BIOGRAFI TOKOH-TOKOH HADITS
- Biografi Tokoh Al Kutub Al Tis'ah
Sebagaimana diketahui bahwa sanad itu adalah rawi –rawi hadist yang
dijadikan sandaran oleh pentahrij hadist dalam mengemukakan suatu matan
hadist, nilai suatu hadist sangat dipengaruhi oleh: hal – hal., sifat-sifat,
tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab yang dianutnya dan cara menerima dan
menyampaikan hadist dari para rawi.
Salah satu cabang ilmu rijalul hadist adalah ilmu tawarihir ruwah
yang membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi itu dilahirkan, dari siapa
ia menerima hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadist dari padanya, dan
akhirnya diterangkan pula kapan dan dimana ia wafat.
Berikut ini
sekilas biografi tentang tokoh al kutub al tis'ah yang meliputi : Imam
al Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam
Ibnu Majah, Imam Malik, imam Hakim, dan Imam al Darimi.
1. Imam Al Bukhari( 194-252 H/810-870 M )
a. Riwayat Hidup Imam Al Bukhari
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Almughroh bin Al Bardizbah Al bukhoro, adalah ulama’ hadist yang sangat
masyhur, kelahiran Bukhara, suatu kota di Uzbekistan, wilayah uni soviet, yang
merupakan simpang jalan antara rusia, Persi, Hindia, dan Tiongkok.[1][1]
Beliau dilahirkan setelah selesai sholat jum’at pada tanggal 13 syawal 194
h (810 M). seorangmuhaditsin yang jarang tandingannya ini, sangat wara’,
sedikit makan, banyak membaca al-Qur’an baik siang maupun malam, serta gemar
berbuat kebajikan kepada murid-muridnya. Ayahnya adalah seorang ulama’ hadist
yang pernah belajar dibawah bimbingan sejumlah tokoh termasyhur sat itu seperti
Anas bin Malik, Hammad ibnu Zaid, dan ibnu Mubarak.[2][2]
Imam Al-Bukhori wafat pada malam sabtu selesai sholat isya’, tepatnya pada
malam Idul fithri tahun 252 h (870 M) dan dikebumikan di Khirtank, Samarkand.
b. Karya-karya imam al bukhori
karya-karya beliau banyak sekali, diantaranya :
1) Al Jami’ah Musnad Al Shohih Al Mukhtashar Min Umur
Rasulillah Wa Sunanih Wa Ayyamihiyang biasa di sebut “Shahih Bukhori”. yakni kumpulan hadist – hadist
yang beliau persiapkan selama 16 tahun lamanya. Kitab ini berisikan
hadist–hadist shahih secara keseluruhan.
Banyak ulama’ yang membuat syarah dari shohihBukhoriantara
lain :[3][3]
a) Ibnu hajar ( w. 856 H ) mengarang Fathul Bari
b) Al Ayni Al hanafi (wafat 855 H ) mengarang Umdah al Qari’
c) Qasthalani ( wafat 923 H ) mengarang Irsyad Al syari’
d) Jalaluddin al suyuthi ( wafat 911 H ) mengarang At
Tausyih
2) Qadhaya Al Shohabah Wa At Tabi’in. kitab ini disusun ketika berusia 18 tahun, dan
sekarang tidak diketahui keberadaannya.
3) Al Tarikhu Al Kabir( 8 jilid ) yang telah terbit tiga
kali
4) Al Tarikhu Al Autsah
5) Al Adabu Al Munfarid, Birru Al Walidain, dan sebagainya.
c. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Disaat usianya beliau belum mencapai sepuluh tahun, Imam Al Bukhori telah
mulai belajar hadist, sehingga tidak mengherankan ketika berusia 16 tahun telah
hafal matan sekaligus rawi dari beberapa buah kitab karangan ibnu mubarak dan
waqi’.[4][4] Beliau merantau ke negeri syam, mesir, jazirah arab
sampai dua kali, ke Bashrah empat kali, ke hijaz bermukim enam tahun, dan pergi
ke Baghdad bersama ahli para hadist yang lain sampai 8 kali. Menurut
pengakuannya, kitab hadist yang
ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak kurang dari 1.080 orang guru hadist.[5][5]
Beliau telah memperoleh hadist dari beberapa hafidh, antara lain: Maky bin
Ibrahim, Abdullah bin Usman Al Mawarzy, Abdullah bin Musa, Abu Ashim Asy
syaibani, dan Muhammad bin Abdullah Al Anshori. Ulama’-. ulama’ besar yang
mengambil hadist dari beliau antara lain : Imam Muslim, Abu Zur’ah,
At-Turmudzi, Ibnu Khuzaimah dan An-Nasa’i.
2. Imam Muslim( 204 – 216
H/820-875 M)
a. Riwayat Hidup Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah Abu Al Husain Muslim bin Al Hajaj bin Muslim bin
Kausaz Al Qusyairi Al Naisaburi. Beliau dinisbatkan kepada Naisaburi karena
dilahirkan di Naisabur, Iran. Ia dilahirkan pada tahun 204 H ( 820 M ) dan
wafat pada hari ahad bulan rajab tahun 261 H ( 875 M ) dan dimakamkan di
Naisabur.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Imam Muslim belajar hadist pada usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun
218 H (833 M ). Beliau pernah pergi ke hijaz, irak, syam, mesir dan
tempat-tempat lain untuk memperdalam tentang ilmu hadist.
Ulama’- ulama’ besar yang pernah berguru kepada beliau seperti : Abu Hatim,
Musa bin Haran, Abu Isa At-Tirmidzi, Yahya ibnu Said, ibnu Khuzaimah, Awwanah,
dan Ahmad ibnu Al Mubarak.
c. Karya-karya imam muslim
Diantara karya-karya beliau adalah :
1) Shahih Muslim, kitab ini berisikan sebanyak 7.273 buah hadist, termasuk yang
diulang-ulang, kalau dikurangi yang diulang maka tinggal 4.000 buah hadist.
Kitab sahih muslim ini yang paling terkenal. Diantara sekian kitab yang memberi
syarah terhadap kitab itu adalah Imam Nawawi ( wafat 672 H ), yang diberi judul
al manhaj fi syarh shahih muslim ibnu hajaj.
2) Musnadul Kabir, kitab yang menerangkan tentang nama-nama Rijalul
hadist
3) al Jami’ul Kabir
4) Kitabul I’lal wa kitabu auhamil muhaditsin
5) Kitabut tamyiz, kitabu man laisa lahu illa rawin wahidun, kitab al thabaqat
al thabi’in dan kitab muhadhoromin.
3. Imam Abu Dawud( 202-275 H/ 817-889 M)
a. Riwayat Hidup Imam Abu Dawud
Nama lengkap beliau adalah Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats bin Ishaq As
Sijistany. Beliau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya yaitu di Sijistan (
antara Iran dan Afghanistan ). Beliau dilahirkan pada tajhun 202 H ( 817 M) dan
wafat pada tahun 275 H ( 889 M ) di Bashrah, Irak.
b. perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadist
dan ilmu-ilmu hadist yang lain .kemudian mengumpulkan, menyusun, dan menulis
hadist-hadist yang telah diterima dari ulama’-ulama’ Iraq, Khurasan, Syam, dan
mesir.
c. karya-karya imam abu dawud
Diantara karya-karya beliau adalah : sunan Abu Dawud, karyanya yang
terbesar dan berfaedah bagi mujtahid, al
Marasil, masail Imam Ahmad, al Zuhd, Tasmiyah al ikhwan, al Bhats wan Nushur,
Ibtida’ al Wahyi dan al Nasikh wal Manksukh.
4. Imam At-Tirmidzi( 200-279 H/824-892 M)
a. Riwayat hidup imam at-tirmidzi
Nama lengkap beliau adalah abu isa Muhammad ibnu isa Ibnu Tsurah ibn musa
ibn Dhahak al Sulami al Bughi al tirmidzi. Adalah seorang Muhadits yang lahir
di kota Turmudz, kota kecil di pinggir utara sungai Amuderya, sebelah utara
Iran.
Beliau dilahirkan di kota Turmudz pada bulab Dzulhijjah 200 H ( 824 M).
imam at-tirmidzi dan imam al bukhori adalah satu daerah ma wara’un nahar.
Beliau wafat di Turmudz 13 rajab 279 H ( 829 M).
b. Perhatian terhadap ilmu hadist
Beliau mengambil hadist dari ulama hadist kenamaan, seperti qutaibah ibn
sa’id, ishaq ibn musa, dan al bukhori. Mayoritas ulama’ sepakat bahwa pada
akhir hayatnya al tirmidzi mengalami kebutaan, akan tetapi apakah kebutaannya
itu sejak lahir masih menjadi perselisihan diantara ulama hadist.[6][6]
c. Karya-karyanya: Sunan At-Tirmidzi, penulisannya
selesai pada tanggal 10 Dzulhijah 270 H. salah satu syarah yang mengomentarinya
adalah karangan Abdurrahman Mubarakpuri dengan judul Tuhfat Al Ahwadzi(
4 jilid ). Tawarih, al I’lal, syamail, al asma’ wal kuna, al atsar al
mauqufah,dan al I’lalul kabir.
5. Imam an-Nasa’i( 215-303 H/839-915 M)
a. Riwayat hidup an-Nasa’i
Nama lengkapnya adalah abu Abdirrahman Ahmad bin syu’aib Binbahr. Beliau
dilahirkan pada tahun 215 H (839 M) di kota nasa’ yang termasuk wilayah kota
khurasan, Iran. Tempat kelahiran beliau inilah namanya dinisbatkan. Di kota
Nasa’ inilah beliau tumbuh dan memulai aktifitas pendidikannya dengan memulai
menghafal al qur’an dan menerima berbagai disiplin keilmuan dari guru-gurunya.
Beliau wafat pada hari senin, 13 Shaffar 303 H ( 915 M) di ar Ramlah,
palestina. setahun sebelum wafatnya, ia
pindah dari mesir ke Damaskus, Suriah. Di kota ini ia menulis kitab al Khasais
Ali ibn Abi Tholib yang berisi keistimewaan ali bin Abi Thalib.[7][7]
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Ketika berusia 15 tahun beliau mengadakan perjalanan ke daerah Hijaz, Irak,
Syam, Mesir dan daerah-daerah jazirah Arab lainnya untuk mendengarkan dan
mempelajari hadist-hadist dari ulama’-ulama’ yang beliau kunjungi.
Setelah menjadi ulama’ hadist, beliau memilih mesir sebagai tempat untuk
menyiarkan dan mengajarkan hadist-hadist kepada masyarakat. Menurut sebagian muhaditsin,
beliau lebih hafizd daripada imam muslim.
c. Karya-karyanya
Karya beliau yang utama adalah Sunanul Kubro, yang akhirnya terkenal dengan
nama sunan an-nasa’i merupakan kitab yang muncul setelah shohihain yang paling
sedikit hadist dhoifnya, tetapi paling banyak perulangannya. Bahkan, hadist
tentang niat diulangnya 16 kali. Karya-karyanya yang lain: sunan mujtaba,
kitab tamyiz, kitab ad dhuafa, khasais ali, musnad ali, musnad malik, manasik
haj, dan tafsir.
