1. Politik Etis
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong
untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan
penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu
dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah
disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang
disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjianperjanjian.
Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem
administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil
alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini
ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan
Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan
tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam
birokrasi kolonial.
Sementara itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang
berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter,
dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah,
sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Dampak dari itu kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan
kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di
Hinda Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer dalam tulisannya yang berjudul “Een
Eereschlud’ (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899).
Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia
Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri
mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Kritikan itu mendapat
perhatian dari berbagai kalangan, beberapa kelompok yang sependapat
dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral
bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat
dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk itulah perlu
dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang
kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus
pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah
Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru
bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik
Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang
kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga
program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik
Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik
negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru
yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai
mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan
dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa
itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya
pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.
Di samping itu pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja
murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada
sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi
bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju
modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari
bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja
yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial
masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula
yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra
yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan
intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah
guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk
menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan
pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme
Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon,
atau apa pun karena mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka
peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda
dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang
kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia,
dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak
terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru
bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu
sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya,
dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan,
dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial
Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh
Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan
di lembaga tersebut.2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui
pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan,
yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan
peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata
kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan
pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup.
Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan
dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan
surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang
pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O.
Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan
G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai
bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan
surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan kemudian kaum
bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis
Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur
surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra
itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra
pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah
R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma
Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan
oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai
redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H.
Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis
bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad
Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij
& Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh
Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia
yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang
memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentarkomentar
mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas
diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utaya
seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi.
Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan
15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi
dalam Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa
kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme
cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. Pada
tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama
para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja
(Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua
redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan
Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah
bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke
seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan
slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik
yang dimuat dalam Insulinde
adalah kisah kemenangan Jepang,
negara “kecil” yang menang
mengalahkan Tiongkok “yang
besar”. Kemenangan Jepang itu
disebabkan keberhasilannya dalam
memasuki “dunia maju”. Ulasan
tentang perkembangan yang terjadi
di “dunia maju” secara terbuka
mengajak para pembaca untuk ikut
serta dalam zaman “kemajuan”.
Majalah itu tidak saja memuat
artikel tentang bangsa Hindia
Belanda, akan tetapi juga memuat
tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr.
Abdul Rivai yang baru datang dari
Belanda menganjurkan pada tokoh
muda di Hindia untuk membentuk
sebuah organisasi. Dalam tulisantulisannya
dalam Bintang Hindia ia
selalu memuat tentang “kemajuan”
dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan,
yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum
muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui
pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia
maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum
Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik
dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa,
Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan
kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk
memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para
pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama
Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam
Taufik Abdullah dan A.Blapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan
pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama
yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang
dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya memuat tentang tulisannya, bahwa untuk
memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi
yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang
kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal
sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat
Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi
Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat
nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu
pula di tanah Sumatera, gagasana untuk melawan sistem pemerintahan
kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga
untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe,
yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa
meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau.
Sementara itu anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan
majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya
Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan
tanpa hambatan adat yang mengekang Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga
mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu.
Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus
menuntut ilmu setinggi mungkin. Koran itu memuat dua hal penting, yaitu
tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul
adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan
gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dll.
Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter,
dsb, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu
adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide
radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat
Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan
Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia
untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang
kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia
itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan
kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia adalah mengkritik tindakan
pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di tanah jajahan
dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Kritik tajam yang ditujuan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di
brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was ( Seandainya Saya Menjadi
Seorang Belanda). Pemerintah Kolonial menilai tulisan itu dapat menghasut
rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda
menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian
menyusul Adbul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De
Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, karena
telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial
selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu
Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk
diasingkan ke luar Jawa. Cipto mulanya diasingkan ke Bangka, kemudian ke
Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers
dikenal dengan nama Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial
melalui Sinar Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang
menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan
dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo
dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar
dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada dewan kota yang
sebagian besar adalah orang Eropa.3. Modernisme dan Reformasi Islam
Semangat kebangkitan juga didorong oleh gerakan modernis Islam. Semangat
modernisme itu berlandaskan pada pencarian nilai-nilai yang mengarah pada
kemajuan dan pengetahuan. Modernisme diartikan sebagai cara berpikir
dengan peradaban Barat, dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan
melalui pencarian mendasar etik kepada Islam untuk kebangkitan politik
dan budaya. Reformasi biasanya diartikan sebagai pembaruan melalui
pemurnian agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk
memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang
murni.
