KATA PENGAHANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami
juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, 8 Februari 2017
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, 8 Februari 2017
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure
pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah yang didasari nilai-nilai pancasila
dan UUD Negara RI. Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag,
pekerja/buruh atau serikat pekerja buruh serta penngusaha atau organisasi
pengusaha mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang sudah digariskan dalam
UUD. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial
prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu
perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar
karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu
juga latar belakang penulis makalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan
oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi. Perjanjian kerja sebagai sarana pendahulu
sebelum berlangsungnya hubungan kerja, harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya,
dalam arti mencerminkan keadilan baik bagi penguasaha maupun bagi buruh, karena
keduanya akan terlibat dalam suatu hubungan kerja. Di dunia barat kehidupan
masyarakat seperti halnya merupakan arena pertarungan antara
kepentingan-kepentingan perseorangan yang saling bertentangan, sedangkan
didalam lingkungan masyarakat Indonesia adalah tempat kerjasama dimana anggota
melakukan tugas tertentu menurut pembagian kerja yang tertatur menuju
tercapainya cita-cita bersama, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dalam
masyarakat Indonesia yang demikian itu, misalnya dicerminkan dalam asas pokok
yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
atas asas kekeluargaan, soal pemburuhan nanti bukan lagi semata-mata soal
melindungi pihak yang perekonomiannya lemah terhadap pihak yang perekonomiannya
kuat untuk mencapai adanya keseimbangan antara kepentingan yang berlainan,
melainkan juga soal menemukan jalan dan cara yang sebaik-baiknya, dengan tidak
meninggalakan sifat kepribadian dan kemanusiaan, bagi setiap orang yang
melakukan pekerjaan, untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya dari tiap
pekerjaan yang sudah ditentukan menjadi tugasnya dan sebagai imbalan atas jerih
payanhnya itu mendapat kan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena
TUJUAN PENULISAN
Tujuan-tujuan dari penulisan makalah ini adalah
memberikan informasi tentang hubungan industrial pancasila di Indonesia.
Sehingga dapat diharapkan pembaca dapat memahami teori hubungan pancasila
dengan jelas dan dapat menganalisis informasi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Hubungan
Industrial
Hubungan industrial sebenarnya
merupakan kelanjutan dari istilah Hubungan Industrial Pancasila. Berdasarkan
literatur istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP) merupakan terjemahan
labour relation atau hubungan perburuhan.Istilah ini pada awalnya menganggap
bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara
kerja/buruh danpengusaha.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubugan Industrial Pancasila (HIP) departemen Tenaga kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, yang tumbuh dan berkembang di atas keperibadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk perilaku semua subjek yang terkait dalam proses harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh. Dalam pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
perilaku dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubugan Industrial Pancasila (HIP) departemen Tenaga kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, yang tumbuh dan berkembang di atas keperibadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk perilaku semua subjek yang terkait dalam proses harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh. Dalam pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
perilaku dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Hubungan
Industrial berawal dari adanya hubungan kerja yang lebih bersifat
individual antara pekerja dan pengusaha. Pengaturan hak dan kewajiban pekerja diatur
melalui perjanjian kerja yang bersifat perorangan. Perjanjian kerja ini
dilakukan pada saat penerimaan pekerja, antara lain memuat ketentuan mengenai
waktu pengangkatan, persoalan masa percobaaan, jabatan yang bersangkutan, gaji
(upah), fasilitas yang tersedia, tanggungjawab, uraian tugas, dan penempatan
kerja. Di tingkat perusahaan pekerja dan pengusaha adalah dua pelaku
utama dalam kegiatan Hubungan Industrial. Dalam Hubungan Industrial
baik pihak perusahaan maupun pekerja/buruh mempunyai hak yang sama dan sah
untuk melindungi hal-hal yang dianggap sebagai kepentingannya masing-masing
juga untuk mengamankan tujuan-tujuan mereka, termasuk hak untuk melakukan
tekanan melalui kekuatan bersama bila dipandang perlu. Di satu sisi,
pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup
dan kemajuan perusahan, tetapi di sisi lain hubungan antar keduanya juga
mempunyai potensi konf1ik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau
interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak. Hubungan
industri melibatkan sejumlah konsep, misalnya konsep keadilan dan kesamaan,
kekuatan dan kewenangan, individualisme dan kolektivitas, hak dan kewajiban,
serta integritas dan kepercayaan.Sementara itu, fungsi utama pemerintah dalam
Hubungan Industrial adalah mengadakan atau menyusun peraturan dan perundangan
ketenagakerjaan agar hubungan antara pekerja dan pengusaha berja1an serasi
dan seimbang, dilandasi oleh pengaturan hak dan kewajiban yang adil. Di samping
itu pemerintah juga berkewajiban untuk menyelesaikan secara adil perselisihan
atau konflik yang terjadi. Pada dasarnya, kepentingan pemerintah juga untuk
menjaga kelangsungan proses produksi demi kepentingan yang lebih luas.
Tujuan akhir pengaturan
Hubungan Industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
pekerja maupun pengusaha. Kedua tujuan ini saling berkaitan, tidak terpisah,
bahkan saling mempengaruhi. Produktivitas perusahaan yang diawali dengan
produktivitas kerja pekerjanya hanya mungkin terjadi jika perusahaan didukung
oleh pekerja yang sejahtera atau mempunyai harapan bahwa di waktu yang akan
datang kesejahteraan mereka akan lebih membaik.
Sementara itu kesejahteraan
semua pihak, khususnya para pekerja, hanya mungkin dapat dipenuhi apabila
didukung oleh produktivitas perusahaan pada tingkat tertentu, atau jika ada
peningkatan produktivitas yang memadai, yang mengarah ke tingkat produktivitas
sesuai dengan harapan pengusaha. Sebelum mampu mencapai tingkat produktivitas
yang diharapkan, semua pihak yang terkait dalam proses produksi, khususnya
pimpinan perusahaan, perlu secara sungguh-sungguh menciptakan kondisi kerja
yang mendukung. Kunci utama keberhasilan menciptakan Hubungan Industrial yang
aman dan dinamis adalah komunikasi. Untuk memelihara komunikasi yang baik
memang tidak mudah, dan diperlukan perhatian secara khusus. Dengan
terpeliharanya komunikasi yang teratur sebenarnya kedua belah pihak, pekerja
dan pengusaha, akan dapat menarik manfaat besar.