6. Imam Ibnu Majah( 207-273 H/824-887 M)
a. Riwayat hidup ibnu majah
Ibnu majah adalah nama yang popular dikalangan umat islam setidaknya
setelah beliau menulis hadist dalam kitabnya sunan ibnu majah. Ibnu majah
adalah nama nenek moyang yang berasal dari Qazwin, Iran. Nama lengkap beliau
adalah abu Abdillah Muhamad ibn Yazid ibn Majah al Rubai’iy al Qazwiny al
Hafidz dengan nama Kuniyah Abu Abdillah. Beliau lahir pada tahun 207 H ( 824 M
) dan wafat dalam usia 74 tahun pada tanggal 22 ramadhan 273 H/887 M.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Pada usia 15 tahun ia amat senang dengan ilmu hadist. Ibnu majah sempat
berguru kepada ali bi Muhammad al Tanafi ( wafat 233 H ) adalah gurunya yang
pertama. Ibnu majah adalah seorang petualang keilmuan terbukti dengan banyaknya
daerah yang dikunjunginya. Diantaranya : Khurasan, Naisabur, al Ray, dan di
kota Baghdad, Kufah, Bashrah, Wasith, Hijaz, Makkah dan madinah, syam :
Damaskus dan Hims.
Dari tempat perantauan itu, beliau bertemu dengan murid-murid Imam Malik
dan al Laist, dari sinilah beliau banyak memperoleh banyak hadits.
c. Karya-karyanya
Tidak kurang dari 32 karya ilmiah yang ditelurkan dari ulama’ yang berdedikasi keilmuan ibnu majah. Adapun karya
– karyanya adalah :tafsir al Quran karim, al tarikh, yang sampai saat
ini tidak ada kabarnya, tampaknya telah hilang. Kemudian sunan ibnu majah
berisikan 4.341 hadist, sebanyak 3.002 telah dibukukan oleh pengarang Al
Kitab Al Sittah lainnya, dan 1.339 hadits diriwayatkan oleh beliau sendiri
dengan rincian berikut :[8][8]
a) 428 buah hadist adalah shahih
b) 199 buah hadist adalah hasan
c) 613 buah hadist adalah lemah isnad
d) 99 buah hadits adalah munkar dan makhduzb
7. Imam Malik Bin Anas( 93 – 179 H/712-792 M )
a. Riwayat hidup Imam Malik
Beliau dilahirkan pada tahun 93 H ( 712 M ). Nama lengkapnya abu Abdillah
Malik bin Anas bin Malik bin abu amir bin ‘Amr bin al Harits adalah seorang
Imam Darul hijrah dan seorang faqih, pemuka madzhab Malikiyah.
Imam malik dilahirkan di kota madinah, dari pasangan Anas bin Malik dan
Aliyah binti Surauk, bangsa arab yaman. Ayah beliau bukan Anas bin Malik
sahabat nabi, tetapi seorang tabi’in yang tinggal di Zulmarwah, sebelah
utara madinah dan bekerja sebagai pembuat panah.[9][9]
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang dikaruniai 3 anak laki-laki ( Muhammad, Hammad, dan
Yahya ) dan seorang anak perempuan ( Fatimah ). Imam Malik wafat pada hari ahad
14 Rabiul awal 179 H (798 M ) di madinah dan dimakamkan di Haqi’.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau adalah seorang muhadist yang menjunjung tinggi hadist
Rasullullah Saw. Jika hendak memberikan hadist, ia berwudhu’ terlebih dahulu,
kemudian duduk di alas sholat dengan tenang dan tawadhu’. Selain ahli hadist,
beliau juga ahli fikih. Sehingga seluruh warga hijaz menyebutnya dengan “Sayyidi
fuqaha al hijaz “.
c. Karya-karyanya : Al muwatha’ merupakan karyanya
yang sangat gemilang dalam ilmu hadist. Beliau menulisnya pada tahun 144 H atas
anjuran Kholifah Ja’far Manshur sewaktu menunaikan ibadah haji. Ulama’-ulama’
yang mensyarah Muwatho’antara lain :[10][10]
1) Ibnu abdil baar, menyusun 2 syarah dengan nama al Tamhid dan al Istidzkar
2) Abualwalid dengan al Mau’ib
3) Al Zarqany dan ad Dahlawy dengan namaal musawwa
4) Al baji, sulaiman ibn Kholaf ( wafat 473 H ) menyusun 2 syarah: Istifa
dan Muntaqa berjumlah 7 jilid.
5) Al Kandahlawy, Muh. Zakaria (1315 H ) menulis Awjaz
Al Masalik Syarh Muwatha’ Li Imam Malik.
Adapun karya lainya :Risalah ila ibn wahb fi al qadr, kitab an
nujum, risalah fi aqdhiyah, risalah ila abu ghassan, kitab al syiar dan
kitab al manasik.
8. Imam Hakim( 321 – 405 H )
a. Sekilas tentang biografi al hakim
Nama lengkap beliau adalah Abdullah Muhammad bin Abdullah bin muhammad bin
Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin al Bayyi’ al Dabbi al Tahmani al Naisaburi yang
lahir di Naisabur pada hari senin 12 Rabiul Awwal 321 H. ayahnya Abdullah
Muhammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah serta
sangat loyal terhadap bani Saman yang menguasai daerah Samaniyah.
Dalam catatan sejarah, daerah Samaniyah pada abad ke-3 H telah melahirkan
tokoh-tokoh hadist kenamaan semisal al bukhori, imam muslim, Abu Dawud, al
Tirmidzi, al Nasa’i, serta Ibnu Majah.[11][11]
b. Perhatiannya dan pemikiran al hakim terhadap ilmu hadist
Dalam perjalanan hidupnya selama 84 tahun, al hakim telah melakukan kiprah
yang memberi kontribusi cukup besar dalam bidang hadits melalui karya
monumentalnya, al Mustadrak ‘ala al shohihaini. Dalam catatan
sejarah, al hakim telah berguru kepada 1000 orang ahli hadist lebih. Ibnu
Hiban, al Daruqutni, dan abu ali an
Nasaiburi merupakan guru beliau yang amat ia segani dan mempunyai kedudukan
tersendiri di mata beliau disamping karena intensitas pertemuannya dengan al hakim
namun karena mereka cukup handal.
Berbeda dengan ulama’-ulama’ sebelumnya ( pasca at-turmudzi ), al hakim
tidak mengklasifikasi hadist menjadi sahih, hasan, dan dhoif. Ia justru
membagi hadist menjadi 2, yakni hadist shahih dan dhoif, dalam pandangan
beliau hadist hasan masuk dalam kategori sahih.[12][12]
c. Karya-karyanya
Al hakim merupakan tokoh intelektual muslim abad ke-4 H yang memegang
komitmen keilmuannya. Diantara karya-karyanya: Tahrij al sahihaini, tarikh
an nasaibur, fadhail imam Syafi’i, fadhail syuyukh, al mustadrak ‘ala al sahihaini,
al madhal ila iklil dan sebagainya. diantara karyanya yang terkenal
dihadapan kita adalah Al Mustadrak ala al shahihain, al madkhal ila iklil
dan ma’rifah fi ‘ulum al hadist
9. Imam al Darimi( 181- 225 H )
a. Biografi Imam
Al Darimi
Beliau bernama lengkap Abdurrahman ibn Abdirrahman ibn al Fadhl ibn Bahram
ibn Abdish Shamad, kuniyahnya abu Muhammad. Ia juga dinisbatkan kepada Tamimi,
yaitu qabilah dimana ia bernaung, juga dinisbatkan dengan al Darimi, yaitu
nisbat kepada Darim ibn Malik dari bani Tamim.
Beliau dilahirkan pada tahun 181 H di kota Samarkand, irak. Sejak kecil
beliau dikaruniai kecerdasan otak sehingga mudah paham dan hafal setiap apa
yang ia dengar.
Beliau wafat pada hari Tarwiyah tahun 255 H, setelah shalat ashar. Ia dikubur
pada hari jum’at yang bertepatan dengan hari arafah. Ketika wafat berusia 75
tahun.
b. Perhatian dan pemikirannya terhadap ilmu hadits
Al Darimi adalah sosok yang gigih dalam mencari hadist dan diakui oleh
kebanyakan ulama’ hadist. Salah satu kitabnya yang berjudul “al hadist al
musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’ yang beliau susun dengan
sistematika bab-bab fikih, sehingga kitab ini popular dengan sebutan “sunan
al darimi “.
c. karya-karyanya
Karya beliau yang popular adalah kitab hadist yang diberi judul “al
hadist al musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’ atau yang
terkenal dengan sunan al Darimi. Disamping itu al Darimi juga menyusun kitab
tafsir dan kitab ensiklopedi (al Jami’). Namun, pada masa kini tidak bisa kita
temukan lagi keberadaannya.
- Biografi Tokoh-tokoh Hadist Indonesia
Banyak tokoh - tokoh hadist indonesia yang telah banyak berperan penting
dalam perkembangan ilmu hadits di Indonesia. Mereka telah banyak memberikan kontribusi
terhadap khasanah serta wawasan tentang hadist-hadits yang dipelajari hingga
sekarang.
Diantara tokoh –tokoh hadits Indonesia antara lain: K.H. Hasyim Asy'ari, Prof. M.Quraiysh Shihab,
Prof. M. Syuhudi Ismail, A. Hasan Bandung, Prof. T.M. Hasbi Ash- shidieqi, Syekh
Mahfud At-Tirmisi
1. K.H Hasyim Asy'ari
a. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy'ari
Nama lengkap beliau adalah Hasim bin Asy'ari bin Ustman bin Sihan lahir di
pondok Nggedang jombang jawa timur ,10 april 1875 adalah pendiri pesantren dan
perintis NAHDLATUL ULAMA(NU) salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ia di kenal sebagai
tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Ibunya bernama Halimah binti Raja
Brawijaya VI (Embu Peteng), beliau meninggal dunia pada tanggal 15 Juli 1947 karena pendarahan
otak dan di makamkan di Tebuireng .
b. Perhatian Beliau terhadap ilmu hadist
KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1892 menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di mekah, Di sana ia berguru
pada Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfud
At-Tirmisi, gurunya di bidang hadist. hubungannya lebih dekat kepada syeikh
Mahfud yang terkenal sebagai seorang isnad (matan rantai penghubung)
pengajaran kitab shahih Bukhori yang menyambung pada imam Bukhori .Dari syekh
Mahfud itulah Mohammad Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih bukhori dan
muslim. sampai akhirnya di kenal ahli hadits.
c. karya-karyanya di antara lain :
1. Risalah Ahlussunnah Waljamaah .
2.
Imam Nawawi
a.
Riwayat hidup Imam Nawawi
Beliau
adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu
Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah
kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.
Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan.
Beliau mulai belajar di Katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan
hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika
berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa
bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis
karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan
menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan
manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi
semakin besar.
An-Nawawi
tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah
thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang
diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di
dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya
yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia
rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang
lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik
penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan
Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab
5/355].
Diantara
syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu
Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad
Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar
Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas
Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.Beliau Wafat pada 24 Rajab 676 H
b.
Peran Dalam Ilmu Hadist.
Pada tahun
651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah
dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada
tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak
untuk mengambil gaji.
Beliau
digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini
karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang
hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi
hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan
bahwa beliau berkata: ”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku
Muhyiddin.”
Imam
An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah
dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering
tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan
Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang
halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk
menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan
berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah
fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.
Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena berisi
kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari
semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan
sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja
ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian
kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
c.
karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi
meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat
puluh kitab, diantaranya:
1)
Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush
Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat
Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
2)
Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth
Thalibin, Al-Majmu’.
3)
Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal
Lughat.
4)
Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab
Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab
ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang
besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala,
kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
1.
