudah memiliki perjanjian kerja sama.
C.     memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh, atau serikat pekerja/buruh. Disamping iru dapat juga berkonsultasi kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
D.    materi yang diatur adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
E.     sekurang-kurangnya memuat:
§  hak dan kewajiban pengusaha; 
§  hak dan kewajiban pekera/buruh; 
§  syarat pekerja; 
§  tata tertib perusahaan ; dan 
§  jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. 
F.      pembuatnya dilarang:
§  menggantikan perjanjian kerja bersama yang sudah ada sebelumnya; 
§  bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat diperselisihkan karena merupakan kewajiban dan     menjadi tanggung jawab pengusaha.

H. wajib mengjajukan pengesahan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk (yang bertanggung    jawab di bidang ketenagakerjaan.

     i. wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.  


E. LEMBAGA PENYELESAIAN KELUH KESAH DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam perjalanan Hubungan Industrial untuk mencapai suatu masyarakat industri yang diharapkan,  benturanbenturan antara para pelaku yang  timbul sebagai  akibat belum serasinya pemakaian ukuran dan kacamata untuk menilai permasalahan bersama kadangkadang tidak dapat dihindari. Keluh kesah bisa juga terjadi akibat berbagai pertanyaan yang timbul baik dari pekerja ataupun dari  pengusaha yang berkaitan dengan penafsiran atau pelaksanaan peraturan perundangundangan,  perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian  kerja bersama. Dapat juga karena berbagai tuntutan dari salah satu pihak terhadap pihak lain yang melanggar peraturan perundangundangan,  perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja besama.  Dengan demikian untuk menghindari  benturanbenturan tersebut perlu dikembangkan suatu mekanisme penyelesaian keluh kesah sehingga benihbenih perselisihan tingkat pertama seharusnya diselesaikan diantara pelaku itu sendiri.  Mekanisme penyelesaian keluh kesah merupakan sarana yang  seharusnya diadakan setiap perusahaan.  Mekanisme ini harus  transparan dan merupakan bagian dari  Perjanjian  Kerja, Peraturan Perusahaan (PP)  atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsifungsi  supervisi dari setiap para manajer merupakan kunci terlaksananya mekanisme ini. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam lembaga mekanisme penyelesaian keluh kesah ini. Penyelesaian dapat dilaksanakan lebih lanjut sesuai dengan Peraturan perundang undangan yang berlaku.

1. PENYELESAIAN KELUH KESAH
A.  Penyelesaian keluh kesah yang timbul di perusahaan didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat secara kekeluargaan antara pekerja dengan atasannya tanpa campur tangan pihak lain.
  B.  Apabila seorang  pekerja  mempunyai keluh kesah tentang segala sesuatu mengenai  hubungan kerja, pertamatama pekerja tersebut menyampaikan keluh kesahnya pada atasannya langsung untuk dimintakan penyelesaian. 
 C.  Apabila atasan langsung yang bersangkutan tidak menyelesaikannya atau pekerja tidak puas  atas penyelesaiannya, pekerja mengajukan masalahnya kepada atasan yang lebih tinggi. 13
D.  Apabila atasan yang  lebih tinggi tidak bisa menyelesaikannya atau pekerja tidak puas  atas  penyelesainnya maka pekerja dapat minta bantuan pengurus serikat pekerja untuk mewakili atau mendampingi pekerja untuk penyelesainnya lebih lanjut.

2. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
an pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.  Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena :
A.  Tidak dilaksanakannya hak pekerja
B.  Kesadaran pekerja akan perbaikan kesejahteraan
 C.  Kurangnya komunikasi antara pekerja dengan pengusaha
Penyelesaian Hubungan Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
A.  Penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial    Bipartit (wajib Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)    Mediasi, Konsiliasi, Arbiter (wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004) 
B.  Pengadilan Hubungan Industrial    Hukum Acara Perdata Pasal 57, UU No. 2 tahun 2004



      Menyelesaikan Keluh Kesah Pekerja dan Perusahaan
1. Menampung dan Menyalurkan Aspirasi Pekerja
Aspirasi pekerja adalah harapan-harapan pekerja mengenai penyempurnaan atau perbaikan berbagai aspek kondisi kerja, system dan suasana kerja di perusahaan. Aspirasi pekerja mengenai perusahaan sangat luas. Misalnya pekerja mengharapkan antara lain :
- Manajemen memperoleh sertifikat ISO 9002;
- Perusahaan menerima penghargaan kecelakaan nihil (zero accident);
- Hubungan industrial diperusahaan aman dan harmonis, tidak pernah terjadi pemogokan;
- Manajemen mengembangkan system pembinaan dan perencanaan karier;
- Manajemen mengembangkan profesionalisme dan system merit dalam penggajian;
- Pemimpin serikat pekerja mempunyai peluang besar menduduki jabatan direksi seperti di banyak perusahaan di Jepang.