2. Landasan Hubungan Industrial
Landasan hubungan industrial terdiri atas;
a. Landasan idil ialah pancasila
b. Landasan konsitusional ialah undang-undang dasar 1945
c. Landasan opersainal GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah
b. Landasan konsitusional ialah undang-undang dasar 1945
c. Landasan opersainal GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah
3. Tujuan Hubungan Industrial
Berdasarkan hasil seminar HIP
tahun 1974 (Shamad, 1995: 12) tujuan hubungan industrial adalah mengemban
cita-cita proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam
pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan
Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penciptaan
ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha,
meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya
sesuai derajat manusia. Sedemikian berat dan mulianya tujuan tersebut, maka
semua pihak yang terkait dalam hubungan industrial harus meahami untuk
terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial dengan baik.
Tujuan
Hubungan Industrial adalah mewujudkan Hubungan Industrial yang
harmonis, Dinamis,
kondusif dan berkeadilan di perusahaan.
Ada tiga unsur yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
A.
Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan
B.
Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan
secara internal/bipartit
C.
Mogok kerja oleh pekerja serta penutupan perusahaan
(lock out) oleh pengusaha, tidak perlu digunakan untuk
memaksakan kehendak masing‐masing, karena perselisihan yang
terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik.
Namun
demikian Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga
sangat berpengaruh dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan
industrial yang kita karapkan.
Sikap mental dan sosial yang mendukung tercapainya
tujuan hubungan industrial tersebut adalah
1.
Memperlakukan pekerja sebagai mitra, dan
memperlakukan pengusaha sebagai investor
2. Bersedia saling menerima
dan meningkatkan hubungan kemitraan antara pengusaha dan
pekerja secara terbuka
3.
Selalu
tanggap terhadap kondisi sosial, upah, produktivitas dan kesejahteraan
pekerja
4. Saling
mengembangkan forum komunikasi, musyawarah dan
kekeluargaan.
4. Ciri-ciri Hubungan
Industrial
a) Mengakui dan menyakini bahwa
bekerja bukan sekedar mencari nafkah saja, melainkan juga sebagai pengabdian
manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
b) Menganggap pekerja bukan
hanya sekedar faktor produksi belaka melainkan sebagai manusia pribadi dengan
segala harkat dan martabatnya.
c) Melihat antara pekerja dan
pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang bertentangan, melainkan mempunyai
kepentingan yang sama untuk kemajuan perusahaan.
d) Setiap perbedaan pendapat
antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk
mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.
e) Adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak, atas dasar rasa keadilan dan
kepatutan.
5. Sarana Hubungan Hubungan Industrial
a. Serikat pekrja/serikat buruh
b. Organisasi pengusaha
c. Lembaga kerja sama bipartit
d. Lembaga kerja sama Tripartit
e. Peraturan Perusahaan
f. Perjanian kerja bersama
g. Peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan dan
h. Lebaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
b. Organisasi pengusaha
c. Lembaga kerja sama bipartit
d. Lembaga kerja sama Tripartit
e. Peraturan Perusahaan
f. Perjanian kerja bersama
g. Peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan dan
h. Lebaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
6.Prinsip-
hubungan industrial
- Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
- Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
- Hubungan fungsional dan pembagian tugas
- Kekeluargaan
- Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
- Peningkatan produktivitas
- Peningkatan kesejahteraan bersama
B. Kesepakatan Kerja Bersama
Menurut pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003, pengertian peraturan perusahaan (PP) adalah peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang membuat syarat-syarat kerja dan tata
cara perusahaan.
Sedangkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perbandingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 13).
Pengertian dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1996/1997: 2) ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau serikat-serikat pekerja yang terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja dengan pengusaha-pengusaha, perkumpulan perusahaan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.
Dalam praktik selama ini banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian kerja bersama (PKB), seperti:
Sedangkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perbandingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 13).
Pengertian dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1996/1997: 2) ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau serikat-serikat pekerja yang terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja dengan pengusaha-pengusaha, perkumpulan perusahaan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.
Dalam praktik selama ini banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian kerja bersama (PKB), seperti:
a. Perjanjian Perburuhan Kolektif (PKK) atau
collecteve Arbeids Ovreenkomst (CAO);
b. Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Coolective Labour Agreement (CLA);
c. Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB); dan
d. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).
b. Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Coolective Labour Agreement (CLA);
c. Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB); dan
d. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).
Semua istilah tersebut di atas
pada hakikatnya sama karena yang dimaksud adalah perjanjian perburuhan
sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 1954
(di mana undang-undang ini sudah tidakberlaku sejak memberlakukan undang-undang
Nomor 13 tahun 2003).
Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) adalah suatu kesepakatan secara
tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama – sama
antara pengusaha atau beberapa pengusaha dengan organisasi serikat
pekerja/gabungan organisasi serikat pekerja yang sudah terdaftar pada instansi
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Organisasi serikat pekerja ini minimal mempunyai anggota
50 % lebih dari seluruh Karyawan yang ada di perusahaan. Persyaratan ini harus
dipenuhi karena kalau kurang maka dapat berkoalisi dengan organisasi serikat
pekerja sampai mencapai 50 % lebih atau dapat juga meminta dukungan dari
karyawan lainnya.
Dalam hal suatu perusahaan
terdapat lebih dari 1 serikat pekerja/buruh maka yang berhak mewakili
pekerja/buruh adalah serikat pekerja/buruh yang memiliki anggota lebih dari 50
% dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
Adapun dasar dibuatnya
perjanjian Kerja Bersama ini merujuk pada Undang – undang No. 18
Tahun 1956 yang diratifikasi dari Konvensi No. 98 Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) mengenai berlakunya dasar - dasar dari hak untuk
berorganisasi dan berunding bersama, Kemudian oleh pemerintah dikeluarkan :
1.
Undang - undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diatur mulai dari pasal 115 sampai
dengan 135;
2.
Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep/48/Men/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
3.
Fungsi Perjanjian Kerja
Bersama adalah sarana untuk memuat dan menuangkan kesepakatan baru yang
didasari atas kesepakatan antara serikat pekerja/buruh dengan pengusaha yang
disebut Lex Special artinya sebuah prodak yang tidak diatur dalam Undang –
undang maka dia akan menjadi normatif bila mana sudah disepakati dan dituangkan
dalam PKB serta telah diketahui oleh Dinas yang terkait dan mengikat kedua
belah pihak untuk dilaksanakan.
Tujuan pembuatan
Perjanjian Kerja Bersama :
1.