Imam Cokroaminoto(Ahmad
Khatib)
a.
Riwayat hidup imam Ahmad
Khatib
Ahmad Khatib
sering disebut-sebut pelopor gerakan pembaruan Islam pada awal abad ke-20 di
Indonesia. Sekurang-kurangnya guru bagi kaum modernis generasi awal Dia memang
guru kaum muda angkatan pertama semisal Ahmad Dahlan, Haji Abdul Karim
Amrullah, ayah Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, Muhammad Jamil
Jambek dan Haji Abdullah Ahmad. Tapi jangan lupa, Syekh Khatib juga guru Kiai
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi yang dicap kolot itu.
Paling kurang tradisional, sebagai lawan modernis yang dilekatkan pada Muhammadiyah
yang didirikan Kiai Dahlan
Syahdan,
generasi pertama kaum muda itu punya minat yang besar dalam perkara yang
berkaitan dengan ilmu hisab. Semangat ilmiah yang satu ini sampai sekarang
diwarisi oleh para pemimpin Muhammadiyah, terutama dalam perkara penentuan hari
lebaran. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk belajar, sesudah terjadi heboh
dengan penetapan kiblat dalam Masjid Agung di Yogyakarta. Ilmu bumi dan ilmu
alam merupakan mata pelajaran kegemaran Dahlan muda. Maka, bukan kebetulan di
Mekkah beliau berguru kepada Ahmad Khatib, yang juga mementingkan ilmu yang
berhubungan dengan menghitung. Syekh Khatib yang dikenal penentang gigih
tarekat dan adat Minangkabau dalam perkara hokum waris ini memang punya
reputasi sebagai ahli ilmu hitung dan hisab.
b.
Perhatian beliau dalam hadist.
Meskipun
kaum muda itu memperoleh pengajaran dari Syekh Khatib, bukan sendirinya harus
mengikuti paham guru mereka. Sebetulnya tidak aneh: bukankah Washil ibn ‘Atha
memisahkan diri dari gurunya, Abul Hasan Asy’ari? Ahmad Khatib tidak bisa
membebaskan dirinya dari tradisi keagamaan bermazhab. Beliau tetap berpegang
alias bertaqlid kepada mazhab Syafi’i. Dia memang menyuruh murid-muridnya
membaca karangan Muhammad Abduh, tokoh pembaru dari Mesir yang pemikirannya amat
berpengaruh pada Dahlan itu. Tetapi hal ini tidak berarti Ahmad Khatib setuju
dengan pemikiran-pemikiran Abduh. Rupanya beliau membolehkan murid-muridnya
membaca karangan-karangan Abduh, supaya pemikiran-pemikiran pembaharu dari
Mesir itu ditolak.
Ahmad Khatib
boleh dibilang berasal dari keluarga terkemuka dan dinamis. Dia lahir di
Bukittinggi pada tahun 1855. Ayahnya Jaksa Kepala di Padang. Ibunya anak Tuanku
nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi. Tidak syak lagi, darah yang
mengalir di tubuh Ahmad Khatib berasal dari golongan ulama dan kaum adat. Unsur
ulamalah yang kemudian memainkan peranan lebih penting dalam hidupnya, dan
kelak bahkan dia menantang beberapa unsur dan kedudukan golongan adat. Ibunya
adalah adik ibu Syekh Taher Jalaluddin (1869-1956). Dia juga punya seorang
keponakan yang kelak menjadi orang besar di Republik. Namanya Haji Agus Salim.
Pada usia yang masih muda
sekali, Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan kemudian bermukim di sana.
Perkembangan karirnya di Mekkah digambarkan oleh Hamka sebagai berikut:
“… pada tahun 1296, yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah, bernam Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i… Oleh karena Syekh Sleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan syarif-syarif di Mekkah, maka Ahmad Khatib dikenal oleh istana dan ulama-ulama lain; dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik. Menurut keterangan puteranya Abdul Hamid Al-Khatib, dalam satu jamuan makan berbuka puasa di istana Syarif, ketika Syarif menjadi imam maghrib di sana, ada bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib yang menjadi makmum dengan serta merta menegur kesalahanitu, sehingga sehabis shalat, Syarif bertanya kepada Syekh Saleh Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah diterangkan bahwa itu adalah menantunya, Syarif memuji Syekh Saleh mendapat menantu pemuda yang begitu tampan, manis, alim, dan berani. Inilah yang kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi imam dari golongan Syafi’i di Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi khatib, merangkap pula menjadi Guru Besar, ulama yang diberi hak mengajar agama di Masjidil Haram.
“… pada tahun 1296, yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah, bernam Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i… Oleh karena Syekh Sleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan syarif-syarif di Mekkah, maka Ahmad Khatib dikenal oleh istana dan ulama-ulama lain; dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik. Menurut keterangan puteranya Abdul Hamid Al-Khatib, dalam satu jamuan makan berbuka puasa di istana Syarif, ketika Syarif menjadi imam maghrib di sana, ada bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib yang menjadi makmum dengan serta merta menegur kesalahanitu, sehingga sehabis shalat, Syarif bertanya kepada Syekh Saleh Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah diterangkan bahwa itu adalah menantunya, Syarif memuji Syekh Saleh mendapat menantu pemuda yang begitu tampan, manis, alim, dan berani. Inilah yang kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi imam dari golongan Syafi’i di Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi khatib, merangkap pula menjadi Guru Besar, ulama yang diberi hak mengajar agama di Masjidil Haram.
Menurut
Snouck Hurgronje, tugas seorang Imam di Masjidil Haram cukup terbatas: dia
adalah hanya anggota dari suatu kelompok orang yang secara bergiliran memimpin
salat menurut Mazhab Syafi’i. Memang jarang sekali seorang yang bukan Arab atau
orang yang bukna berasal dari Mekkah diangkat menjadi anggota tim ini.
Waktu Snouck
Hurgronje bermukim di Mekkah (1884/5), Syekh Ahmad Khatib belum begitu
terkenal. Orientalis yang menyamar dengan nama Abdul Ghaffar itu tidak menyebut
namanya dalam buku tentang Mekah. Satu dasawarsa kemudian, 1894, dan seterusnya
barulah Snouck menulis laporan tentang Syekh Khatib. Bahkan pada tahun 1904
Ahmad Khatib disebut sebagai: “Seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh
orang Jawa di Mekkah dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di
antara mereka. Semua orang di Indonesia yang naik haji, mengunjungi dia”.
Menurut Haji
Agus Salim dalam kuliahnya di Universitas Cornell pada tahun 1953, Syekh Ahmad
Khatib tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje waktu dia
mengunjungi Mekkah. Memang dalam buku Snouck Hurgronje banyak tokoh yang
menerima gambaran yang lengkap tetapi Ahmad Khatib tidak, barangkali karena dia
masih terlalu muda pada waktu itu. Pada tahun 1905 Snouck Hurgronje dimintai
pendapatnya tentang kemungkinan Agus Salim diangkat sebagai pegawai Kedutaan di
Jeddah dan Residen Riau pada waktu itu mengemukakan keberatan: “Mungkin Agus
Salim akan dipengaruhi oleh pamannya di Mekkah yang begitu fanatik anti adat.
Pada waktu itu Snouck Hurgronje tidak melihat bahaya dalam posisi Agus Salim di
Jeddah.
Boleh jadi
Snouck tidak begitu menyukai Syekh Khatib. Bahkan orang yang pernah menikahi
mojang Priangan ini, dan punya anak pula tapi dia tidak mengakui perkawinan dan
otomatis anaknya itu di depan hukum Belanda, punya pandangan yang miring
terhadap mertua Syekh Khatib. Menurutnya Saleh Kurdi seorang woekeraar,
alias rentenir, yaitu orang yang meminjamkan uang dengan bunga yang terlalu
tinggi. Lantaran kaya sekali dia pernah menolong Syarif yang sedang kesulitan
uang. Dengan begitu dia pun menjadi cukup akrab dengan penguasa Mekkah itu, dan
bisa mendapatkan kedudukan terhormat untuk menantunya. Memang pandangan Snouck
Hurgronje tentang Ahmad Khatib ini penuh dengan kritik tajam dan fitnah. Kritik
ini mungkin didalangi oleh Sayid Usman yang berpolemik dengan dia. Yang pasti,
Saleh Kurdi juga aktif di bidang penjualan buku dan penerbitan. Pada tahun 1926
Hamka pernah bekerja di perusahaan percetakannya itu.
Seperti
diungkapkan Karel Steenbrink (1984), sesudah Sarekat Islam didirikan pada 1912,
Sayid Usman, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang bertugas melancarkan
pekerjaan Snouck Hurgronje, dan sudah begitu tua waktu itu, masih bersedia
mengarang brosur yang menentang organisasi ini. Judulnya Menghentikan Rakyat
Biasa dari Bergabung dengan Sarekat Islam. Dalam tulisannya, ulama Betawi ini
menuduh Sarekat Islam sebagai kelompok yang tidak Islam sama sekali. Dia juga
mencap bahwa Haji Umar Said Cokroaminoto (HOS Tjokroaminoto), pemimpin
organisasi ini, “tidaklah hidup sesuai dengan norma-norma Islam” Brosur ini
dikirimkan oleh pemerintah kolonial kepada guru-guru agama di Pulau Jawa dan
pulau-pulau lain di Indonesia. Dan Ahmad Khatib menolak keras pendapat musuh
lamanya itu. Kita ketahui, kelak keponakannya, Haji Agus Salim, bergabung
dengan Sarekat Islam dan menjadi orang penting di sini. Salah satu peran
terbesar Haji Agus Salim adalah membersihkan organisasi dari anasir komunisme.
Ahmad Khatib
memang tidak sekali-dua menyerang Belanda. Dalam berbagai tulisannnya, Ahmad
Khatib menyamakan Belanda dengan orang kafir yang mengguncangkan agama islam di
hati penganutnya. Dalam bukunya, Dhau as-Siraj pada menyatakan Isra’ dan
Mi’raj, yang diterbitkan tahun 1894, ia antara lain menulis:
“Ketahuilah
olehmu, bahwasanya hamba, tatkala mendengar daripada ihwal saudara-saudara kita
daripada orang Melayu yang telah bernama dengan orang Islam, yang telah
bercampur mereka itu dengan orang kafir, sebelum mengetahui ia daripada
agamanya lain daripada syahadat saja, dan menyatakanlah orang putih itu padanya
syubhat-syubhat pada agama Islam yang ada setengah dari pada syubhat itu mi’raj
Nabi kita kepada langit dan menerima pula orang jahil akan demikian syubhat dan
memungkiri pulalah ia akan mi’raj Nabi kita, karena mengingat kata gurunya
orang kafir itu karena jahilnya dengan hakekat agamanya dan karena buta-butanya
daripada ilmu dan karena itu adalah ia kepada barang mana ditariknya oleh orang
putih, niscaya tertariklah ia sertanya dan tiada mengetahui ia akan bodohnya.
Maka kasihlah hati hamba kepada mereka itu mendengar hal mereka itu, karena
telah jadi mereka itu dengan demikian itu murtad, keluar daripada agama Islam
dan tiadalah harus bahwa disembahyangkan mereka itu kemudian daripada mati…”
Ahmad Khatib
wafat pada tahun 1916 dalam usia sekitar 60 tahun. Pada waktu itu diskusi
antara “kaum tua” dan “kaum muda” baru mulai, dan belum jelas juga siapa yang
akhirnya akan masuk salah satu golongan. Oleh karena itu tidak mustahil bila
dia masih berubah pendapatnya andaikata dikaruniai usia yang lebih panjang
c.