Pekerja biasanya enggan menyampaikan saran atau aspirasi seperti itu kepada atasan langsung. 
Seorang atasan yang menerima saran seperti itu cenderung beranggapan bahwa bawahannya memajukan protes atau koreksi atas dirinya. Oleh karena itu, para pekerja biasanya merasa lebih aman menyalurkan aspirasi seperti itu melalui kotak saran, pengurus serikat pekerja atau langsung kepada wakil pekerja di LK Bipatrit. Saran melalui kotak saran atau serikat pekerja diteruskan kepada wakil pekerja di Lk Bipatrit, untuk kemudian dibahs bersama wakil pengusaha di LK Bipartit.

2. Menampung dan Menyalurkan Keluh Kesah
Keluh kesah pekerja dapat timbul karena berbagai alasan. Mulai dari perlakuan atasan yang 
kasar atau tidak adil, kondisi kerja yang kurang memuaskan , fasilitas kerja kurang memadai, ruangan kerja terlalu panas, menu makanan tidak cocok, tunjangan transport terlalu kecil, perlu pakaian kerja, atau mungkin karena harapan pekerja terlalu tinggi, tidak sebanding dengan kemampuan perusahaan.
Pekerja biasanya enggan menyampaikan keluhan seperti itu kepada atasan langsung, khawatir dianggap pekerja cengeng atau pekerja tukang protes. Oleh karena itu, keluhan seperti itu sebaiknya disampaikan melalui pengurus serikat pekerja atau langsung kepada wakil pekerja di Lk Bipartit.
Keluh kesah pekerja perorangan yang tidak segera ditanggapi atau disikapi dapat berkembang atau meningkat menjadi keluh kesah kelompok. Keluh kesah yang didasarkan pada harapan yang tidak rasional dapat menjadi sumber atau pemicu rasa ketidakpuasan pekerja bila tidak segera disikapi dan dijelaskan bahwa harapan tersebut tidak mungkin dipenuhi. Demikian juga keluh kesah yang didasarkan pada persepsi yang keliru, bila tidak segera ditanggapi dan diluruskan, mudah menjalar dan berterima bagi orang lain. Sehingga, menjadi keluh kesah kelompok . Oleh sebab itu, keluh kesah individu dan atau keluh kesah kelompok, harus segera ditanggapi dan diselesaikan supaya tidak sempat terakumulasi menjadi perselisihan.
Dibidang kesehatan ada peribahasa yang menyatakan bahwa mencegah penyakit lebih penting daripada mengobati penyakit. Peribahasatersebut juga berlaku dibidang hubungan antar manusia atau hubungan industrial. Pernyataan keluh kesah dapat dipandang sebagai gejala penyakit dan perlu segera segera diselesaikan. Supaya tidak berkembang menjadi perselisihan.
Perselisihan dapat dianggap sebagai penyakit yang membutuhkan banyak perhatian, biaya dan waktu untuk menyelesaikannya. Walaupun akhirnya dapat diselesaikan melalui kompromi, konsiliator, pegawai mediator atau pengadilan, perselisihan selalu meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan dan ketidakpuasan. Terutama bagi pihak yang merasa kalah dan dirugikan.
Dengan demikian, wakil pekerja di LK Bipartit yang menerima keluh kesah dan saran dari pekerja secara langsung atau melalui pengurus serikat pekerja, perlu segera menyalurkan dan membahasnya bersama wakil pengusaha di LK Bipartit. Bila dianggap perlu, wakil pekerja dapat menyaringuntuk sementara. Atau selanjutnya merasakan nama pekerja yang menyampaikan keluh kesah. Untuk yang sifatnya diperlukan memberikan penjelasan, wakil pengusaha bersama atau melalui wakil pekerja di LK Bipartit menyampaikan penjelasan kepada pekerja yang bersangkutan. Untuk kasus yang memerlukan keputusan pengusaha, LK Bipartit menyampaikan saran penyelesaian kepada menejemen atau pengusaha.