Mempertegas dan
memperjelas hak – hak dan kewajiban pekeja dan pengusaha
2.
Memperteguh dan
menciptakan hubungan industrial yang harmonis dalam perusahaan
3.
Memetapkan secara
bersama syarat – syarat kerja keadaan industrial yang harmonis dan atau hubungan
ketenagakerjaan yang belum diatur dalam peraturan perundang –undangan.
Manfaat Perjanjian Kerja
Bersama :
1.
Baik pekerja maupun
pengusaha akan lebih memahami tentang hak dan kewajiban masing – masing
2.
Mengurangi timbulnya
perselisihan hubungan industrial atau hubungan ketenagakerjaan sehingga dapat
menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha
3.
Membantu ketenangan
kerja pekerja serta mendorong semangat dan kegaitan bekerja yang lebih tekun
dan rajin
4.
Pengusaha dapat
menganggarkan biaya tenaga kerja (labour cost) yang perlu dicadangkan atau
disesuaikan dengan masa berlakunya PKB.
C. Hubungan Bipartit dan
Tripartit
Yaitu forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan, yang anggotanya terdiri atas pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau unsur pekera/buruh (periksa Kaputusan Menteri Tenaga dan
Transmigrasi Nomor Kep-255/Men/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan
Keanggotaan Lemaga Kera Sama Bipartit). Sedangkan Tripartit yaitu forum
komunikasi, lonsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan, yang
anggotanya terdiri atas unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,
dan pemerintah (periksa Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2005 tentang Tata
kerja dan Susunan Organisasi Lembaga kerja sama Tripartit). Pengertian bipartit
dalam hal ini sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses perundingan yang
dilakukan antara dua pihak, ayitu pihak pengusaha dengan pihak pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh, antara lain, apabila terjadi perselisihan
antara pengusaha dengan pekera/buruh diperusahaan (surat edaran Direktur
Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Nomor SE-01/D.PHI/XI/2004. perundingan
bipartit pada hakikatnya merupakan upaya musyawrah untuk mufakat antara pihak
pengusaha dan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
1. Penyelesaian
dengan cara Bipartit
Penyelesaian perselisihan dengan cara Bipartit adalah
penyelesaian Perselisihan yang dilakukan dengan prinsip musyawarah untuk
mufakat oleh Karyawan atau yang mewakili dengan Pengusaha atau yang mewakili
yang dilakukan antara Pengusaha dengan Karyawan tanpa melibatkan Pihak lain.
Tujuan dilakukannya penyelesaian dengan cara Bipartit
adalah agar penyelesaian perselisihan terhadap
Karyawan yang telah melakukan
pelanggaran dapat di selesaikan secara Kekeluargaan dan dapat menghasilkan
penyelesaian yang saling menguntungkan.
Upaya dan langkah yang dilakukan Perusahaan dalam
melakukan upaya penyelesaian Perselisihan secara Bipartit adalah sebagai
berikut:
A. Penyelesaian
perselisihan dilakukan dengan upaya pemanggilan terhadap Karyawan pada tingkat
Perusahaan untuk mengadakan musyawarah untuk mufakat (bipartit);
B. Dalam
perundingan tersebut, harus dibuat risalah perundingan secara tertulis;
C. Dalam
musyawarah, Perusahaan dapat memberikan beberapa penawaran solusi kepada
Karyawan dengan catatan penawaran tersebaut tidak bertentangan dengan Ketentuan
Ketenagakerjaan yang berlaku;
D. d. Hal
yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh Pengusaha adalah
Penawaran yang diberikan mempunyai nilai yang sepadan nilai kerugian Perusahaan
serta tingkat palanggaran yang dilakukan apalagi penyelesaian ini akan
berpotensi berlanjut pada penyelesaian yang harus dilakukan melalui institusi
Ketenagakerjaan terkait (P4D/P atau Lembaga PPHI);
E. Dalam
hal musyawarah membuahkan hasil yang disepakati, maka Para Pihak harus
menuangkan hasil kesepakatan tersebut dalam bentuk Kesepakatan Bersama yang
insinya memuat minimal :
1. Nama
dan alamat karyawan;
2. Nama
dan alamat Pengusaha atau yang mewakili;
3. Tanggal
dan tempat perundingan dilakukan;
4. Efektif
Karyawan berhenti dari perusahaan;
5. Jumlah
kompensasi yang akan diberikan;
6. Batas
waktu dilakukannya Pelaksanaan kewajiban Para Pihak;
7. Tanggal
dan tanda tangan Para Pihak yang melakukan perundingan.
F. Dalam hal
musyawarah telah dilakukan minimal sebanyak 3 kali dalam waktu maksimal 1 bulan
akan tetapi Para Pihak belum menemukan kesepakatan, maka Para Pihak harus
menuangkan kesimpulan musyawarah yang berisikan minimal :
1. Nama
dan alamat karyawan;
2. Nama
dan alamat Pengusaha atau yang mewakili;
3. Tanggal
dan tempat perundingan;
4. Alasan
pokok timbulnya Perselisihan;
5. Pendirian
Para Pihak;
6. Kesimpulan
perundingan;
7. Tanggal
dan tanda tangan Para Pihak yang melakukan perundingan
2.
Penyelesaian dengan cara Tripartit
Dalam hal penyelesaian ditingkat perusahaan tidak dapat
dihasilkan kesepakatan, maka penyelesaian perselisihan dapat dilanjutkan
dengan mengajukan permohonan Ijin PHK ke Suku Dinas Tenaga Kerja (“Disnaker”)
Up. P4D/P atau Lembaga PPHI setempat.
Langkah penyelesaian yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
Penyelesaian pada Tingkat
Pemerantaraan
1) Pegawai
Perantara yang ditunjuk oleh Disnaker tempat Perselisihan didaftarkan, wajib
melakukan pemerantaran perselisihan paling lama 7 hari setelah perselisihan
didaftarkan;
2) Pemerantaraan
dilakukan dengan memanggil pihak pengusaha dan pihak Karyawan untuk didengar
duduk perkara yang menjadi dasar terjadinya perselisihan;
3) Dalam
hal Pemerantaraan didapat kesepakatan penyelesaian maka Para Pihak wajib
membuat Kesepakatan Bersama yang disaksikan oleh Pegawai Perantara;
4) Bilamana
pada tahap Pemerantaan ternyata belum dapat menghasilkan kesepakatan, maka
Pegawai Perantara harus membuat anjuran tertulis yang memuat usul penyelesaian
dengan menyebutkan dasar pertimbangan dan menyampaikannya kepada Para Pihak
serta mengupayakan tanggapannya paling lambat 7 hari setelah diterimanya
anjuran dimaksud;
5) Apabila
anjuran tersebut diterima, maka dibuat Persetujuan Bersama secara tertulis yang
disaksikan oleh Pegawai Perantara;
6) Apabila
anjuran dimaksud tidak dapat diterima oleh Para Pihak, maka dalam waktu 7 hari
setelah diterimanya tanggapan penolakan tersebut, Panitia Perantara harus
meneruskan perkara perselisihan tersebut ke P4D (Panitia Daerah) untuk
Peselisihan perorangan atau P4P apabila perselisihan tersebut berhubungan
dengan PHK masal.