Gerakan femormasi Islam telah dirintis di Sumatera Barat pada abad ke-19
yang berlanjut ke Jawa dan berbagai daerah lainnya. Jika pada abad ke-19,
gerakan itu lebih menekankan pada gerakan salafi melawan kaum adat, pada
abad ke-20 lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam
melawan tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi
Barat yang menjajah mereka. Pada awal abad ke-20, empat ulama muda Minangkabau kembali dari menuntut ilmu di Mekah. Mereka adalah Syekh
Muhammad Taher Jamaluddin (1900), Syekh Muhammad Jamil Jambek
(1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji Abdullah Akhmad (1899).
Mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang imam
besar Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari Minangkabau. Mereka
itu kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru. Berbekal ilmu
pengetahuannya itu mereka merancang perubahan di Minangkabau.
Perintis pembaruan itu adalah Syekh Taher Jamalludin yang sebagaian besar
pengalamannya berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imam adalah sarana
yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar
dari Minangkabau. Di samping itu Al-Imam juga memuat ajaran agama dan
peristiwa-peristiwa penting dunia. Tokoh yang kemudian muncul adalah
H. Abdullah Akhmad yang mendapat pendidikan di Mekah, selanjutnya
mendirikan sekolah dasar di Padang (1909). Ia mendirikan majalah Al-Munir
yang menjebarkan agama Islam yang sesungguhnya dan terbit di Padang
tahun 1910-1916.
Di Padang Panjang, Haji Abdul Karim Amrullah mulai menumbuhkan
kesadaran akan perlunya perubahan metode pengajaran dan sistem
pendidikan tradisonal menjadi lebih modern seperti sekolah Belanda.
Sementara itu, berdiri pula Sekolah Diniyah di Padang (1915). Pendirinya
adalah Zainuddin Labai. Sekolah itu memberikan pengajaran umum.
Sekolah itu merupakan sekolah agama modern. Tahun1923, Rahmah, adik
Zainuddin Labai mendirikan Sekolah Diniyah Puteri. Sekolah itu merupakan
sekolah agama putri pertama di Indonesia. Berdirinya sekolah putri di tanah
Minangkabau membuktikan bahwa sistem matrilinial yang berlaku dalam
tradisi kekerabatan Minangkabau mempunyai pengaruh positif terhadap
kemajuan kaum perempuan
KESIMPULAN
1. Sistem pemerintahan kolonial yang ingin mencapai misinya dengan
Pax Neerlandica di seluruh daerah yang menghasilkan pajak. Untuk
melakukan hal itu dilakukan kebijakan baru dengan bantuan
pemerintah pribumi untuk memberlakukan sistem pajak baru dan
sistem kerja paksa. Kebijakan itu mendapat perlawanan dari Raja/
Sultan di tanah Hindia.
2. Kritis keras muncul dari politikus dan intelektual Belanda C.H. Van
Deventer, terhadap sistem pemerintahan kolonial waktu itu. Kritik itu
mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Kemudian dibuatlah
kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan
politik etis. Politik etis ini meliputi bidang pendidikan, pertanian dan
emigrasi.
3. Bidang pendidikan membuka wawasan bagi kaum muda terpelajar.
Mereka adalah golongan baru yang membawa ide-ide pada kesadaran
kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi adalah hal penting
yang menghubungkan para kaum terpelajar untuk membentuk suatu
ideologi kebangsaan.
4. Bidang pendidikan pula yang mendorong perubahan sosial masyarakat
saat itu, melalui pendidikan tidak saja menciptakan tenaga-tenaga
profesional, akan tetapi juga mendorong gerakan kebangsaan
B. Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan
Kebangsaan
Mengamati Lingkungan
Perhatikan kutipan dari buku Van Miert berikut ini:
“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia
Belanda, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di
Batavia untuk mendengarkan pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi
Hindia. Itu adalah pertemuan pertama Studiegroep Politiek Wetenshappen (Kelompok
Studi Ilmu Politik)...” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”.
Begitulah Fournier menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang harus dipunyai
seorang pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang
menggelora terhadap tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi
kemajuan bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para
pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang dingin,
jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh pergolakan politik
yang ada pada jamannya
(Kamu dapat membaca lebih lanjut Hans van Miert, 2003).