Karangan - Karangannya
Beliau
mengarang Raudah al-Hussab fi ‘Ilm al-Hisab, membahas ilmu berhitung dan ilmu
ukur, terutama sebagai ilmu bantu untuk hukum Islam, dan Al Jawahir al Naqiyyah
fi’l A’mal al Jaibiyyah, berupa pedoman untuk pengetahuan tentang tanggal dan
kronologi. Kedua kitab ini diterbitkan di Kairo, masing-masing tahun 1310/1892
dan tahun 1309/1891.
Kita
tambahkan, beliau antara lain juga mengarang Kitab Riyadu’i Wardiyah
fi-Usulit-Tauhid w’l Furi’il Fiqh”, yang bisa dianggap sebagai pedoman praktis
untuk ilmu aqidah dan syari’ah. Dari karangan-karangannya itu, ditambah
kitab-kitabnya yang lain, Ahmad Khatib tampaknya tidak mencapai derajat
kesarjanaan yang dimiliki oleh Nawawi Banten. Dia mengarang karangan yang lebih
sederhana, tetapi karangan yang lebih dekat dengan diskusi sehari-hari,
sehingga cukup banyak karangannya yang boleh dianggap sangat relevan. Apalagi
sebagian besar karangannya ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga merupakan
sumbangan dalam mendirikan Khazanah Islam dalam bahasa Indonesia
- Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
a.
Riwayat hidup Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
Muhammad
Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan
pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok
Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir,
dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc
(S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar.
Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969
meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul
Al-I 'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur an Al-Karim.
Sekembalinya
ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor
bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain
itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur),
maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur
dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat
melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah
Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980,
Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya
yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm
Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor
dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai
penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya
ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan
Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar
kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain:
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah
Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga
banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus
Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI).
Di sela-sela
segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di
dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga
aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari
Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik
"Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta,
Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah
Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain
kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga
kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan
Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam
(Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir
Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).
- Imam Hasan Mustapa
a.
Riwayat Imam Hasan Mustapa
Hasan Mustapa, masyarakat
Sunda menyebutnya Penghulu Haji Hasan Mustapa, lahir di Cikajang Kabupaten
Garut (Jawa Barat) pada tanggal 3 Juni 1852 M., bertepatan dengan 14 Sya’ban
(Rewah) 1268 H. Dan, meninggal di Bandung, pada tanggal 13 Januari 1930 M.,
bertepatan dengan tanggal 12 Sya’ban 1348, dalam usia 80 tahun, atau 78 tahun
berdasarkan hitungan tahun Masehi.
Nama Hasan Mustapa, diberikan oleh ayah dan kakeknya. Hasan nama yang diberikan oleh ayahnya, dan Mustapa Nama yang diberikan kakeknya. Ayahnya bernama Mas Sastramanggala (Haji Usman) Camat kontrakan teh Cikajang, Garut. Dan, merupakan keturunan Bupati Parakanmuncang, yaitu Tumenggung Wiratanubaya. Sedangkan ibunya, bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), putri Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.
Nama Hasan Mustapa, diberikan oleh ayah dan kakeknya. Hasan nama yang diberikan oleh ayahnya, dan Mustapa Nama yang diberikan kakeknya. Ayahnya bernama Mas Sastramanggala (Haji Usman) Camat kontrakan teh Cikajang, Garut. Dan, merupakan keturunan Bupati Parakanmuncang, yaitu Tumenggung Wiratanubaya. Sedangkan ibunya, bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), putri Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.
Dengan
demikian, berdasarkan silsilah tersebut, baik dari pihak ayah, maupun ibu,
merupakan keturunan priayi. Bahkan, menurut silsilah Para Bupati Sukapura,
Hasan Mustapa, merupakan keturunan dari para Bupati Sukapura. Terjadi peralihan
yang menarik pada jalur kehidupan Hasan Mustapa, yaitu dari tradisi kehidupan
kepriayian (sebagai keluarga Camat dan keturunan Bupati Sukapura), ke tradisi
kehidupan pesantren. Peralihan ini sebenarnya tidak terlalu aneh bila melihat
tradisi Sukapura, yang pada jalur awal para Bupati Sukapura sangat mengindahkan
wejangan dari para Kyai, khususnya Syekh Abdul Muhyi. Bahkan salah seorang
Bupati Sukapura ini merupakan murid dan anak angkat Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan, yaitu Subangmanggala, anak kandung Kangjeng Dalem Anggadipa yang
dikenal dengan nama Dalem Sawidak.
Melihat
silsilah tersebut, maka tampak bahwa tradisi kehidupan pesantren (tradisi
keislaman) dan budaya tradisional Sunda, bukanlah hal yang asing bagi Hasan
Mustapa. Secara pribadi, tradisi kepesantrenan pada Hasan Mustapa, dimulai
tatkala kedua orang tuanya berkeinginan kuat untuk menjadikan anaknya seorang
ulama. Diceritakan bahwa kedua orang tuanya melakukan ber-nadzar dan berpuasa
sunat Senin-Kamis dan melakukan tirakat selama lima tahun, tanpa henti.
Sejak kecil
Hasan Mustapa dididik oleh orang tuanya belajar mengaji dan sembahyang, dan
dari ayahnya pertama kali dia mengenal ngaji dan sembahyang. Pada umur tujuh
tahun, dia dititipkan pada salah seorang Kyai yang bernama Hasan Basri, dari
Kiarakoneng. Kyai Hasan Basri adalah salah seorang ahli Qira’at, dan beliau
pernah berpendapat bahwa pelajaran membaca al Qur’an adalah merupakan dasar
pelajaran agama. Dari Kyai Hasan Basrilah Hasan Mustapa mulai belajar membaca
Al Qur’an dengan baik.
Pada usia 8
tahun Hasan Mustapa pernah dimasukkan ke Sekolah Kabupaten oleh Tuan Holle, dan
ayahnya tidak merestui serta memohon kepada Tuan Holle agar anaknya tidak
dimasukkan ke sekolah tersebut. Salah satu alasannya karena Hasan Mustapa akan
diajak olehnya berziarah ke Tanah Suci (Mekah). Semula Tuan Holle tidak dapat
mengabulkan keinginan ayahnya itu, karena Tuan Holle mengharapkan agar Hasan
Mustapa dapat bersekolah dengan para putera priyayi lainnya. Tetapi lama-lama
Hasan Mustapa diizinkannya pula untuk mengikuti ayahnya berziarah ke Mekah.
Di Mekah dia
sempat berguru kepada Syeh Mukri. Dalam waktu yang singkat itu, dia hanya
mendapatkan bacaan Fatihah dan Attahiyat serta bahasa Arab sedikit-sedikit.
Sekembalinya ke Tanah Air, belajar ngajinya dilanjutkan kembali. Berkat pelajaran
yang diterima dari Kyai Hasan Basri, dia sangat hapal akan isi Al Qur’an,
sehingga dapat menyebutkan sesuatu ayat di luar kepala.
Setelah itu dia berganti-ganti
guru dan tempat mengaji. Mula-mula dia mempelajari dasar-dasar sharaf dan nahwu
kepada Rd H. Yahya, seorang pensiunan Penghulu di Garut. Lalu pindah lagi ke
tempat yang agak jauh, yaitu ke Tanjungsari, Sumedang, untuk berguru kepada
Kyai Abdul Hasan dari Sawahdadap. Dari Kyai Abdul Hasan dia memperoleh
pelajaran ilmu sharaf, nahwu, dan fiqh. Dari Sumedang kembali lagi ke Garut
untuk berguru kepada Kyai Muhammad, dan Kyai Muhammad Ijrai. Kyai lain yang
diduga menjadi gurunya ialah Kyai Abdul Kahar (Surabaya) dan Kyai Halil
(Madura), juga kyai Indonesia lain yang berada di Mekah seperti Syekh Nawawi
Banten, Abdullah Al-Zawawi, Hasbullah, Syekh Abubakar Al-Satha.
Dalam buku Aji Wiwitan, Hasan Mustapa menyebutkan bahwa ia telah mendalami enam belas macam ilmu, di antaranya adalah: Ushul, Tasawuf dan Tauhid. Dalam bukunya disebutkan pula bahwa ia telah memperdalam ilmunya ke Mekah, antara lain belajar kepada Syeh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi. Dari latar belakang pendidikannya dapat disimpulkan bahwa Hasan Mustapa dibesarkan di lingkungan pesantren, dan memperoleh pendewasaan pendidikannya di Mekah. Selama delapan tahun dia bermukim di Mekah, dan baru pulang ke tanah air ketika berusia 30 tahun, pada tahun 1882. Selama 10 tahun di Mekah itu, ia berkenalan dengan Snouck. Selanjutnya kembali ke Garut dalam keadaan ayahnya telah meninggal. Ia tinggal di Garut selama tujuh tahun dan telah dikenal sebagai kyai. Kemudian ia oleh diajak Snouck untuk mengembara ke beberapa tempat dan akhirnya diangkat jadi Penghulu di Aceh, dan kemudian jadi Penghulu di Bandung hingga pensiun.
Dalam buku Aji Wiwitan, Hasan Mustapa menyebutkan bahwa ia telah mendalami enam belas macam ilmu, di antaranya adalah: Ushul, Tasawuf dan Tauhid. Dalam bukunya disebutkan pula bahwa ia telah memperdalam ilmunya ke Mekah, antara lain belajar kepada Syeh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi. Dari latar belakang pendidikannya dapat disimpulkan bahwa Hasan Mustapa dibesarkan di lingkungan pesantren, dan memperoleh pendewasaan pendidikannya di Mekah. Selama delapan tahun dia bermukim di Mekah, dan baru pulang ke tanah air ketika berusia 30 tahun, pada tahun 1882. Selama 10 tahun di Mekah itu, ia berkenalan dengan Snouck. Selanjutnya kembali ke Garut dalam keadaan ayahnya telah meninggal. Ia tinggal di Garut selama tujuh tahun dan telah dikenal sebagai kyai. Kemudian ia oleh diajak Snouck untuk mengembara ke beberapa tempat dan akhirnya diangkat jadi Penghulu di Aceh, dan kemudian jadi Penghulu di Bandung hingga pensiun.
b. Perhatiannya
dalam hadist
Pada bagian
ini akan dikemukakan sejumlah peran sosial Hasan Mustapa dalam masyarakat Sunda
secara umum, khususnya masyarakat Muslim Sunda. Peran sosial tersebut meliputi
peran Hasan Mustapa dalam pekerjaan resminya sebagai Penghulu Agama pada
pemerintahan Belanda, atau di luar pekerjaannya.
Menurut
Wangsaatmadja , pada tahun 1882 Hasan Mustapa dipanggil pulang ke Garut oleh R.
H. Muhammad Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu. Hasan Mustapa diberi
tugas untuk meredakan ketegangan-ketegangan di antara para ulama di Garut
akibat pertentangan paham di antara mereka.
Selama tujuh
tahun Hasan Mustapa memberikan pelajaran agama secara bergiliran siang dan
malam, terutama di Mesjid Agung Garut. Tidak sedikit ulama yang sengaja datang
untuk berguru kepadanya, dan berkat usahanya dan dibantu oleh R.H. Muhammad
Musa dan Holle, bentrokan paham antara para ulama di Garut dapat diredakan.
Ketika itu
Hasan Mustapa telah banyak berkenalan dengan para orientalis Belanda, di
antaranya Holle, Brandes, Rinkes, dan Snouck Hurgronye. Karena pengetahuannya
yang luas tentang masalah agama Islam, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye meminta
Hasan Mustapa untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura.