3. Penyelesaian Perselisihan
Harus disadari bahwa walaupun pengusaha dan pekerja secara terus menerus membangun
saling pengertian dan kerjasama dalam menghadapi keterbatasan, mungkin timbul perbedaan kepentingan bahkan menjadi perselisihan. Perbedaan kepentingan atau perselisihan hubungan industrial dikelomokkan dalam 4 aspek yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. 
Untuk mengantisipasi menyelesaikan perselisihan hubungan industrial telah dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibeberapa Pengadilan Negeri dan Mahkamah Kasasi pada Mahkamah Agung. Setiap perselisihan yang diajukan ke PHI melalui DInas Ketenagakerjaan, sebelum diterima untuk diselesaikan PHI selalu dianjurkan untuk diselesaikan secara bipartite dalam dua tahap. Tahap pertama, penyelesaian secara bipartit melalui pendampingan atau perantaran konsiliator atau moderator. Tahap kedua, perselisihan yang tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau mediasi diteruskan ke PHI. Sebelum ditangani PHI, kasus perselisihan tetap dikembalikan untuk diselesaikan secara bipartite. Dengan kata lain, penyelesaian secara bipartite harus selalu diutamakan dalam menyelesaikan kasus-kasus perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian secara bipartit memang tidak identik dengan penyelesaian oleh LK Bipartit. LK Biartit tidak secara otomatis menjadi lembaga yang menyelesaikan perselisihan industrial. Akan tetapi LK Bipartit dapat mencegah atau mengurangi kasus perselisihan bila setiap keluhan pekerja dan perbedaan kepentingan dapat diselesaikan secara tuntas oleh LK Bipartit. Demikian juga LK Bipartit dapat secara proaktif menyempaikan saran kepada Manajemen dan atau Serikat Pekerja dalam merespon anjuran penyelesaian perselisihan oleh konsiliator atau anjuran mediator PHI.

F.Tahap-Tahap Dalam Hubungan Industrial

 Hubungan industrial dalam suatu organisasi pada umumnya dapat digolongkan kepada lima tahap pertumbuhan, yaitu:
1.   Tahap Konflik
Pada tahap ini dalam hal timbulnya pertikaian perburuhan yang serius antara manajemen dengan para pekerja, manajemen akan mengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar pertikaian yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung jangan sampai berakhir dengan pemogokan. Langkah lain yang mungkin saja diambil oleh manajemen adalah melakukan infiltrasi ke dalam organisasi serikat pekerja.
2.   Tahap Pengakuan Eksistensi
Pada tahap ini manajemen membiarkan dan mengakui adanya serikat pekerja dalam organisasi yang dipimpinnya, meskipun sebenarnya disertai oleh sikap terpaksa. Jika negosiasi yang terpaksa dilakukan itu tidak berhasil, dan sebagai akibatnya para pekerja melakukan pemogokan, manajemen akan berusaha untuk menjadikan serikat pekerja menjadi tidak berfungsi dan akan melakukan segala cara yang dapat ditempuhnya untuk mengakhiri pemogokan dengan secepat mungkin.
3.   Tahap Negosiasi
Pada tahap ini serikat pekerja pun akan mengambil langkah-langkah yang menurut perhitungannya akan efektif dalam menggolongkan kepentingan dan tuntutan para pekerja, seperti penyediaan dana yang cukup untuk menjamin kesejahteraan para pekerja selama pertikaian belum terselesaikan.
4.   Tahap Akomodatif
Pada tahap ini manajemen tidak lagi berusaha mendiskreditkan pimpinan serikat pekerja dan bahkan dalam berbagai kesempatan dan peristiwa akan memuji peranan konstruktif yang dimainkan oleh serikat pekerja yang memungkinkan organisasi mencapai berbagai keberhasilan yang diraihnya.

5.   Tahap Kerja Sama
Tahap ini merupakan tahap yang paling maju dan paling ideal dalam hubungan industrial. Pada tahap ini, serikat pekerja turut serta secara aktif dalam peningkatan efisiensi, efektivitas, produktivitas dan semangat kerja para karyawan.

Menurut jenisnya terdapat 4 jenis perselisihan hubungan industrial yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pegakhiran hubungan kerja dan terakhir perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Untuk penyelesaiannya menurut UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan industrial ada 4 tahapan yang harus dilalui untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, yaitu melalui :


1.                      Perundingan Bipartit.
2.                      Konsiliasi atau Arbitrase atau Mediasi.
3.                      Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri.
4.                      Mahkamah Kasasi di Mahkamah Agung.