Memahami Teks
1. Organisasi Awal Pergerakan
Pada awal abad ke-20, di Nusantara muncul berbagai kelompok dan
organisasi yang memiliki konsep nasionalisme, seperti Sarekat Dagang Islam
(kemudian menjadi Sarekat Islam), Budi Utomo (BU), Jong Java, Jong Celebes,
Jong Minahasan, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya. Munculnya organisasiorganisasi
itu mendanai fase perubahan perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Kalau sebelumnya berupa perlawanan fisik kedaerahan
menjadi pergerakan nasional yang bersifat modern. Organisasi-organisasi
itu mengusung tujuan yang sama, yakni untuk lepas dari penjajahan.
a. Budi Utomo
Boedi Oetomo (BO) atau Budi Utomo (BU) merupakan pergerakan nasional
yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta. Organisasi ini
dirintis oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. BU didirikan dengan tujuan untuk
menggalang dana untuk membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan
dana. Namun ide itu kurang mendapat dukungan dari Kaum Tua. Ide dr.
Wahidin itu kemudian diterima dan kembangkan oleh Sutomo. Seorang
mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA). Sutomo
kemudian dipilih sebagai ketua organisasi itu. Sebagian besar pendiri BU
adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto
Mangunkusumo, dan RT Ario Tirtokusumo. Pada tanggal 29 Agustus 1908,
dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan BU di Yogyakarta.
Para tokoh pendiri BU berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemajuan,
maka pendidikan dan pengajaran harus menjadi perhatian utama. Organisasi
itu mempunyai corak sebagai organisasi modern, yaitu mempunyai pimpinan,
ideologi dan keanggotaan yang jelas. Corak baru itu kemudian diikuti oleh
organisasi-organisasi lain yang membawa pada perubahan sosial-politik.
Organisasi BU bersifat kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda.
BU bersifat tidak membedakan agama, keturunan, dan jenis kelamin. Pada
mulanya organisasi ini orientasinya hanya sebatas pada kalangan priyayi,namun pancaran etnonasionalisme semakin terlihat saat dilaksanakan
kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, di Yoyakarta.
Dalam kongres itu dibahas tentang dua prinsip perjuangan, golongan muda
menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial,
sedangkan golongan tua mempertahankan cara lama yaitu perjuangan
sosio-kultural.
Perdebatan itu tidak saja menyangkut tujuan BU tetapi juga pemakaian
Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Perdebatan juga menyangkut tentang
sikap menghadapi westernisasi. Radjiman berpendapat bahwa “Bangsa
Jawa tetap Jawa” dan menunjukkan identitasnya yang masih Jawasentris.
Sementara Cipto Mangunkusuma berpendapat bahwa bangsa Indonesia
perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur lain sehingga dapat
memperbaiki taraf kehidupannya. Cipto Mangunkusumo juga berpendapat
bahwa sebelum memecahkan masalah budaya perlu diselesaikan masalah
politik. Orientasi politik semakin menonjol di kalangan muda kemudian
mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarekat Islam. Dalam
perkembangannya, meskipun ada kelompok muda yang radikal, tetapi
kelompok tua masih meneruskan cita-cita BU yang mulai disesuaikan dengan
kondisi politik pada saat itu. Pada waktu dibentuk Dewan Rakyat (Volksraad)
pada tahun 1918, wakil-wakil BU duduk di dalamnya. Pemerintah dengan
demikian tidak menaruh curiga karena sifat BU yang moderat. Seorang
pimpinan BU yang menyaksikan rapat. Bupati mengeluh tentang mereka
yang hanya ingin mempertahankan kedudukannya sebagai bupati karena
warisan, sedangkan zaman mulai berubah. Agus Salim tidak lama setelah
rapat Volksraad dibuka, berharap agar kaum kuno atau golongan konservatif
itu bukan merupakan golongan suara yang dominan dalam dewan tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda mengakui BU sebagai organisasi yang sah pada
Desember 1909. Dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak lain
sebagai bagian dari pelaksanaan Politik Etis. Sambutan baik pemerintah inilah
yang menyebabkan BU sering dicurigai oleh kalangan bumiputera sebagai
organ pemerintah. BU mulai kehilangan wibawanya pada tahun 1935,
organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai Indonesia
Raya (Parindra). Namun demikian, dengan segala kekurangannya BU telah
mewakili aspirasi pertama rakyat Jawa ke arah kebangkitan dan juga aspirasi
rakyat Indonesia. Keberadaan BO memberikan inspirasi untuk organisasiorganisasi
modern lainnya, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Sedio Tomo,
Muhammadiyah, dan lain-lain.b. Sarekat Islam
Pada mulanya SI lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo
seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia
mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).