D. Tata Cara Menyusun
Kesepakatan Kerja Bersama
Dalam Organisasi Seperti
lajimnya perjanjian, pembuatan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja sama
juga ada ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan dimaksud adalah:
1. Pembuatan peraturan perusahaan
A.
wajib bagi perusahaan yang memperkerjakan
minimal sepuluh orang pekerja/buruh.
B.
kewajiban butir (1) tidak berlaku bagi
perusahaan yang sudah memiliki perjanjian kerja sama.
C.
memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh, atau serikat pekerja/buruh. Disamping iru dapat juga
berkonsultasi kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
D.
materi yang diatur adalah syarat kerja yang
belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
E.
sekurang-kurangnya memuat:
§
hak dan kewajiban pengusaha;
§
hak dan kewajiban pekera/buruh;
§
syarat pekerja;
§
tata tertib perusahaan ; dan
§
jangka waktu berlakunya peraturan
perusahaan.
F.
pembuatnya dilarang:
§
menggantikan perjanjian kerja bersama yang
sudah ada sebelumnya;
§
bertentangan denganperaturan
perundang-undangan yang berlaku.
G. Pembuatan peraturan
perusahaan tidak dapat diperselisihkan karena merupakan kewajiban dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
H. wajib
mengjajukan pengesahan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk (yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
i. wajib
memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan
atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
E. LEMBAGA
PENYELESAIAN KELUH KESAH DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam perjalanan Hubungan
Industrial untuk mencapai suatu masyarakat industri yang
diharapkan, benturan‐benturan
antara para pelaku yang timbul sebagai akibat belum serasinya
pemakaian ukuran dan
kacamata untuk menilai permasalahan bersama kadang‐kadang tidak dapat dihindari. Keluh kesah bisa
juga terjadi akibat berbagai pertanyaan yang timbul baik
dari pekerja ataupun dari pengusaha yang berkaitan dengan penafsiran
atau pelaksanaan peraturan perundang‐undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Dapat juga karena berbagai tuntutan
dari salah satu pihak terhadap pihak lain yang melanggar peraturan
perundang‐undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja besama. Dengan demikian untuk
menghindari benturan‐benturan
tersebut perlu dikembangkan suatu mekanisme
penyelesaian keluh kesah sehingga benih‐benih perselisihan tingkat pertama seharusnya
diselesaikan diantara pelaku itu sendiri. Mekanisme
penyelesaian keluh kesah merupakan sarana yang seharusnya diadakan setiap
perusahaan. Mekanisme ini harus transparan dan merupakan bagian
dari Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsi‐fungsi
supervisi dari setiap para manajer merupakan kunci terlaksananya mekanisme ini.
Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam lembaga
mekanisme penyelesaian keluh kesah ini. Penyelesaian dapat dilaksanakan lebih
lanjut sesuai dengan Peraturan perundang‐ undangan yang berlaku.
1. PENYELESAIAN
KELUH KESAH
A. Penyelesaian keluh kesah
yang timbul di perusahaan didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat
secara kekeluargaan antara pekerja dengan atasannya tanpa
campur tangan pihak lain.
B. Apabila seorang
pekerja mempunyai keluh kesah tentang segala sesuatu mengenai
hubungan kerja, pertama‐tama
pekerja tersebut menyampaikan keluh kesahnya pada
atasannya langsung untuk dimintakan penyelesaian.
C. Apabila atasan
langsung yang bersangkutan tidak menyelesaikannya atau
pekerja tidak puas atas penyelesaiannya, pekerja
mengajukan masalahnya kepada atasan yang lebih tinggi. 13
D. Apabila atasan yang lebih
tinggi tidak bisa menyelesaikannya atau pekerja tidak puas
atas penyelesainnya maka pekerja dapat
minta bantuan pengurus serikat pekerja untuk mewakili
atau mendampingi pekerja untuk penyelesainnya lebih lanjut.
2. PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
an
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu
perusahaan. Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena
:
A. Tidak dilaksanakannya hak
pekerja
B. Kesadaran pekerja akan
perbaikan kesejahteraan
C. Kurangnya
komunikasi antara pekerja dengan pengusaha
Penyelesaian
Hubungan Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
A. Penyelesaian diluar Pengadilan
Hubungan Industrial ‐
Bipartit (wajib Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
‐ Mediasi, Konsiliasi,
Arbiter (wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004)
B.
Pengadilan Hubungan Industrial ‐ Hukum Acara Perdata
Pasal 57, UU No. 2 tahun 2004
Menyelesaikan Keluh Kesah Pekerja dan
Perusahaan
1. Menampung dan
Menyalurkan Aspirasi Pekerja
Aspirasi pekerja adalah harapan-harapan pekerja mengenai penyempurnaan atau perbaikan berbagai aspek kondisi kerja, system dan suasana kerja di perusahaan. Aspirasi pekerja mengenai perusahaan sangat luas. Misalnya pekerja mengharapkan antara lain :
- Manajemen memperoleh sertifikat ISO 9002;
- Perusahaan menerima penghargaan kecelakaan nihil (zero accident);
- Hubungan industrial diperusahaan aman dan harmonis, tidak pernah terjadi pemogokan;
- Manajemen mengembangkan system pembinaan dan perencanaan karier;
- Manajemen mengembangkan profesionalisme dan system merit dalam penggajian;
- Pemimpin serikat pekerja mempunyai peluang besar menduduki jabatan direksi seperti di banyak perusahaan di Jepang.
Pekerja biasanya enggan menyampaikan saran atau aspirasi seperti itu kepada atasan langsung.