Di semua tahapan perundingan dan pengadilan tersebut serikat pekerja/serikat buruh berhak mewakili sebagai kuasa hukum dari pekerja atau buruh yang menjadi anggotanya.
Tahapan 1: Perundingan Bipartit.
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan dengan setidaknya ada 3 kali perundingan. Setiap kali perundingan harus dibuatkan risalahnya dan diakhir perundingan dibuat risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat :

1.                      Nama lengkap dan alamat para pihak;
2.                      Tanggal dan tempat perundingan;
3.                     Pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4.                      Pendapat para pihak;
5.                      Kesimpulan atau hasil perundingan;
6.                      Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Jika perundingan  bipartit  gagal , maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.


Tahapan 2: Konsiliasi atau Arbitrase atau Mediasi.
Setelah Dinas Ketenagakerjaan setempat menerima pencatatan perselisihan secara lengkap, maka Dinas Ketenagakerjaan terkait menawarkan para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika para pihak tidak menetapkan pilihan dalam 7 (tujuh) hari kerja maka Dinas Ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Waktu penyelesaian selama 30 (tiga puluh) hari.

Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Waktu penyelesaian selama 30 (tiga puluh) hari kerja dan boleh diperpanjang 14 (empat belas) hari kerja bila disetujui para pihak.

Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak yang tidak setuju atas anjuran yang dikeluarkan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Khusus Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Jadi tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, namun dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter.







Tahapan 3: Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial atau PHI dibentuk di Pengadilan Negeri. Pengadilan ini khusus dibuat untuk menyelesaikan persoalan hubungan industrial. Majelis terdiri dari Hakim Ketua yaitu seorang Hakim karier, Hakim Ad-hoc yang berasal dari serikat pekerja/serikatburuh, Hakim Ad-hoc yang berasal dari organisasi pengusaha, yang dibantu oleh Panitera Muda dan Panitera Muda Pengganti.

PHI berwenang memeriksa dan memutuskan :

1.                      Perselisihan hak untuk tingkat pertama,
2.                      Perselisihan Kepentingan untuk pertama dan terakhir;
3.                      Perselisihan Hubungan Kerja untuk pertama;
4.                      Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh untuk tingkat pertama dan terakhir.
Dalam hal perselisihan hak dan/atau kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.

Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat yang disebut dengan Pemeriksaan Dengan Acara Cepat.

Majelis Hakim wajib menyelesaikan perselisihan paling lama 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama.

Putusan PHI mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Sedangkan putusan PHI mengenai perselisihan hak dan perselisihan pengakhiran hubungan kerja mempunyai hukum tetap apabila dalam 14 (empat belas) hari kerja setelah mendengar langsung atau menerima pemberitahuan putusan PHI pihak yang berselisih tidak ada yang mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Permohonan Kasasi diajukan melalui kepaniteraan PHI pada Pengadilan Negeri.


Tahapan 4: Mahkamah Kasasi
Majelis Mahkamah Kasasi terdiri dari Hakim Agung, Hakim Ad-hoc yang berasal dari serikat pekerja/serikat buruh, Hakim Ad-hoc yang berasal dari organisasi pengusaha, dan Panitera.

Permohonan kasasi atas putusan PHI pada Pengadilan Negeri segera diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Hakim Kasasi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.