Perkumpulan itu bertujuan untuk memberikan bantuan pada para pedagang
pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Saat itu perdagangan
batik mulai dari bahan baku dikuasai oleh pedagang Cina, sehingga
pedagang batik pribumi semakin terdesak. Kegelisahan Tirtoadisuryo itu
diutarakan pada H. Samanhudi. Atas dorongan itu H. Samanhudi mendirikan
Sarekat Dagang Islam di Solo (1911). Pada mulanya SI bertujuan untuk
kesejahteraan sosial dan persamaan sosial. Mula-mula SI merupakan gerakan
sosial ekonomi tanpa menghiraukan masalah kolonialisme.
Jelaslah bahwa tujuan utama SDI adalah melindungi kegiatan ekonomi
pedagang Islam agar dapat terus bersaing dengan pengusaha Cina. Agama
Islam digunakan sebagai faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang
Islam yang saat itu juga mendapat tekanan dan kurang diperhatikan dari
pemerintah kolonial. Sebagai perkumpulan dagang SDI kemudian berpindah
ke Surabaya yang merupakan kota dagang di Indonesia. SDI selanjutnya
dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Cokroaminoto dikenal sebagai
seorang orator yang cakap dan bijak, kemampuannya berorator itu memikat
anggota-anggotanya. Di bawah kepemimpinannya diletakkan dasar-dasar
baru yang bertujuan untuk memajukan semangat dagang bangsa Indonesia.
Disamping itu SDI juga memajukan rakyat dengan menjalankan hidup sesuai
ajarana agama dan menghilangkan paham yang keliru tentang agama Islam.
SDI kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913.
Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam pidatonya
di Kebun Bintang Surabaya, ia menegaskan bahwa tujuan SI adalah
menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi
agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi itu
nampak sekali dengan didirikannya koperasi di Kota Surabaya. Di Surabaya
pula berdiri PT. Setia Usaha, yang bergerak tidak saja menerbitkan surat kabar
“Utusan Hindia”, juga bergerak di bidang penggilingan padi dan perbankan.
Usaha itu dimaksudkan untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari
ketergantungan bangsa asing.
Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, SI sudah mempunyai cabang
di berbagai kota. Organisasi itu tumbuh menjadi besar. Kemajuan yang
dicapai oleh SI itu dianggap ancaman bagi pemerintah kolonial. Pemerintah
kemudian mengeluarkan peraturan untuk menghambat laju pertumbuhan
SI, yaitu cabang harus berdiri sendiri dan terbatas daerahnya. Pemerintah
kolonial tidak keberatan SI daerah mengadakan perwakilan yang diurus oleh
pengurus sentral. Kemudian dibentuklah Central Sarikat Islam (CSI) yang
mengorganisasikan 50 cabang kantor SI daerah.
Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai politik, SI yang
semula merupakan organisasi nonpolitik berubah menjadi partai politik. SI
mengirimkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dan memegang
peran penting dalam Radicale Concentratie, yaitu gabungan perkumpulan
yang bersifat radikal. Pemerintah kolonial yang dianggap cenderung kearah
kapitalisme mulai ditentang. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan
buruh. Dalam suatu pembukaan rapat Volksraad masih terekam dalam
ingatan bersama kaum terpelajar bumiputera tentang Janji November
(November Beloofte). Dalam pidatonya itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda
mengatakan bahwa dalam zaman baru hubungan pemerintah kolonial
dan proses demokratisasi dimulai. Ia juga mengatakan, bila saatnya kelakVolksraad menjadi dewan rakyat, sebuah lembaga bagi rakyat Hindia untuk
menyampaikan hasrat untuk merdeka. Namun Volksraad tidak pernah
menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap menjadi alat bagi pemerintah
kolonial. Karena kecilnya capaian yang diraih oleh dewan rakyat tersebut,
mendorong Cokroaminoto dan Agus Salim untuk mengubah aliran politik SI
dari kooperatif ke nonkooperatif dan menolak ikut serta dalam setiap dewan
rakyat yang didirikan pemerintah.