Seorang atasan yang menerima saran seperti itu cenderung beranggapan bahwa bawahannya memajukan protes atau koreksi atas dirinya. Oleh karena itu, para pekerja biasanya merasa lebih aman menyalurkan aspirasi seperti itu melalui kotak saran, pengurus serikat pekerja atau langsung kepada wakil pekerja di LK Bipatrit. Saran melalui kotak saran atau serikat pekerja diteruskan kepada wakil pekerja di Lk Bipatrit, untuk kemudian dibahs bersama wakil pengusaha di LK Bipartit.
2. Menampung dan Menyalurkan Keluh Kesah
Keluh kesah pekerja dapat timbul karena berbagai alasan. Mulai dari perlakuan atasan yang
kasar atau tidak adil, kondisi kerja yang kurang memuaskan , fasilitas kerja kurang memadai, ruangan kerja terlalu panas, menu makanan tidak cocok, tunjangan transport terlalu kecil, perlu pakaian kerja, atau mungkin karena harapan pekerja terlalu tinggi, tidak sebanding dengan kemampuan perusahaan.
Pekerja biasanya enggan menyampaikan keluhan seperti itu kepada atasan langsung, khawatir dianggap pekerja cengeng atau pekerja tukang protes. Oleh karena itu, keluhan seperti itu sebaiknya disampaikan melalui pengurus serikat pekerja atau langsung kepada wakil pekerja di Lk Bipartit.
Keluh kesah pekerja perorangan yang tidak segera ditanggapi atau disikapi dapat berkembang atau meningkat menjadi keluh kesah kelompok. Keluh kesah yang didasarkan pada harapan yang tidak rasional dapat menjadi sumber atau pemicu rasa ketidakpuasan pekerja bila tidak segera disikapi dan dijelaskan bahwa harapan tersebut tidak mungkin dipenuhi. Demikian juga keluh kesah yang didasarkan pada persepsi yang keliru, bila tidak segera ditanggapi dan diluruskan, mudah menjalar dan berterima bagi orang lain. Sehingga, menjadi keluh kesah kelompok . Oleh sebab itu, keluh kesah individu dan atau keluh kesah kelompok, harus segera ditanggapi dan diselesaikan supaya tidak sempat terakumulasi menjadi perselisihan.
Dibidang kesehatan ada peribahasa yang menyatakan bahwa mencegah penyakit lebih penting daripada mengobati penyakit. Peribahasatersebut juga berlaku dibidang hubungan antar manusia atau hubungan industrial. Pernyataan keluh kesah dapat dipandang sebagai gejala penyakit dan perlu segera segera diselesaikan. Supaya tidak berkembang menjadi perselisihan.
Perselisihan dapat dianggap sebagai penyakit yang membutuhkan banyak perhatian, biaya dan waktu untuk menyelesaikannya. Walaupun akhirnya dapat diselesaikan melalui kompromi, konsiliator, pegawai mediator atau pengadilan, perselisihan selalu meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan dan ketidakpuasan. Terutama bagi pihak yang merasa kalah dan dirugikan.
Dengan demikian, wakil pekerja di LK Bipartit yang menerima keluh kesah dan saran dari pekerja secara langsung atau melalui pengurus serikat pekerja, perlu segera menyalurkan dan membahasnya bersama wakil pengusaha di LK Bipartit. Bila dianggap perlu, wakil pekerja dapat menyaringuntuk sementara. Atau selanjutnya merasakan nama pekerja yang menyampaikan keluh kesah. Untuk yang sifatnya diperlukan memberikan penjelasan, wakil pengusaha bersama atau melalui wakil pekerja di LK Bipartit menyampaikan penjelasan kepada pekerja yang bersangkutan. Untuk kasus yang memerlukan keputusan pengusaha, LK Bipartit menyampaikan saran penyelesaian kepada menejemen atau pengusaha.
3. Penyelesaian Perselisihan
Harus disadari bahwa walaupun pengusaha dan pekerja secara terus menerus membangun
saling pengertian dan kerjasama dalam menghadapi keterbatasan, mungkin timbul perbedaan kepentingan bahkan menjadi perselisihan. Perbedaan kepentingan atau perselisihan hubungan industrial dikelomokkan dalam 4 aspek yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja.
Untuk mengantisipasi menyelesaikan perselisihan hubungan industrial telah dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibeberapa Pengadilan Negeri dan Mahkamah Kasasi pada Mahkamah Agung. Setiap perselisihan yang diajukan ke PHI melalui DInas Ketenagakerjaan, sebelum diterima untuk diselesaikan PHI selalu dianjurkan untuk diselesaikan secara bipartite dalam dua tahap. Tahap pertama, penyelesaian secara bipartit melalui pendampingan atau perantaran konsiliator atau moderator. Tahap kedua, perselisihan yang tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau mediasi diteruskan ke PHI. Sebelum ditangani PHI, kasus perselisihan tetap dikembalikan untuk diselesaikan secara bipartite. Dengan kata lain, penyelesaian secara bipartite harus selalu diutamakan dalam menyelesaikan kasus-kasus perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian secara bipartit memang tidak identik dengan penyelesaian oleh LK Bipartit. LK Biartit tidak secara otomatis menjadi lembaga yang menyelesaikan perselisihan industrial. Akan tetapi LK Bipartit dapat mencegah atau mengurangi kasus perselisihan bila setiap keluhan pekerja dan perbedaan kepentingan dapat diselesaikan secara tuntas oleh LK Bipartit. Demikian juga LK Bipartit dapat secara proaktif menyempaikan saran kepada Manajemen dan atau Serikat Pekerja dalam merespon anjuran penyelesaian perselisihan oleh konsiliator atau anjuran mediator PHI.
Aspirasi pekerja adalah harapan-harapan pekerja mengenai penyempurnaan atau perbaikan berbagai aspek kondisi kerja, system dan suasana kerja di perusahaan. Aspirasi pekerja mengenai perusahaan sangat luas. Misalnya pekerja mengharapkan antara lain :
- Manajemen memperoleh sertifikat ISO 9002;
- Perusahaan menerima penghargaan kecelakaan nihil (zero accident);
- Hubungan industrial diperusahaan aman dan harmonis, tidak pernah terjadi pemogokan;
- Manajemen mengembangkan system pembinaan dan perencanaan karier;
- Manajemen mengembangkan profesionalisme dan system merit dalam penggajian;
- Pemimpin serikat pekerja mempunyai peluang besar menduduki jabatan direksi seperti di banyak perusahaan di Jepang.
Pekerja biasanya enggan menyampaikan saran atau aspirasi seperti itu kepada atasan langsung.