Saat itu, Snouck adalah penasihat pemerintah Belanda tentang masalah-masalah
orang Indonesia dan Arab. Catatan perjalanan Snouck itu dimuat dalam BKI nomor
101 tahun 1942 halaman 311-324 dengan judul Aantekeningen over Islam en Volklore
in West en Midden Java.
Snouck
Hurgronye sebetulnya telah mengenal Hasan Mustapa semenjak masih bermukim di
Mekah, dan konon pernah ditolong oleh Hasan Mustapa ketika Snouck akan dibunuh
oleh orang-orang Arab. Semenjak itulah Hasan Mustapa menjadi sahabat karibnya,
bahkan ketika Snouck pulang ke negerinya, mereka masih tetap berhubungan sampai
Hasan Mustapa meninggal.
Selama tujuh tahun Hasan
Mustapa menjadi pembantu Snouck Hurgronye, dan pada tahun 1893 atas usul
Snouck, Pemerintah Belanda mengangkatnya menjadi Hoofd Penghulu di Aceh.
Menurut penuturan Awak-awak Galih Pakuan, pada waktu itu setiap penghulu yang bertugas di Aceh sering dibunuh orang, karena dianggap tidak dapat berlaku adil di dalam menyelesaikan sesuatu masalah atau persengketaan di antara mereka. Pada masa itu, seorang Hoofd Penghulu di samping menjadi seorang pemuka agama, juga turut memberikan keputusan di dalam masalah hukum dan mereka biasa disebut Kadi.
Menurut penuturan Awak-awak Galih Pakuan, pada waktu itu setiap penghulu yang bertugas di Aceh sering dibunuh orang, karena dianggap tidak dapat berlaku adil di dalam menyelesaikan sesuatu masalah atau persengketaan di antara mereka. Pada masa itu, seorang Hoofd Penghulu di samping menjadi seorang pemuka agama, juga turut memberikan keputusan di dalam masalah hukum dan mereka biasa disebut Kadi.
Di Aceh pada
waktu itu, bila seseorang dikalahkan dalam sesuatu perkara, maka orang yang
kalah akan bertanya, berdasarkan hukum apa, ayat berapa, ia dianggap bersalah?
Bila Kadi tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan hatinya, maka
Kadi itu dianggap berat sebelah, tidak adil, sehingga ada kalanya Kadi itu
dibunuh.
Menurut penilaian Pemerintah
Belanda, orang yang menjadi Hoofd Penghulu Aceh, haruslah orang yang cerdas,
pandai dalam ilmu hukum di samping menguasai ilmu agama secara mendalam.
Berdasarkan pendapat Snouck Hurgronye, maka orang yang tepat untuk jabatan
tersebut adalah Haji Hasan Mustapa.
Hasan Mustapa bersedia memikul tugas tersebut dengan mengajukan dua syarat:
Hasan Mustapa bersedia memikul tugas tersebut dengan mengajukan dua syarat:
1)
Ia harus dipercayai sepenuhnya. Segala
perkataan, perbuatan, dan tulisan-tulisannya jangan diganggu. Kesanggupan
Pemerintahan Belanda memenuhi persyaratan pertama ini harus dinyatakan secara
tertulis.
2)
Bila ia telah berhasil dengan tugasnya di Aceh,
dan bila nanti ada lowongan Jabatan Hoofd Penghulu Bandung, dia minta
agar ditempatkan di Bandung.
Syarat
pertama segera dikabulkan dengan keluarnya surat kepercayaan dari Ratu
Wihelmina. Tahun 1893 Hasan Mustapa secara resmi diangkat menjadi Hoofd
Penghulu di Aceh.
Sebagai Hoofd Penghulu di Aceh, Hasan Mustapa telah menjalankan tugasnya dengan baik. Masyarakat Aceh pun merasa puas atas keputusan-keputusan yang dia berikan dalam persengketaan-persengketaan yang timbul. Hal ini disebabkan dia menguasai dan hapal betul akan hukum-hukum Islam yang menjadi dasar keputusan semua perkara. Dan sebagai tanda terima kasih, rakyat Aceh telah memberikan sebidang tanah kepada dia. Di atas tanah itu, dia membangun sebuah masjid.
Sebagai Hoofd Penghulu di Aceh, Hasan Mustapa telah menjalankan tugasnya dengan baik. Masyarakat Aceh pun merasa puas atas keputusan-keputusan yang dia berikan dalam persengketaan-persengketaan yang timbul. Hal ini disebabkan dia menguasai dan hapal betul akan hukum-hukum Islam yang menjadi dasar keputusan semua perkara. Dan sebagai tanda terima kasih, rakyat Aceh telah memberikan sebidang tanah kepada dia. Di atas tanah itu, dia membangun sebuah masjid.
Jabatan Hoofd
Penghulu Aceh dipegang dalam waktu yang singkat, yaitu dua tahun. Pada tahun
1895 dia kembali ke tanah Priangan untuk memangku jabatan Hoofd Penghulu
Bandung. Jabatan Hoofd Penghulu Bandung dilaluinya dalam waktu dua puluh
tiga tahun, dan pada tahun 1918 atas permintaan sendiri dia diberhentikan
dengan hormat, dan memperoleh hak pensiun. Pada waktu itu usianya kurang lebih
66 tahun.
Menurut Kern, seperti dikutip
Tini Kartini, ketika masih bermukim di Mekah Hasan Mustapa telah mengajar
ulama-ulama yang berdatangan dari seluruh Jawa. Ia mengajar bahasa Arab dan
soal-soal keagamaan. Oleh karena itu ia cukup dikenal dan dihormati oleh
ulama-ulama di seluruh Jawa, dan menjadi tempat bertanya serta tempat meminta
nasihat bagi penghulu-penghulu Priangan.
Salah satu alasan yang bisa diungkap yang menjadi penyebab Hasan Mustapa meminta berhenti sebelum masa baktinya selesai sebagai pejabat Hoofd Penghulu Bandung, adalah karena hubungannya dengan golongan Kabupaten maupun dengan golongan Kaum tidaklah begitu akrab. Hal itu ditandai, misalnya, ketika sebuah panitia yang bernama “Comite Mendakna Hadji Hasan Moestapa” (Panitia Peringatan Wafatnya Haji Hasan Mustapa) didirikan di Bandung, tak seorang pun dari golongan Kaum yang menjadi anggotanya.
Walaupun Hasan Mustapa disegani dan dikagumi keahliannya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang bahasa dan adat istiadat Sunda, namun kelihatannya mereka mengambil jarak dan tidak terlalu dekat dengannya. Diduga penyebabnya adalah karena sikap dan paham agama mereka.
Salah satu alasan yang bisa diungkap yang menjadi penyebab Hasan Mustapa meminta berhenti sebelum masa baktinya selesai sebagai pejabat Hoofd Penghulu Bandung, adalah karena hubungannya dengan golongan Kabupaten maupun dengan golongan Kaum tidaklah begitu akrab. Hal itu ditandai, misalnya, ketika sebuah panitia yang bernama “Comite Mendakna Hadji Hasan Moestapa” (Panitia Peringatan Wafatnya Haji Hasan Mustapa) didirikan di Bandung, tak seorang pun dari golongan Kaum yang menjadi anggotanya.
Walaupun Hasan Mustapa disegani dan dikagumi keahliannya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang bahasa dan adat istiadat Sunda, namun kelihatannya mereka mengambil jarak dan tidak terlalu dekat dengannya. Diduga penyebabnya adalah karena sikap dan paham agama mereka.
Sebagai
Hoofd Penghulu, Hasan Mustapa adalah pegawai Pemerintah. Walaupun demikian
Hasan Mustapa bukanlah pegawai yang mau menaati segala perintah dan kemauan
atasannya begitu saja, tanpa memperhitungkan pendapat dan kepribadiannya. Hal
ini dapat kita lihat antara lain dari pernyataan-pernyataan yang diajukannya
ketika ia akan diangkat menjadi Hoofd Penghulu di Aceh; dan dari penolakannya
yang tegas terhadap ajakan Pemerintah Belanda yang menginginkan agar penganut
agama Islam diperkenankan pula mempelajari agama Kristen.
Wangsaatmadja
dalam Bukunya yang berjudul Singa Bandung (1930:31), secara teperinci telah
menguraikan sifat dan sikap hidupnya. Antara lain disebutkan bahwa dia adalah
seorang yang memiliki sifat luar biasa. Ketabahan dan kesabarannya dikagumi
oleh semua yang mengenalnya. Selain itu ia memiliki firasat dan intuisi yang
tajam, hingga tidak jarang ia mengetahui apa yang diinginkan atau yang menjadi
pikiran orang lain tanpa diutarakan dahulu kepadanya.
Dia pun
dikenal sebagai orang yang teguh pada pendiriannya, serta berani mengemukakan
pendapat dan pendiriannya itu kepada siapa pun. Bahkan berani pula ia menentang
pendirian dan kehendak atasannya bila menurut pendapatnya tindakan atasannya
itu tidak sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini dapat dilihat dari penolakannya
yang tegas terhadap ajakan pemerintah Belanda ketika itu yang menginginkan agar
penganut agama Islam diijinkan pula untuk mempelajari agama Kristen, dan
usahanya yang berhasil dalam mengusir rumah makan Cina dari sekeliling Masjid
Agung Bandung, karena menurut pendapatnya tidak pantas tempat orang Islam
bersembahyang dikeliling bau masakan babi. Tidak jarang pula buah pikiran dan
perkataannya mengejutkan Bupati beserta bawahannya, sebab perkataannya itu
merupakan sindiran halus yang bermakna dalam.
Dia pun dikenal sebagai
seorang putera yang sangat hormat dan berbakti kepada orang tuanya. Di samping
itu, ia adalah orang yang sangat pemurah dan pengasih, baik kepada sanak
keluarganya sendiri, maupun kepada orang lain bahkan kepada pembantu rumah
tangganya.
Sebagai ulama yang luas dan dalam ilmunya, dengan tangan terbuka dan hati yang bersih dia selalu menerima semua orang yang bersungguh-sungguh ingin belajar kepadanya. Namun demikian ia tidak pernah mau dianggap dan disebut guru oleh semua yang datang belajar kepadanya. Menurut pendapatnya agar mereka bertanggung jawab pada dirinya masing-masing, dan supaya bisa mengembangkan dirinya sendiri.
Sebagai ulama yang luas dan dalam ilmunya, dengan tangan terbuka dan hati yang bersih dia selalu menerima semua orang yang bersungguh-sungguh ingin belajar kepadanya. Namun demikian ia tidak pernah mau dianggap dan disebut guru oleh semua yang datang belajar kepadanya. Menurut pendapatnya agar mereka bertanggung jawab pada dirinya masing-masing, dan supaya bisa mengembangkan dirinya sendiri.
Dari
karya-karyanya dapatlah dilihat bahwa dia adalah seorang pribadi yang amat
tanggap, perenung yang mendalam dan seorang yang berani mengemukakan
pendapatnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari catatan-catatan peristiwa yang
sering dicantumkan dalam karya-karyanya, misalnya berlangsung kongres Sarikat
Islam di Bandung pada tahun 1916, meninggalnya seorang mufti besar yang berasal
dari Mesir dalam kerusuhan di luar kota Mekah pada tahun 1924, sebab-sebab
berjangkitnya penyakit kuris yang sering melanda para jemaah haji dari
Indonesia, dan banyak lagi . Sedangkan renugan-renungannya dapat dibaca dalam
dangding-dangdingnya dan dalam Syeh Nur Jaman.