Dalam kongres SI tahun 1914, yang diselenggarakan di Yogyakarta
Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal mulai
kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang. Dalam kondisi itu
Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan
kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk. Karena itu
perpecahan harus dihindari, persatuan, harus dijaga karena Islam sebagai
unsur penyatu. Dalam kongres tahunan yang diselenggrakan SI pada tahun
1916, Cokroaminoto menyampaikan dalam pidatonya perlunya pemerintahan
sendiri untuk rakyat Indonesia. Pada tahun itu kongres pertama SI yang
dihadiri oleh 80 anggota SI lokal dengan anggotanya sebanyak 36.000
orang. Kongres itu merupakan Kongres Nasional karena SI mempunyai citacita
supaya penduduk Indonesia menjadi satu nation atau suku bangsa,
dengan kata lain mempersatukan etnis Indonesia menjadi bangsa Indonesia.
Cokroaminoto dikenal sebagai seorang politikus dan orator yang cerdas.
Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan cara
berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang
diadakan di rumah Cokroaminoto. Dia juga meniru cara Cokro berpidato
dengan berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal
sebagai seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia,
Sukarno.
Sebelum kongres tahunan berikutnya (1917) di Jakarta, muncul aliran
revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang dipimpin
oleh Semaun. Kongres tetap berjalan dan memutuskan bahwa azas perjuangan
SI adalah pemerintahan berdiri sendiri dan perjuangan melawan penjajahan
dari kolonialisme. Sejak itu Cokroamitono dan Abdul Muis mewakili SI dalam
Dewan Rakyat. SI semakin mendapat simpati dari rakyat. Keanggotaannya
pun semakin meningkat. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar
ke tubuh SI. Sejak itulah pengaruh sosial-komunis masuk ke dalam tubuh SI
pusat maupun cabang-cabangnya. Sebagai organisasi besar SI telah disusupi
oleh orang-orang yang menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Vereninging (ISDV), seperti Semaun dan Darsono.Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap
kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang
diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang
kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Di sisi lain, SI
menginginkan aliran nasional keagamaan yang diwakili oleh Cokroaminoto,
yang kemudian dikenal dengan SI Putih. Rupanya gejala perjuangan dua
aliran itu tidak dapat dipersatukan. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak
agar ditetapkan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Usulan
itu sangat mengkhawatirkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itu,
Tan Malaka meminta displin partai diadakan perkecualian bagi PKI. Namun
demikian, disiplin partai dapat diterima oleh kongres dengan suara mayoritas.
Konsekuensi dari itu Semaun dikeluarkan dari SI, karena tidak boleh rangkap
anggota. Dengan demikian, langkah pertama dari pengaruh PKI ke dalam
tubuh SI telah dapat diatasi.
Sementara itu dalam kongres di Madiun 1923, Central Sarekat Islam (CSI)
diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan memberlakukan disiplin partai.
Di lain pihak, SI yang mendapat pengaruh PKI menyatakan diri bernaung
dalam Sarekat Rakyat yang merupakan bentukan PKI. Azas perjuangan
PSI adalah nonkooperasi artinya oraganisasi itu tidak mau bekerjasama
dengan pemerintah kolonial. Namun organisasi itu mengijinkan anggotanya
duduk di dalam Dewan Rakyat atas nama pribadi. Kongres PSI tahun 1927
menegaskan azas perjuangan organisasi itu adalah mencapai kemerdekaan
nasional berdasarkan agama Islam. Karena PSI menggabungkan diri dalam
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI), nama PSI ditambah dengan Indonesia untuk menunjukkan
perjuangan kebangsaan. Selanjutnya organisasi itu bernama Partai Sarikat
Islam Indonesia (1927). Maka muncullah pengaruh positif bagi perkembangan
nasionalisme PSI. Perubahan nama itu berkaitan dengan kehadiran Sukiman
yang baru datang dari Belanda. Dalam konggres Pemuda tahun 1928, PSII
aktif mengambil bagian dalam PPPKI.