Seorang atasan yang menerima saran seperti itu cenderung beranggapan bahwa bawahannya memajukan protes atau koreksi atas dirinya. Oleh karena itu, para pekerja biasanya merasa lebih aman menyalurkan aspirasi seperti itu melalui kotak saran, pengurus serikat pekerja atau langsung kepada wakil pekerja di LK Bipatrit. Saran melalui kotak saran atau serikat pekerja diteruskan kepada wakil pekerja di Lk Bipatrit, untuk kemudian dibahs bersama wakil pengusaha di LK Bipartit.
2. Menampung dan Menyalurkan Keluh Kesah
Keluh kesah pekerja dapat timbul karena berbagai alasan. Mulai dari perlakuan atasan yang
kasar atau tidak adil, kondisi kerja yang kurang memuaskan , fasilitas kerja kurang memadai, ruangan kerja terlalu panas, menu makanan tidak cocok, tunjangan transport terlalu kecil, perlu pakaian kerja, atau mungkin karena harapan pekerja terlalu tinggi, tidak sebanding dengan kemampuan perusahaan.
Pekerja biasanya enggan menyampaikan keluhan seperti itu kepada atasan langsung, khawatir dianggap pekerja cengeng atau pekerja tukang protes. Oleh karena itu, keluhan seperti itu sebaiknya disampaikan melalui pengurus serikat pekerja atau langsung kepada wakil pekerja di Lk Bipartit.
Keluh kesah pekerja perorangan yang tidak segera ditanggapi atau disikapi dapat berkembang atau meningkat menjadi keluh kesah kelompok. Keluh kesah yang didasarkan pada harapan yang tidak rasional dapat menjadi sumber atau pemicu rasa ketidakpuasan pekerja bila tidak segera disikapi dan dijelaskan bahwa harapan tersebut tidak mungkin dipenuhi. Demikian juga keluh kesah yang didasarkan pada persepsi yang keliru, bila tidak segera ditanggapi dan diluruskan, mudah menjalar dan berterima bagi orang lain. Sehingga, menjadi keluh kesah kelompok . Oleh sebab itu, keluh kesah individu dan atau keluh kesah kelompok, harus segera ditanggapi dan diselesaikan supaya tidak sempat terakumulasi menjadi perselisihan.
Dibidang kesehatan ada peribahasa yang menyatakan bahwa mencegah penyakit lebih penting daripada mengobati penyakit. Peribahasatersebut juga berlaku dibidang hubungan antar manusia atau hubungan industrial. Pernyataan keluh kesah dapat dipandang sebagai gejala penyakit dan perlu segera segera diselesaikan. Supaya tidak berkembang menjadi perselisihan.
Perselisihan dapat dianggap sebagai penyakit yang membutuhkan banyak perhatian, biaya dan waktu untuk menyelesaikannya. Walaupun akhirnya dapat diselesaikan melalui kompromi, konsiliator, pegawai mediator atau pengadilan, perselisihan selalu meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan dan ketidakpuasan. Terutama bagi pihak yang merasa kalah dan dirugikan.
Dengan demikian, wakil pekerja di LK Bipartit yang menerima keluh kesah dan saran dari pekerja secara langsung atau melalui pengurus serikat pekerja, perlu segera menyalurkan dan membahasnya bersama wakil pengusaha di LK Bipartit. Bila dianggap perlu, wakil pekerja dapat menyaringuntuk sementara. Atau selanjutnya merasakan nama pekerja yang menyampaikan keluh kesah. Untuk yang sifatnya diperlukan memberikan penjelasan, wakil pengusaha bersama atau melalui wakil pekerja di LK Bipartit menyampaikan penjelasan kepada pekerja yang bersangkutan. Untuk kasus yang memerlukan keputusan pengusaha, LK Bipartit menyampaikan saran penyelesaian kepada menejemen atau pengusaha.
3. Penyelesaian Perselisihan
Harus disadari bahwa walaupun pengusaha dan pekerja secara terus menerus membangun
saling pengertian dan kerjasama dalam menghadapi keterbatasan, mungkin timbul perbedaan kepentingan bahkan menjadi perselisihan. Perbedaan kepentingan atau perselisihan hubungan industrial dikelomokkan dalam 4 aspek yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja.
Untuk mengantisipasi menyelesaikan perselisihan hubungan industrial telah dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibeberapa Pengadilan Negeri dan Mahkamah Kasasi pada Mahkamah Agung. Setiap perselisihan yang diajukan ke PHI melalui DInas Ketenagakerjaan, sebelum diterima untuk diselesaikan PHI selalu dianjurkan untuk diselesaikan secara bipartite dalam dua tahap. Tahap pertama, penyelesaian secara bipartit melalui pendampingan atau perantaran konsiliator atau moderator. Tahap kedua, perselisihan yang tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau mediasi diteruskan ke PHI. Sebelum ditangani PHI, kasus perselisihan tetap dikembalikan untuk diselesaikan secara bipartite. Dengan kata lain, penyelesaian secara bipartite harus selalu diutamakan dalam menyelesaikan kasus-kasus perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian secara bipartit memang tidak identik dengan penyelesaian oleh LK Bipartit. LK Biartit tidak secara otomatis menjadi lembaga yang menyelesaikan perselisihan industrial. Akan tetapi LK Bipartit dapat mencegah atau mengurangi kasus perselisihan bila setiap keluhan pekerja dan perbedaan kepentingan dapat diselesaikan secara tuntas oleh LK Bipartit. Demikian juga LK Bipartit dapat secara proaktif menyempaikan saran kepada Manajemen dan atau Serikat Pekerja dalam merespon anjuran penyelesaian perselisihan oleh konsiliator atau anjuran mediator PHI.
F.Tahap-Tahap
Dalam Hubungan Industrial
Hubungan industrial dalam suatu
organisasi pada umumnya dapat digolongkan kepada lima tahap pertumbuhan, yaitu:
1. Tahap
Konflik
Pada tahap ini dalam hal
timbulnya pertikaian perburuhan yang serius antara manajemen dengan para
pekerja, manajemen akan mengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar
pertikaian yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung jangan sampai
berakhir dengan pemogokan. Langkah lain yang mungkin saja diambil oleh
manajemen adalah melakukan infiltrasi ke dalam organisasi serikat pekerja.