Tahap-Tahap dalam Hubungan Manusia SDM
Hubungan industrial dalam suatu organisasi pada umumnya dapat digolongkan kepada lima tahap, yaitu:
a.   Tahap konflik
Jika sifat hubungan kerja antara pekerja dan manajemen berada pada tahap ini, yang terjadi ialah bahwa manajemen berusaha sedapat mungkin untuk mencegah masuknya para pekerja menjadi anggota serikat pekerja. Dalam hal demikian, tidak mustahil apabila manajemen memberhentikan – biasanya dengan alasan yang dicari-cari – atau memasukan dalam ”daftar hitam” siapa saja diantara para pekerja yang menunjukan minat memasuki suatu organisasi serikat pekerja. Hal ini tentunya menimbulkan konflik. Dalam tahap ini manajemen akanmenolakuntuk berhubungan dengan para wakil serikat pekerja yang datang kepadanya.
Pada tahap ini dalam hal timbulnya pertikaian perburuhan yangserius antara manajemen dengan para pekerja, manajemen akanmengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar pertrikaian yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung jangan sampai berakhir dengan pemogokan.
b.   Tahap pengakuan eksistensi
Pada tahap ini manajemen membiarkan dan mengakui adanya serikat pekerja dalam organisasiyang dipimpinnya, meskipun sebenarnya disertai oleh ”sikap terpaksa”. Artinya, manajemen  memang mau berhubungan dengan para wakil serikat pekerja untuk membicarakan hal-hal yang merupakan sumber pertikaian dalam hubungan industrial, akan tetapi tidak dengan sikap yang ikhlas. Seandainya ada pilihan lain, manajemen akan tetap memilih untuk tidak berhubungan dengan serikat pekerja dalam menyelesaikan pertikaian yang timbul.
c.   Tahap negoisasi
Tahap ini pun bukanlah tahap yang didambakan dalam menumbuhkan dan memelihara hubungan industrial yang serasi. Dikatakan demikian karena pada tahap ini, manajemen tetap memandang serikat pekerja sebagai faktor penghalang dalam hubungan kerja antara manajemen dan para pekerja.
Jika terjadi pertikaian dengan para pekerja, negoisasi akan cenderung keras karena masing-masing pihak akan memprtahankan pendirian dan haknya secara gigih. Dalam situasi demikian, tidak mustahil bahwa manajemen akan berusaha mencari tenaga kerja sementara untuk menggantikan tenaga kerja yang ada, tetapi tidak produktif karena, misalnya melakukan pemogokan. Tindakan yang mungkin ditempuhnya ialah misalnya, menyerahkan kegiatan produksi atau jasa yang biasanya dihasilkan kepada organisasi lain untuk sementara waktu selama pemogokan berlangsung.
d.   Tahap akomodasi
Dalam hubungan industrial yang sifatnya akomodatif, tidak berarti bahwa manajemen menyukai kehadiran serikat pkerja dalam organisasi. Oleh karenanya manajemen belum tentu bersedia untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan pekerja untuk memperkuat kedudukannya dikalangan para pekerja. Akan tetapi pada tahap ini manajemen pada umumnya menyadari bahwa serikat pekerja dapat memainkan peranan yang positif dalam organisasional para pekerja seperti dalam rangka penegakan disiplin dan dalam mengarahkan prilaku para karyawan sedemikian rupa sehingga terjali ubungan kerja yang baik antara pekerja dengan manajemen.
e.   Tahap kerja sama
Tahap kerja sama merupakan tahap yang paling maju dan paling ideal dalam hubungan industrial. Pada tahap ini serikat pekerja turut serta secara aktif dalam peningkatan efisiensi, evektifitas, produktivitas dan semangat kerja para karyawan.Kerja sama didasarkan pada dua asumsi, yaitu:
Per                        pertama             :  kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan bila organisasi meraih berbagai keberhasilan.
Kedua  :           para karyawan berada pada posisi yang memungkinkan merka mengamati dan mengetahui proses produksi yang terjadi serta dapat mendeteksi berbagai kelemahan dalam proses produksi itu serta dapat pula memberikan saran-saran tentang cara untuk mengatasinya

  


                                                              BAB III                                                       
          PENUTUP


Kesimpulan
Hubungan Industrial adalah keseluruhan hubungan kerja sama antara semua pihak yang tersebut dalam proses produksi disuatu perusahaan. Ada beberapa landasan dalam Hubungan Industrial Pancasila yang harus diperhatikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dan menurut Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.Perjanjian kerja juga memiliki jenis dan asas-asas.
Saran 
Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari maka penulis mengusulkan beberapa hal sebagai berikut:
a.       Perlu adanya komunikasi dua arah dan terus-menerus antara pengusaha dan pekerja untuk mencegah prasangka dari kedua belah pihak sehingga tercapai hubungan industrial yang baik.
b.      Pihak pengusaha sebaiknya merespon tuntutan buruh secara cepat dengan melakukan pendekatan-pendekatan pada perwakilan serikat buruh/pekerja, sehingga unjuk rasa dan mogok kerja dapat dicegah atau paling sedikit unjuk rasa atau mogok tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan dan pekerja.
c.       Pemerintah perlu bertindak cepat dan proaktif dalam menyelesaikan perselisihan buruh/pekerja dengan pengusaha sehingga tindakan anarkis dapat dicegah.
d.      Pemerintah perlu segera menyusun perangkat perundangan ketenagakerjaan terutama yang menyangkut unjuk rasa dan mogok kerja sehingga tidak merusak citra Indonesia di mata investor.
e.       Perlu adanya tindakan tegas dan adil dalam menindak para pelaku unjuk rasa & mogok kerja maupun pihak lain yang bertindak anarkis.
\
   DAFTAR PUSTAKA

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999
Sendjun Manullang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, 
Farid Mu’azd, 2006, Pengadilan Hubungan Industrial, Jakarta, IndHillCo. 
Robert L. Mathis & John H. Jackson, 2001, Manajemen SDM,  Jakarta,  Salemba  Empat.  8. Susilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, 1987,  Yogyakarta, BPFE.

0 komentar:

Posting Komentar