Banyaknya anggota muda dalam PSII membawa perbedaan paham antara
golongan muda dengan golongan tua. Pada 1932, timbulah perpecahan
dalam tubuh organisasi itu. Muncullah Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah
Dr. Sukiman yang berpusat di Yogyakarta. Agus Salim dan A.M. Sangaji
mendirikan Barisan Penyedar yang berusaha menyadarkan diri sesuai dengan
tuntutan zaman. Persatuan dalam PSII tak dapat dipertahankan lagi, Sukiman
kemudian memisahkan diri yang diikuti oleh Wiwoho, Kasman Singodimedjo
dll. Pada tahun 1940, Sekar Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat perpecahan itu
PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam kemudian
dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang merupakan lanjutan dari PARII di
bawah pimpinan Dr. Sukiman.
c. Indische Partij (IP)
Indische Partij merupakan organisasi politik yang anggota-anggotanya
berasal dari keturunan campuran Belanda-pribumi (Indo-Belanda) dan orang
asli pribumi. Munculnya organisasi ini karena adanya sejumlah golongan
orang Indo-Belanda yang dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada
orang Belanda asli (totok). Secara hukum mereka itu masuk dalam bangsa
kelas I, karena kedudukan ayahnya yang orang Belanda. Namun demikian
secara sosial karena ibunya orang pribumi mereka anggap lebih rendah oleh
golongan Belanda totok. Sejumlah orang dari golongan Indo Belanda itu
kemudian mendirikan perkumpulan Indische Bond (1898). E.F.E Douwes
Dekker yang kemudian berganti nama Dr. Danudirjo Setiabudhi berkeinginan
untuk melanjutkan Indische Bond sebagai organisasi politik yang kuat.
Keinginan Douwes Dekker itu semakin menguat saat ia bertemu dengan
dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki
Hajar Dewantoro. Mereka kemudian dikenal dengan “Tiga Serangkai”.
Douwes Dekker adalah cucu Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, seorang
penulis Max Havelaar yang membela petani Banten dalam masa Tanam
Paksa. Ia seorang campuran ayah Belanda dan ibunya Indo. Pengalaman
hidupnya itulah yang menjiwai gerak politiknya. Kedekatannya dengan
buruh perkebunan kopi, saat ia menjadi pengawas perkebunan di Jawa,
yang menjadi alasan pemerintah Kolonial Belanda untuk memecatnya.
Kondisi itulah yang mendorong dia untuk mendirikan organisasi yang
bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan bagi Indie (istilah Indonesia
pada waktu itu). Bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan Cipto
Mangunkusumo maka dibentuklah Indische Partij (IP) pada tahun 1912.
Keinginan IP untuk mewujudkan cita-citanya itu mendapat respon positif dari
masyarakat saat itu. Keanggotaan IP berkembang dengan pesat. Sebagai
seorang koresponden surat kabar de Locomotief di Semarang, kemudian
harian Soerabajasch Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, dan akhirnya di
majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Expres, Douwes Dekker dengan
mudah dapat mengutarakan gagasannya. Ia berpendapat hanya melaluikesatuan aksi melawan kolonial dapat mengubah sistem yang berlaku. Ia
juga berpendapat bahwa setiap gerakan politik haruslah mempunyai tujuan
akhir, yaitu kemerdekaan. Pendapat itulah yang kemudian ditulis dalam
Het Tijdschrift dan De Expres. Kedekatan Douwes Dekker dengan pelajar
STOVIA di Jakarta membuka peluang bagi pemuda terpelajar saat itu untuk
menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam surat kabar Bataviaasch
Nieuwsblad, saat ia menjadi redaktur surat kabar itu. Pengaruh BU juga
mendasari jiwa Douwes Dekker saat ia melakukan propaganda ke seluruh Jawa
dari tanggal 15 September hingga 3 Oktober 1912. Dalam perjalanannya itu
ia menyelenggarakan rapat-rapat dengan elit lokal di Yogjakarta, Surakarta,
Madiun, Surabaya, Tegal, Semarang, Pekalongan, dan Cirebon. Dalam
pertemuannya dengan para tokoh elit BU itu Douwes Dekker mengajak
membangkitkan semangat golongan bumiputera untuk menentang penjajah.
Kunjungannnya itu menghasilkan tanggapan positif di kota-kota yang
dikunjunginya. Dari itulah IP kemudian mendirikan 30 cabang dengan jumlah
anggota 730 orang. Kemudian terus bertambah hingga mencapai 6000
orang yang terdiri dari orang Indo dan bumiputera. Dalam Anggaran Dasar
IP disebutkan, untuk membangun patriotisme Bangsa Hindia kepada tanah
airnya yang telah memberikan lapangan hidup, dan menganjurkan kerjasama
untuk persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air Hindia dan
untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Bagi pemerintah
kolonial keberhasilan IP
mendapat simpatisan dari
masyarakat merupakan suatu
yang berbahaya. Organisasi
itu kemudian dinyatakan
sebagai organisasi terlarang
dan berbahaya (pertengahan
1913). Pemimpinnya kemudian
ditangkap dan dibuang.