Dari
anekdot-anekdotnya yang telah dihimpun oleh Wangsaatmadja dalam Singa Bandung,
dan dari kalimat-kalimat yang sering diselipkan dalam bahasa-bahasanya, dia
memiliki rasa humor yang halus, cerdas dan tajam otaknya. Pendapat dan buah
pikirannya selalu dilandasi dengan argumentasi yang kuat. Oleh karena itu dia
dikagumi dan disegani baik oleh lawan, apa lagi pengagumnya.
Dalam tulisan-tulisannya, dia
sering menganjurkan agar selalu sabar dan tawakal, serta memelihara kedamaian
dalam hidup bermasyarakat. Sifat dan sikap hidupnya sering pula diungkapkan
secara eksplisit dalam karya-karyanya. Misalnya, dalam salah satu karyanya pernah
mengungkapkan kata –kata sebagai berikut:
Kaula ayeuna
ngawakcakeun jalan karahayuan, yen urang sugria manusa kajajaden taya nu boga.
Pusakana nyaah ka sasama, jadi rapih pada sili pihapekeun diri, rumasa pada
dadasar sabar tawekal.
Artinya:
sekarang saya menjelaskan jalan kesejahteraan, yaitu kita semua yang merupakan
manusia ciptaan tidak ada yang memiliki. Azimatnya sayang kepada sesama, damai
saling menitipkan diri, merasa berdasar pada sikap sabar-tabah).
Satu lagi
contoh sikap hidupnya yang dia ungkapkan dalam buku Syeh nur Jaman (1958: 7),
berbunyi seperti berikut:
“Lamun jalma
kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur, tangtu ripuh nu ngagugu, ngeunah nu
digugu. Lamun jalma embung ngagugugu kana kahayang batur, tangtu ripuh nu
hayang digugu, ngeunah nu embung ngagugu. Anu matak rapihna lamun silih gugu,
satengah jeung satengah, sakadar henteu matak ripuh sala saurang.”
Artinya:
Kalau orang harus menurut saja pada kehendak orang lain, pasti susah yang harus
menurut, senang yang diturut. Kalau orang tidak mau menuruti kehendak orang
lain, pasti susah yang minta diturut, senang yang tidak mau menurut. Oleh
karena itu, sebaiknya saling turut, setengah-setengah, agar salah satu pihak
tidak rugi
c.
karya-karya hasan mustapa
Selain
dikenal sebagai Hoofd Penghulu yang cerdik dan luas pengetahuannya, baik
tentang agama maupun tentang kebudayaan Sunda. Dia dikenal juga sebagai
pengarang besar yang jumlah dan nilai karyanya besar pula. Karena itu, Hasan
Mustapa sangat dikenal di masyarakat Sunda tidak hanya sebagai pegawai
pemerintah namun juga sebagai budayawan, terutama di kalangan budayawan. Ia
dianggap sebagai bujangga Sunda yang belum ada bandingannya sampai saat ini.
Beberapa puisinya yang berbentuk dangding dikenal secara lisan, juga
lelucon-leluconnya sering diperbincangkan. Sampai-sampai sikap hidupnya
diketahui umum, mungkin bersumber dari seorang penutur, atau dari buku-buku
yang sempat beredar, di antaranya buku Bale Bandung, dan Syeh Nurjaman.
Orang menduga bahwa dia mulai mengarang setelah kembali dari Aceh. Sedangkan Wangsaatmadja menyebutkan bahwa ketika masih bermukim di Mekah dia telah menulis buku kecil dalam bahasa Arab berjudul Fathul Muin yang diterbitkan di Mesir. Juga Kern menyebutkan bahwa semasa dia bermukim di Mekah pernah menulis buku-bulu tentang agama dan puisi Arab yang diterbitkan di Kairo. Berdasarkan karya-karyanya yang dapat dikumpulkan, dapat dikatakan bahwa dia produktif menulis setelah menjadi Hoofd Penghulu Bandung dan setelah menjalani pensiunnya. Bahkan menurut Wangsaatmadja (1930: 17) dua puluh hari sebelum meninggal dia masih menyuruh Wangsaatmadja menuliskan buah pikirannya dalam buku hariannya.
Orang menduga bahwa dia mulai mengarang setelah kembali dari Aceh. Sedangkan Wangsaatmadja menyebutkan bahwa ketika masih bermukim di Mekah dia telah menulis buku kecil dalam bahasa Arab berjudul Fathul Muin yang diterbitkan di Mesir. Juga Kern menyebutkan bahwa semasa dia bermukim di Mekah pernah menulis buku-bulu tentang agama dan puisi Arab yang diterbitkan di Kairo. Berdasarkan karya-karyanya yang dapat dikumpulkan, dapat dikatakan bahwa dia produktif menulis setelah menjadi Hoofd Penghulu Bandung dan setelah menjalani pensiunnya. Bahkan menurut Wangsaatmadja (1930: 17) dua puluh hari sebelum meninggal dia masih menyuruh Wangsaatmadja menuliskan buah pikirannya dalam buku hariannya.
Dari
karya-karya yang berhasil dikumpulkan, bahwa karya yang pertama ditulisnya
berangka tahun 1899, yakni naskah yang berjudul Aji Wiwitan Gelaran, Buku jilid
ka-3, dan yang terakhir adalah Aji Wiwitan Aji Saka II, Buku jilid ka-14 yang
menurut Wangsaatmadja merupakan kumpulan perkataannya pada masa akhir hayatnya.
Dalam masa
31 tahun berkarya, terhitung dari tahun 1899 sampai 1930, dia telah
menghasilkan berpuluh karya yang berisi buah pikiran, perasaan, dan
tanggapannya tentang: Agama, Tasawuf, Filsafat, adat kebiasaan orang Sunda,
serta peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Yang tercatat dan berhasil
dikumpulkan berjumlah 49 buah. Dari seluruh karya-karyanya yang banyak dikagumi
dan dibicarakan adalah puisi dangdingnya yang berjumlah kurang lebih 10000 ribu
bait.
Sebagai
pengarang besar, gaya berpuisi dia banyak ditiru, terutama oleh
pengarang-pengarang Sunda setelah perang. Sedang karyanya tentang adat dan
kebudayaan Sunda, banyak menarik perhataian orientalis Belanda, sehingga Kern
menerjemahkannya ke dalam Bahasa Belanda.
Sebagai
pengarang yang banyak menulis masalah-masalah agama dan tasawuf, ia tidak saja
dikenal masyarakat Sunda, tetapi dikenal juga oleh ulama dan ahli tarekat Jawa,
Madura, bahkan sampai Irak, Mesir dan Kuala Lumpur. Dia juga telah diakui
kebesaran dan jasanya oleh pemerintah, sehingga pada tahun 1977 telah
dianugerahi Piagam Hadiah Seni oleh Belanda, dan Piagam Penghargaan dari
Propinsi Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat pada tahun 1965.
Setelah
menjalani masa pensiun, pada waktu-waktu tertentu dia memberikan pelajaran
tentang agama dan tasawuf dalam pertemuan-pertemuan informal. Pertemuan semacam
itu kadang-kadang diadakan di rumahnya, kadang-kadang di tempat lain, di rumah
seseorang yang berkenan untuk mendengarkan pembicaraannya.
Pertemuan
seperti itu oleh ia disebutnya “ngawarung bandung”. Dalam menyampaikan
ajaran-ajarannya dia tidak pernah merasa dan tidak mau menggurui. Mereka yang
mengikuti pertemuan itu tidak mengakui sebagai muridnya, hanya pengagum saja,
sebab menurut pendapatnya bila seseorang berguru kepada orang lain, kepribadian
orang itu tidak akan berkembang. Dia menginginkan agar setiap orang bebas
mengemukakan dan mencernak segala pendapat dan buah pikirannya secara bebas
menurut kemampuannya masing-masing. Oleh karena itu setiap orang yang
mengikuti ngawarungbandung sering berbeda dalam menafsir pendapat serta
buah pikirannya.
Hal ini
dapat dilihat dari beberapa sikap para pengagumnya dalam menafsirkan
ajaran-ajarannya. Konon di antara pengagumnya yang terdekat adalah Ajengan
Bangkonol, dan Kyai Kurdi dari Singaparna. Dituturkan bahwa Ajengan Bangkonol,
setelah mendengar ajaran-ajaran agama dan tasawuf, segera membubarkan
pesantrennya dan merobek bedug yang ada di mesjidnya, karena merasa berdosa
telah mengajarkan faham agama yang menurut pendapatnya salah. Kemudian Ajengan
Bangkonol ini menjadi pengikutnya yang setia.
Lain lagi halnya dengan Kiyai Kurdi, setelah mendengar ajaran-ajaran agama dan tasawuf, pesantrennya malah diperbesar dan santrinya makin banyak. Kyai Kurdi pun merupakan pengikut Haji Hasan Mustapa yang setia.
Lain lagi halnya dengan Kiyai Kurdi, setelah mendengar ajaran-ajaran agama dan tasawuf, pesantrennya malah diperbesar dan santrinya makin banyak. Kyai Kurdi pun merupakan pengikut Haji Hasan Mustapa yang setia.
Tidak
diketahui aliran tarekat apakah yang dianut dan diajarkannya. Beberapa orang
menyebutkan bahwa dia menguasai semua aliran tarekat, tetapi tidak mengambil
salah satu dari padanya. Sebagian lagi mengatakan bahwa aliran Satariahlah yang
dianutnya. Tetapi yang jelas dalam karya-karyanya sering menyebut-nyebut Al
Ghazali sebagai suri yang dikaguminya. Pernyataannya ini dapat dibaca dalam
bukunya Aji Wiwitan Istilah, Buku jilid ka-1; dan Aji Wiwitan Aji saka, Buku
jilid ka-14.
Pada umumnya
karya-karya Hasan Mustapa merupakan perpaduan yang kompleks dari tanggapan,
renungan dan lontaran pendapatnya terhadap bermacam-macam pengetahuan yang amat
disukainya, yakni: agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, otobiografi, dan
peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Ketika membaca karya-karyanya, apapun
topiknya, kita seakan-akan berhadapan dengan seorang pribadi yang sangat
tanggap, perenung yang mendalam, dan manusia yang berani mengemukakan
pendapatnya sendiri.
Kadang-kadang
perhatiannya loncat-loncat dari topik yang satu ke topik yang lain, hal ini
mungkin karena ia banyak mengetahui permasalahan yang ada di sepanjang
kehidupannya. Ditambah dengan kecenderungannya yang ingin menjelaskan sesuatu
hal dengan cara berbahasa yang khas, menggunakan simbol dan imajinasi dengan
perbendaharaan bahasa yang amat kaya. Inilah salah satu sebab mengapa memahami
karya-karyanya terasa sulit. Selain itu umumnya bahasa yang digunakannya adalah
bahasa lisan, sehingga sulit bagi pembaca untuk memberi makna yang sesungguhnya
dari karya-karyanya.
Tidak heran
bila sering terjadi penafsiran yang berbeda di antara pembaca karya-karyanya.
Mungkin karena pembaca belum paham akan isi bahasanya, atau karya sastranya.