2. Tahap
Pengakuan Eksistensi
Pada tahap ini manajemen
membiarkan dan mengakui adanya serikat pekerja dalam organisasi yang dipimpinnya,
meskipun sebenarnya disertai oleh sikap terpaksa. Jika negosiasi yang terpaksa
dilakukan itu tidak berhasil, dan sebagai akibatnya para pekerja melakukan
pemogokan, manajemen akan berusaha untuk menjadikan serikat pekerja menjadi
tidak berfungsi dan akan melakukan segala cara yang dapat ditempuhnya untuk
mengakhiri pemogokan dengan secepat mungkin.
3. Tahap Negosiasi
Pada tahap ini serikat pekerja
pun akan mengambil langkah-langkah yang menurut perhitungannya akan efektif
dalam menggolongkan kepentingan dan tuntutan para pekerja, seperti penyediaan
dana yang cukup untuk menjamin kesejahteraan para pekerja selama pertikaian
belum terselesaikan.
4. Tahap
Akomodatif
Pada tahap ini manajemen tidak
lagi berusaha mendiskreditkan pimpinan serikat pekerja dan bahkan dalam
berbagai kesempatan dan peristiwa akan memuji peranan konstruktif yang
dimainkan oleh serikat pekerja yang memungkinkan organisasi mencapai berbagai
keberhasilan yang diraihnya.
5. Tahap
Kerja Sama
Tahap ini merupakan tahap yang paling
maju dan paling ideal dalam hubungan industrial. Pada tahap ini, serikat
pekerja turut serta secara aktif dalam peningkatan efisiensi, efektivitas,
produktivitas dan semangat kerja para karyawan.
Menurut jenisnya terdapat 4 jenis perselisihan hubungan
industrial yaitu
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pegakhiran hubungan
kerja dan terakhir perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu
perusahaan. Untuk penyelesaiannya menurut UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan industrial ada
4 tahapan yang harus dilalui untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut, yaitu melalui :
1.
Perundingan Bipartit.
2.
Konsiliasi atau Arbitrase
atau Mediasi.
3.
Pengadilan Hubungan
Industrial di Pengadilan Negeri.
4.
Mahkamah Kasasi di
Mahkamah Agung.
Di semua tahapan perundingan dan pengadilan tersebut serikat pekerja/serikat buruh berhak mewakili sebagai kuasa hukum dari pekerja atau buruh yang menjadi anggotanya.
Tahapan 1: Perundingan
Bipartit.
Perundingan bipartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan dengan setidaknya ada 3 kali perundingan. Setiap kali perundingan harus dibuatkan risalahnya dan diakhir perundingan dibuat risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat :
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan dengan setidaknya ada 3 kali perundingan. Setiap kali perundingan harus dibuatkan risalahnya dan diakhir perundingan dibuat risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat :
1.
Nama lengkap dan alamat
para pihak;
2.
Tanggal dan tempat
perundingan;
3.
Pokok masalah atau objek yang
diperselisihkan;
4.
Pendapat para pihak;
5.
Kesimpulan atau hasil
perundingan;
6.
Tanggal serta tanda tangan
para pihak yang melakukan perundingan.
Apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Jika perundingan bipartit gagal , maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Jika perundingan bipartit gagal , maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Tahapan 2: Konsiliasi atau
Arbitrase atau Mediasi.
Setelah Dinas
Ketenagakerjaan setempat menerima pencatatan perselisihan secara lengkap, maka
Dinas Ketenagakerjaan terkait menawarkan para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika para pihak tidak
menetapkan pilihan dalam 7 (tujuh) hari kerja maka Dinas Ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Waktu penyelesaian selama 30 (tiga puluh) hari.
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Waktu penyelesaian selama 30 (tiga puluh) hari kerja dan boleh diperpanjang 14 (empat belas) hari kerja bila disetujui para pihak.
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak yang tidak setuju atas anjuran yang dikeluarkan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Khusus Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Jadi tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, namun dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Waktu penyelesaian selama 30 (tiga puluh) hari.
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Waktu penyelesaian selama 30 (tiga puluh) hari kerja dan boleh diperpanjang 14 (empat belas) hari kerja bila disetujui para pihak.
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak yang tidak setuju atas anjuran yang dikeluarkan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Khusus Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Jadi tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, namun dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter.
Tahapan 3: Pengadilan
Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial atau PHI dibentuk di
Pengadilan Negeri. Pengadilan ini khusus dibuat untuk menyelesaikan persoalan
hubungan industrial. Majelis terdiri dari Hakim Ketua yaitu seorang Hakim
karier, Hakim Ad-hoc yang berasal dari serikat pekerja/serikatburuh, Hakim
Ad-hoc yang berasal dari organisasi pengusaha, yang dibantu oleh Panitera Muda
dan Panitera Muda Pengganti.
PHI berwenang memeriksa dan memutuskan :
PHI berwenang memeriksa dan memutuskan :
1.
Perselisihan hak untuk
tingkat pertama,
2.
Perselisihan Kepentingan
untuk pertama dan terakhir;
3.
Perselisihan Hubungan
Kerja untuk pertama;
4.
Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh untuk tingkat pertama dan terakhir.
Dalam hal perselisihan hak dan/atau kepentingan diikuti
dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan
Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau
perselisihan kepentingan.
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat yang disebut dengan Pemeriksaan Dengan Acara Cepat.
Majelis Hakim wajib menyelesaikan perselisihan paling lama 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama.
Putusan PHI mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Sedangkan putusan PHI mengenai perselisihan hak dan perselisihan pengakhiran hubungan kerja mempunyai hukum tetap apabila dalam 14 (empat belas) hari kerja setelah mendengar langsung atau menerima pemberitahuan putusan PHI pihak yang berselisih tidak ada yang mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Permohonan Kasasi diajukan melalui kepaniteraan PHI pada Pengadilan Negeri.
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat yang disebut dengan Pemeriksaan Dengan Acara Cepat.
Majelis Hakim wajib menyelesaikan perselisihan paling lama 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama.
Putusan PHI mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Sedangkan putusan PHI mengenai perselisihan hak dan perselisihan pengakhiran hubungan kerja mempunyai hukum tetap apabila dalam 14 (empat belas) hari kerja setelah mendengar langsung atau menerima pemberitahuan putusan PHI pihak yang berselisih tidak ada yang mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Permohonan Kasasi diajukan melalui kepaniteraan PHI pada Pengadilan Negeri.
Tahapan 4: Mahkamah Kasasi
Majelis Mahkamah Kasasi
terdiri dari Hakim Agung, Hakim Ad-hoc yang berasal dari serikat
pekerja/serikat buruh, Hakim Ad-hoc yang berasal dari organisasi pengusaha, dan
Panitera.
Permohonan kasasi atas putusan PHI pada Pengadilan Negeri segera diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Hakim Kasasi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Permohonan kasasi atas putusan PHI pada Pengadilan Negeri segera diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Hakim Kasasi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Tahap-Tahap dalam Hubungan Manusia SDM
Hubungan industrial
dalam suatu organisasi pada umumnya dapat digolongkan kepada lima tahap, yaitu:
a. Tahap konflik
Jika sifat hubungan
kerja antara pekerja dan manajemen berada pada tahap ini, yang terjadi ialah
bahwa manajemen berusaha sedapat mungkin untuk mencegah masuknya para pekerja
menjadi anggota serikat pekerja. Dalam hal demikian, tidak mustahil apabila
manajemen memberhentikan – biasanya dengan alasan yang dicari-cari – atau
memasukan dalam ”daftar hitam” siapa saja diantara para pekerja yang menunjukan
minat memasuki suatu organisasi serikat pekerja. Hal ini tentunya menimbulkan
konflik. Dalam tahap ini manajemen akanmenolakuntuk berhubungan dengan para
wakil serikat pekerja yang datang kepadanya.
Pada tahap ini dalam hal
timbulnya pertikaian perburuhan yangserius antara manajemen dengan para
pekerja, manajemen akanmengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar
pertrikaian yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung jangan sampai
berakhir dengan pemogokan.
b. Tahap pengakuan eksistensi
Pada tahap ini manajemen
membiarkan dan mengakui adanya serikat pekerja dalam organisasiyang dipimpinnya,
meskipun sebenarnya disertai oleh ”sikap terpaksa”. Artinya, manajemen
memang mau berhubungan dengan para wakil serikat pekerja untuk membicarakan
hal-hal yang merupakan sumber pertikaian dalam hubungan industrial, akan tetapi
tidak dengan sikap yang ikhlas. Seandainya ada pilihan lain, manajemen akan
tetap memilih untuk tidak berhubungan dengan serikat pekerja dalam
menyelesaikan pertikaian yang timbul.
c. Tahap negoisasi
Tahap ini pun bukanlah
tahap yang didambakan dalam menumbuhkan dan memelihara hubungan industrial yang
serasi. Dikatakan demikian karena pada tahap ini, manajemen tetap memandang
serikat pekerja sebagai faktor penghalang dalam hubungan kerja antara manajemen
dan para pekerja.
Jika terjadi pertikaian
dengan para pekerja, negoisasi akan cenderung keras karena masing-masing pihak
akan memprtahankan pendirian dan haknya secara gigih. Dalam situasi demikian,
tidak mustahil bahwa manajemen akan berusaha mencari tenaga kerja sementara
untuk menggantikan tenaga kerja yang ada, tetapi tidak produktif karena,
misalnya melakukan pemogokan. Tindakan yang mungkin ditempuhnya ialah misalnya,
menyerahkan kegiatan produksi atau jasa yang biasanya dihasilkan kepada
organisasi lain untuk sementara waktu selama pemogokan berlangsung.
d. Tahap akomodasi
Dalam hubungan
industrial yang sifatnya akomodatif, tidak berarti bahwa manajemen menyukai
kehadiran serikat pkerja dalam organisasi. Oleh karenanya manajemen belum tentu
bersedia untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan pekerja untuk memperkuat kedudukannya
dikalangan para pekerja. Akan tetapi pada tahap ini manajemen pada umumnya
menyadari bahwa serikat pekerja dapat memainkan peranan yang positif dalam
organisasional para pekerja seperti dalam rangka penegakan disiplin dan dalam
mengarahkan prilaku para karyawan sedemikian rupa sehingga terjali ubungan
kerja yang baik antara pekerja dengan manajemen.
e. Tahap kerja sama
Tahap kerja sama
merupakan tahap yang paling maju dan paling ideal dalam hubungan industrial.
Pada tahap ini serikat pekerja turut serta secara aktif dalam peningkatan
efisiensi, evektifitas, produktivitas dan semangat kerja para karyawan.Kerja sama didasarkan pada dua asumsi, yaitu:
Per pertama : kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan
bila organisasi meraih berbagai keberhasilan.
Kedua
: para karyawan
berada pada posisi yang memungkinkan merka mengamati dan mengetahui proses
produksi yang terjadi serta dapat mendeteksi berbagai kelemahan dalam proses
produksi itu serta dapat pula memberikan saran-saran tentang cara untuk
mengatasinya
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan Industrial adalah
keseluruhan hubungan kerja sama antara semua pihak yang tersebut dalam proses
produksi disuatu perusahaan. Ada beberapa landasan dalam Hubungan Industrial
Pancasila yang harus diperhatikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dan menurut Undang-undang Nomor
13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja
dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak.Perjanjian kerja juga memiliki jenis dan
asas-asas.
Saran
Guna menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari maka penulis mengusulkan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Perlu
adanya komunikasi dua arah dan terus-menerus antara pengusaha dan pekerja untuk
mencegah prasangka dari kedua belah pihak sehingga tercapai hubungan industrial
yang baik.
b. Pihak
pengusaha sebaiknya merespon tuntutan buruh secara cepat dengan melakukan
pendekatan-pendekatan pada perwakilan serikat buruh/pekerja, sehingga unjuk
rasa dan mogok kerja dapat dicegah atau paling sedikit unjuk rasa atau mogok
tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan dan pekerja.
c. Pemerintah
perlu bertindak cepat dan proaktif dalam menyelesaikan perselisihan
buruh/pekerja dengan pengusaha sehingga tindakan anarkis dapat dicegah.
d. Pemerintah
perlu segera menyusun perangkat perundangan ketenagakerjaan terutama yang
menyangkut unjuk rasa dan mogok kerja sehingga tidak merusak citra Indonesia di
mata investor.
e. Perlu
adanya tindakan tegas dan adil dalam menindak para pelaku unjuk rasa &
mogok kerja maupun pihak lain yang bertindak anarkis.
\
DAFTAR PUSTAKA
Imam Soepomo, Pengantar
Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999
Sendjun Manullang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo,
Sendjun Manullang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo,
Farid
Mu’azd, 2006, Pengadilan Hubungan Industrial, Jakarta,
Ind‐Hill‐Co.
Robert L. Mathis & John H. Jackson,
2001, Manajemen SDM, Jakarta,
Salemba Empat. 8. Susilo
Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, 1987,
Yogyakarta, BPFE.
0 komentar:
Posting Komentar