Atau mungkin juga karena karyanya itu banyak mengandung ambiguitas, terutama
karya-karya yang sarat dengan nilai keagamaan dan tasawuf. Adanya ambiguitas
tersebut terutama pada bagian-bagian yang melukiskan sesuatu dengan simbol atau
imaji yang sudah barang tentu diwarnai dengan kata-kata yang berkonotasi. Pada
naskah-naskah yang sebenarnya merupakan bahasan, lebih-lebih bahasan agama dan
tasawuf, banyak terdapat simbol dan imaji. Hal ini mungkin akan menyulitkan
pemahaman bila pembaca telah terbiasa membaca bahasan yang mempergunakan
bahasan lugas.
Lebih sulit
lagi memahami puisinya, terutama dalam hal menentukan pokok (subjek) dan arti
(sense) yang terkandung di dalamnya. Seakan-akan yang tampak dalam puisinya itu
lontaran rasa (feeling) dan nada (tone) semata-mata. Bahkan ada
kalanya menimbulkan kesan terlalu banyak mempergunakan permainan kata. Baginya
kata-kata Sunda tampak begitu “jinak” sehingga dapat dibawa ke arah yang
disukainya untuk melukiskan perasannya.
Sejumlah karya-karya yang dihasilkan Hasan Mustapa mengundang banyak komentar dan tanggapan. Beberapa di antaranya akan disebutkan berikut ini. D.K. Ardiwinata salah seorang ahli bahasa dan pengarang Sunda terkenal sebelum perang, dalam pembukaan Buku Carita Jeung Sajarah Juragan Haji Hasan Mustapa, Wangsaatmadja, menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang yang luas pengetahuannya baik tentang bahasa dan adat-adat Sunda. Di samping itu, menurut pendapat Ardiwinata dia adalah orang yang amat cerdas dan pandai mengemukakan pendapat dengan argumentasi yang kuat, sehingga orang sukar untuk mendebatnya.
Sejumlah karya-karya yang dihasilkan Hasan Mustapa mengundang banyak komentar dan tanggapan. Beberapa di antaranya akan disebutkan berikut ini. D.K. Ardiwinata salah seorang ahli bahasa dan pengarang Sunda terkenal sebelum perang, dalam pembukaan Buku Carita Jeung Sajarah Juragan Haji Hasan Mustapa, Wangsaatmadja, menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang yang luas pengetahuannya baik tentang bahasa dan adat-adat Sunda. Di samping itu, menurut pendapat Ardiwinata dia adalah orang yang amat cerdas dan pandai mengemukakan pendapat dengan argumentasi yang kuat, sehingga orang sukar untuk mendebatnya.
Snouck
Hurgronye, salah seorang orientalis Belanda yang bertahun-tahun mengenal dan
menjadi sahabat setianya, menganggap dia sebagai orang yang sangat bijaksana
dan cerdas (Kern, 1946: VI). M.I. Prawirawinata yang sering menerbitkan
karya-karya Hasan Mustapa dan pengarang-pengarang Sunda sebelum perang, dalam
kata pengantar buku Hasan Mustapa yang berjudul Bale Bandung menyebutkan, bahwa
Hasan Mustapa tidak saja dikenal di tanah Priangan, tetapi dikenal juga di
Palembang, bahkan sampai ke Eropa. Kemasyhuran namanya disebabkan oleh
pengetahuannya yang mendalam tentang kebatinan dan kepujanggaan (Bale Bandung,
1924).
R.A.A. Wiranatakusumah, Bupati
Bandung yang mengaguminya, dalam kata pengantar bukunya yang diterbitkan tahun
1937 menyebutkan bahwa dia adalah Pujangga besar yang buah pikiran dan
karya-karyanya bermutu tinggi dan sangat berguna bagi yang ingin
mempelajarinya.
W. Wangsaatmadja, Sekretaris pribadi yang selama tujuh tahun
mendampinginya, menyebutkan bahwa dia semasa hidupnya termasyhur sebagai orang
pintar, dan ulama yang mengetahui seluk-beluk agama dengan mendalam, serta
masalah darigama yang tidak diketahui oleh orang lain. Selanjutnya
Wangsaatmadja menyebutkan karena pengetahuannya yang luas dia menjadi tempat
bertanya para cerdik cendekia asing, yaitu Profesor-profesor dan Doktor-doktor.
Setelah Perang Dunia II, nama dan karyanya lebih banyak dikenal dan dibicarakan
di lingkungan pengarang-pengarang Sunda. Mereka umumnya membicarakan dari sisi
kesastrawanannya. Hanya satu dua yang menyinggung karyanya dari segi agama.
Sepengetahuan peneliti, Utuy T. Sontanilah pengarang Sunda sesudah perang, yang mula-mula membicarakan kedudukan Hasan Mustapa dalam sastra Sunda, serta mengemukakan pendapat dan penilaiannya atas beberapa dangding Hasan Mustapa dari segi sastra.
Menurut Utuy, Hasan Mustapa adalah pujangga Sunda modern yang memiliki kepribadian mandiri di tengah-tengah pengarang sezamannya. Disebut pujangga Sunda karena ia tetap berakar pada bumi Sunda, membawa suara dan milik Ki Sunda; disebut modern, karena ia memiliki kesadaran akan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat modern yang individualistis. Selanjutnya Utuy menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang individualis yang memiliki kepribadian manusia Sunda yang besar, baik dalam pendangan kehidupan batiniahnya, maupun dalam pandangan kehidupan lahirnya.
Sepengetahuan peneliti, Utuy T. Sontanilah pengarang Sunda sesudah perang, yang mula-mula membicarakan kedudukan Hasan Mustapa dalam sastra Sunda, serta mengemukakan pendapat dan penilaiannya atas beberapa dangding Hasan Mustapa dari segi sastra.
Menurut Utuy, Hasan Mustapa adalah pujangga Sunda modern yang memiliki kepribadian mandiri di tengah-tengah pengarang sezamannya. Disebut pujangga Sunda karena ia tetap berakar pada bumi Sunda, membawa suara dan milik Ki Sunda; disebut modern, karena ia memiliki kesadaran akan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat modern yang individualistis. Selanjutnya Utuy menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang individualis yang memiliki kepribadian manusia Sunda yang besar, baik dalam pendangan kehidupan batiniahnya, maupun dalam pandangan kehidupan lahirnya.
Karya-karyanya
menurut Utuy, jauh meninggalkan karya-karya pengarang sezamannya. Dalam
karya-karyanya tidak lagi menyuapi pembaca dengan nasihat, tetapi mengajak
pembaca untuk berpikir kreatif mencari kepribadian sendiri, agar tidak takut
menentukan pilihan. Oleh karena itu menurut Utuy, karya-karyanya tidak akan
mungkin diterbitkan oleh penerbit pemerintah jajahan masa itu, karena
karya-karyanya mengajarkan kebebasan berpikir kepada pembacanya. Pengarang lain
yang lebih luas mengupas karya-karyanya, terutama dari sisi sastra adalah Ajip
Rosidi. Pada umumnya pendapat Ajip tentang Hasan Mustapa dan karya-karyanya
hampir sama dengan pendapat Utuy, hanya diungkapkan dalam uraian yang lebih
luas. Ajip pun menyebutkan bahwa dia adalah seorang yang individualistis (dalam
karyanya) yang memiliki kepribadian yang mandiri. Disebutkannya pula bahwa dia
adalah pujangga Sunda yang yang betuk-betuk kenal dan akrab dengan alam Sunda.
Membaca karya-karyanya, orang Sunda sendiri akan merasakan ketidakmampuan
dirinya berbahasa Sunda dibandingkan dengan kekayaan khazanah kata-kata Sunda
yang dimilikinya, serta kemahirannya menggunakan kata-kata.
Puisi
dangding, yang pada masa itu dianggap sebagai bentuk puisi yang harus ditataati
peraturan-peraturannya, serta diisi dengan ‘bahasa indah’ yang telah klise;
oleh dia telah diisi dengan bahasa yang plastis serta orisinil, hingga tidak
hilang sifat spontanitas dan kreativitasnya.
Selain itu
Ajip menyebutkan, bahwa di dalam menerima ajaran Islam dia berbeda sekali
dengan kebanyakan orang pada masa itu. Dia tidak menerima ajaran Islam dengan
rohani yang kosong, namun dengan rohani yang sudah sarat oleh bekal dari
kehidupan dan kekayaan rohani kebudayaan Sunda. Dongeng-dongeng serta sejarah-sejarah
yang dipetik dari babas kaislaman oleh dia diganti dengan riwayat-riwayat serta
tokoh-tokoh cerita yang dikenal oleh masyarakat Sunda masa itu, misalnya:
Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang
Sumbi dan lain-lain.
Menurut Ajip, isi puisi dangding dan tulisan-tulisan Hasan Mustapa, umumnya membawa ingatan orang pada isi dan bentuk cerita pantun, mentera-mentera, suluk Sunda yang hidup dalam sastra Sunda lama.
Menurut Ajip, isi puisi dangding dan tulisan-tulisan Hasan Mustapa, umumnya membawa ingatan orang pada isi dan bentuk cerita pantun, mentera-mentera, suluk Sunda yang hidup dalam sastra Sunda lama.
Menurut pendapat Ajip Hasan
Mustapa sebagai mistikus dan filsuf Islam hanya dapat dihitung dan berkembang
di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda; sebab dia merupakan
penjelmaan jiwa rancage yang aktif dan kreatif dalam tradisi sastra Sunda.
Hasan
Wahyuatmakusumah dalam tulisannya tentang Hasan Mustapa (Mangle XXII No. 704,
1979: 9), menyetujui pendapat Lutfi Abad, Dosen Universitas Malaysia, yang
menyebutkan bahwa pengaruh Ar-Raniri ditemukan dalam karya-karyanya.
Pendapat
Hasan ini didasarkan atas riwayat kerja Hasan Mustapa yang pernah memangku
jabatan Hoofd Penghulu Aceh, tempat Ar-Raniri menyebarkan paham agamanya, pada
abad 17. Hasan menduga, selama tiga tahun tinggal di Aceh Hasan Mustapa pernah
membaca karya-karya Ar-Raniri yang jatuh ke tangan Pemerintah Belanda, ketika
perang Aceh berkecamuk.
Di samping
itu menurut Hasan, dalam karya-karyanya Hasan Mustapa tidak mengidentifikasi
manusia sama dengan Tuhan, akan tetapi kemanunggalan manusia dengan Tuhannya
diartikan sebagai kemanunggalan Tuhan Maha Pencipta dan manusia sebagai mahluk
yang diciptakan.
Atas dasar
tanggapan dan komentar terhadap karya-karya Hasan Mustapa yang sebagian besar
menggunakan media sastra tersebut, maka karya Hasan Mustapa tidak hanya
dianggap sebagai karya yang mengeksplorasi wacana agama, namun juga sastra.
Kedudukannya sebagai sastrawan di dalam tardisi sastra Sunda sangat mantap. Hal
itu didasarkan atas beberapa alasan, yaitu, pertama, karena di dalam
karya-karyanya, dia berpaling kepada simbol-simbol Sunda untuk mengungkap
pengalaman batinnya; kedua, dia melakukan reinterpretasi terhadap berbagai
simbol tersebut. Dengan demikian dia bukan saja berada dalam tradisi sastra
Sunda, akan tetapi menjadi salah seorang penerus tradisi tersebut. Ketiga, dia
memperkaya tradisi sastra Sunda dengan menyumbangkan tema baru, yaitu tasawuf
Islam. Dengan demikian, karena dialah tradisi sastra Sunda menjadi mutakhir,
setara dengan tradisi sastra lain yang pada abad XX ini memperlihatkan
kecenderungan yang kuat untuk menggarap masalah-masalah metafisik, bahkan
menggambarkan pemberontakan metafisik (Camus, 1977: 29-30).
Sebagai
seorang yang berpaling kepada simbol-simbol (tradisional) Sunda, jarang
sastrawan yang mempergunakannya sebanyak dan sebaik dia. Simbol-simbol
tradisional sastra Sunda yang biasa digunakan, terutama terdapat dalam
lirik-lirik tembang Sunda seperti Pajajaran, Galuh, Siliwangi, Mundinglaya,
Dewi Asri, Sangkuriang, Dayang Sumbi dan sebagainya. Di samping simbol-simbol
yang lebih jarang dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan lain, seperti Ciung
Wanara, Boeh Larang, Sang Rumuhun, Puhaci Wirumananggay, Aji Saka, Nyi
Sepirasa, Parawan Sunti, Cupu Manik Astagina dan sebagainya.
Namun dia
tidak hanya menggunakan simbol-simbol tersebut, melainkan memberikan tafsiran
baru. Di dalam cerita pantun “Mundinglaya di Kusumah,” dikisahkan bahwa
Mundinglaya terpaksa berpisah dari kekasihnya karena harus mencari Lalayang
Salaka Domas ke Ja Baning Langit (Langit yang lain). Kedua kekasih ini
sebelumnya menjadi simbol dari cinta murni dan kesetiaan, namun dia
mempergunakannya untuk tema dan dengan cara lain. Kerinduan dua kekasih
tersebut ditafsirkan sebagai simbol kerinduan manusia kepada Tuhannya. Demikian
pula, dengan Boweh Rarang (kafan kasar) yang diceritakan dalam
legenda-mitologis Sangkuriang sebagai alat yang digunakan Dayang Sumbi untuk
menipu anaknya itu, agar tidak mengawininya. Oleh dia ditafsirkan sebagai
simbol ajarannya. Masih banyak contoh lain yang dapat dijadikan bukti tentang
bagaimana dia mereinterpretasi simbol, untuk kepentingan kebaharuan
pengalamannya sebagai manusia Sunda.
Di samping
itu, sebagai sastrawan kreatif, dia pun menciptakan simbol-simbol baru. Manusia
yang telah menyadari keesaannya dengan Tuhan (ke-ahadiatan), akan menyadari
kebebasannya untuk bertindak dan berbuat. Namun, seperti pendapat kaum eksistensialis,
ia pun menyadari tanggung jawabnya. Di dalam menimbang-nimbang antara tanggung
jawab dan kebebasan ini manusia benar-benar merasakan “kesendiriannya”. Untuk
manusia macam itu dia menciptakan anak yatim piatu (pahatu lalis) sebagai
simbol. Hubungan Tuhan dengan manusia seperti di dalam pandangannya yang
cenderung panteistis, juga diberikan simbol yang sangat tepat, yaitu sebagai
“hubungan rebung dengan bambu.”
Kedudukannya
yang mantapdalam tradisi Sunda adalah karena kemampuannya mengerahkan daya ungkap
dari simbol-simbol sastra Sunda yang tradisional. Kedudukannya sebagai
pengembang tradisi diperlihatkan dengan melakukan reinterpretasi terhadap
berbagai simbol tradisional dan atau mengisinya dengan pengalaman-pengalaman
baru.
Perlu
diungkapkan bahwa kehidupan rohani Sunda (buhun/kuno) tersimpul di dalam
karya-karya sastra pantun Sunda. Di dalam karya-karya tersebut, terutama dalam
cerita Mundinglaya di Kusumah dan Lutung Kasarung, terbayang kosmos manusia
Sunda lama. Kosmos tersebut menempatkan manusia di Buana Panca Tengah (Dunia)
yang diurus oleh Sunan Ambu di Buana Padang. Sunan Ambu mengasihi orang-orang
yang baik (Mundinglaya; Purbasari) dan menghukum orang-orang yang bengis
(Sunten Jaya; Purbararang). Untuk membagikan kasih dan hukuman, Sunan Ambu
dibantu oleh mahluk-mahluk kahiangan yang disebut Bujangga dan Pohaci dan
mahluk-mahluk halus yang menempati tempat keramat, seperti Guriang dan
Karuhun-karuhun (leluhur). Di dalam kosmos yang demikian itulah manusia Sunda
lama mendapatkan ketentuan rohaninya. Dan kosmos inilah yang terus terbayang
dalam karya-karya sastra Sunda lama, dan bahkan dalam karya-karya sastra Sunda
modern, khususnya yang berbentuk Gending Karesmen (Opera Sunda). Dengan
datangnya Islam, kosmos kuno itu dengan sendirinya disisihkan dan diganti oleh
kosmos dari agama Islam. Namun, sebagai ulama yang terpandang, dia tidak
mengajarkan kosmos yang umum (jamak), melainkan menganut dan mengajarkan
sebatas tasawuf. Mudah dipahami kalau karya-karya sastranya berisi pengalaman
rohaninya; sebelum dan setelah penemuan konsep tasawufnya. Dengan sendirinya,
renungan-renungan tasawuf seperti ini merupakan hal yang baru bagi tradisi
sastra Sunda.
Walaupun
dia, dalam karya-karya sastranya, menggunakan simbol-simbol tradisional tidak
banyak orang yang memahami karya-karyanya. Hal ini bisa jadi karena yang
diungkapkannya merupakan sesuatu yang baru, atau karena masyarakatnya belum
siap. Hal ini, sebagian, disadarinya. Seperti dengan jelas diungkapkan oleh dia
dalam salah satu bait dari dangdingnya (puisinya):
Kiwari tacan
arusum
Nepi ka
pamake kami
Sekarang
belum saatnya
Sampai
(mengerti) kepada ilmu saya
Di samping
itu, dia sendiri tidak dapat mengungkapkan isi hati dan pendapat-pendapatnya
secara bebas. Masyarakat pada masa itu memberikan reaksi yang negatif, hal
terungkapkan dalam dangdingnya yang lain:
Heulanan
kuring mundur deui
Tacan tega
ka barudak urang
Basana serab
pangilo
Matak risi
nu sisip budi
Geus tepi ka
kitu
Dongkap ka
masya Allahna
Kajeun
teuing uleh hararemeng galih
Moal matak doraka
Sementara
saya mundur lagi
Tidak sampai
hati kepada anak-anak
Kata mereka
silau
Karena saya
demikian
Menyebabkan
risau mereka yang berjiwa kecil
(Karena)
budi-daya saya
Sudah sampai
sedemikian
Sampai
mereka mengatakan “masya Allah”
Biarlah
(jangan peduli) jangan risau hati
(Karena)
tidak akan menyebabkan (saya) berdosa.
Masyarakat
pada masa itu tidak dapat memahami pendapat-pendapatnya, bahkan para sastrawan,
termasuk M.A. Salmun menyatakan ketidakpahaman terhadap karya-karya Hasan
Mustapa.
Dapat dipahami kalau pengaruhnya dewasa ini tidak besar, walaupun tampak gejala-gejala akan semakin besar karena mulai tumbuhnya perhatian kepada karya-karyanya di kalangan sastrawan (muda) dewasa ini.
Dapat dipahami kalau pengaruhnya dewasa ini tidak besar, walaupun tampak gejala-gejala akan semakin besar karena mulai tumbuhnya perhatian kepada karya-karyanya di kalangan sastrawan (muda) dewasa ini.
- Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail
a. Riwayat Hidup
Muhammad Syuhudi Ismail, lahir pada tanggal 23 April 1943, di daerah
Lumajang Provinsi Jawa Timur. Ia menyelesaikan pendidikan SR (Sekolah Rakyat)
yang sekarang dikenal dengan Sekolah Dasar (SD) di daerahnya sendiri yaitu di
Lumajang pada tahun 1955 selama enam tahun. Barulah ia ke Malang untuk
melanjutkan pendidikannya di PGA Negeri (pendidikan Guru Agama), dan dalam
empat tahun sudah selesai (1959). Pada tahun 1962 ia menyelesaikan pendidikan
Hakim Islam Negeri selama tiga tahun di Yogyakarta, dilanjtkan ia menjadi
sarjana muda di IAIN Ujung Pandang, setelah mendapatkan gelar sarjana muda di
Ujung Pandang, ia belum cukup puas untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi
lagi untuk mengasah ilmunya. Ia kembali ke Yogyakarta dan di tahun 1979 ia
menyelesaikan studi purna sarjananya. Tak sampai di situ, iapun kembali mencari
ilmu lagi untuk mendapatkan gelar S3 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sekarang menjadi UIN, dan saya baca riwayat hidupnya di salah satu bukunya
Pengantar Ilmu Hadits ia masih menyelesaikan studi S3nya.
b. Peran dalam ilmu hadits
Pengalaman pendidikannya tak kenal usia seperti salah satu hadits Nabi yang
berbunyi:
Artinya: “Mencari
ilmu itu wajib bagi umat muslim laki-laki dan perempuan dari sejak ayunan
sampai liang lahat”.
Ia juga pernah
diberi kepercayaan untuk menduduki beberapa jabatan di antaranya: Pegawai
Pengadilan Agama Tinggi Negeri (1962-1970), staf pengajar (LB) IAIN
(1967-1970), staf pengajar (tetap) IAIN (1970-sekarang), dan masih banyak lagi.
c. Karya-karya
Iapun juga
menelurkan banyak karya ilmiah dan buku-buku yang sering digunakan sebagai
panduan perkuliahan baik para mahasiswa maupun pengajarnya. Dan di antaranya
adalah:
1) Hadits (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
2) Hadits Shahih (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
3) Hadits Hasan (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
4) Hadits Dha’if (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
- Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
a. Riwayat Hidup
Lahir di
Lhoksumawe, Aceh Utara 10 Maret 1904. dalam tubuhnya mengalir darah campuran
Arab. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke tiga puluh tujuh
dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Saat ia berumur enam tahun ibunya telah wafat,
sehingga ia diasuh oleh bibinya yang bernama Cut Syamsyiyah. Dan mulai umur
delapan tahun ia sudah berkelana untuk nyantri dari pesantren ke pesantren yang
lainnya, yang berada di bekas pusat kerajaan Pasai tempo dulu.
b. Peran dalam hadits
Ia tubuh dengan
memiliki sisi menarik dalam dirinya. Di antaranya adalah:
1) karena ia hanya mengenyam pendidikan di pesantren, ia tumbuh menjadi
seorang yang otodidak. Dan hanya dalam waktu satu tahun, ia berhasil menamatkan
pendidikannya di bangku sekolah Irsyad tahun 1926, dengan basis pendidikan
formal itulah ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya
sebagai seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Hal ini dibuktikan
dengan diundangnya untuk menyampaikan makalah dalam International Colloquium
yang diselenggarakan di Lahore Pakistan.
2) Ia juga bergerak di ling sendiri di Aceh, yang masyarakatnya dikenal
fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun ia pada awal perjuangannya
menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya walaupun ia
dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
3) Dalam berpendapat ia merasa bebas tidak terikat dengan kelompoknya, ia juga
berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah. Iapun juga berani berbeda dengan jumhur
ulama, suatu yang langka terjadi di Indonesia.
c. Karya-karya
Semasa hidupnya ia
menulis 72 judul buku dan 50 artikel di bidang Tafsir, hadits, fiqih dan
pedoman ibadah umum. Di antara karyanya yaitu:
1) Menjelang akhir
hayatnya, ia memperoleh dua gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya
terhadap perguruan tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman
sekian dan terima kasihJ
0 komentar:
Posting Komentar