Douwes Dekker diasingkan
ke Timor, Kupang. Cipto
Mangunkusumo dibuang ke
Bkamu. Suwardi Suryaningrat
dibuang ke Bangka. Tiga
Serangkai itu kemudian
dibuang ke Negeri Belanda.
Pembuangan Tiga Serangkai
itu membawa dampak luas,
tidak saja di Hindia Belanda,
akan tetapi juga di Negara Belanda. Di Hindia Belanda, keberadaan mereka
semakin mendorong bumiputera untuk memperjuangkan hak-haknya.
Sementara di Negeri Belanda menjadi perdebatan politik di kalangan Dewan
Perwakilan Rakyat Belanda tentang pergerakan rakyat Indonesia.
Karena alasan kesehatan, pada 1914 Cipto Mangunkusumo dipulangkan ke
Indonesia. Douwes Dekker dipulangkan pada 1917 dan Ki Hajar Dewantoro
dipulangkan pada 1918. Setelah IP dibubarkan dan pimpinannya menjalankan
pembuangan organisasi itu kemudian bernama Insulinde. Namun organisasi
itu kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Kemudian tahun 1919
berganti nama menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Ki Hajar Dewantoro
kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922), sebagai badan
perjuangan kebudayaan dan perjuangan politik.
2. Organisasi Keagamaan
Pada abad ke-19, muncul gerakan pembaruan di negara-negara Islam, di
Asia Barat. Pemikiran itu merupakan reaksi atas tantangan Barat. Gerakan itu
berpusat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dengan pimpinan Jamaluddin Al
Afghani. Pengaruh gerakan itu sampai di Indonesia dengan tokoh-tokohnya
Muhammad Iqbal dan Amir Ali. Reformasi Islam dapatlah dikatakan sebagai
gerakan emansipasi keagamaan, yaitu dengan perbaikan kaum muslim
melalui pendidikan yang sedapat mungkin sejajar dengan pendidikan barat.
Di Jakarta, tahun 1905, berdiri perkumpulan Jamiyatul khair yang mendirikan
sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Sekolah modern itu disamping
mengajarkan agama juga mengajarkan pelajaran berhitung, sejarah,
geografi, dll.
a. Muhammadiyah
Keberadaan organisasi BU telah memberikan inspirasi kepada KH Ahmad
Dahlan untuk mendirikan sebuah orgaisasi yang bersifat modern bernama
Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18
November 1912, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Salah satu tujuan pendirian Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran
Islam. Islam seharusnya bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya
adalah amar makruf nahimunkar,
atau mengajak hal yang baik dan
mencegah hal yang jelek.
Pembaruan model Wahabiyah di
Arab pun dimulai, antara lain dengan
manajemen organisasi modern,
pendirian lembaga pendidikan dan
dakwah melalui media atau surat
kabar.
Sistem pendidikan dibangunnya
dengan cara sendiri,
menggabungkan cara tradisional
dengan cara modern. Model sekolah
Barat ditambah pelajaran agama
yang dilakukan di dalam kelas. Dalam bidang kemasyarakatan organisasi
ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu yang dikelola
oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan berdirinya
Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk
kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Selanjutnya organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiah di
Yogyakarta, sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiah. Nama
‘Aisyiyah terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri nabi Muhammad yang dikenal
taat beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung ekonomi rumah
tangga. Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
‘Aisyiyah yang masih eksis sampai kini didirikan sebagai pembaru peran
kaum perempuan, terutama di bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri,
perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan
karena dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai
peran kemasyarakatan. ‘Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan lakilaki
sama-sama mempunyai kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran, termasuk melalui bidang pendidikan.
b. Nahdlatul Ulama (NU)
Pembaruan Islam yang dilakukan
di kota-kota mendorong kaum tua
yang ingin mempertahankan tradisi
mereka untuk mendirikan organisasi.
Reaksi positif dari golongan
tradisionalisme adalah lahirnya
organisasi di kalangan mereka.
Saat itu kebetulan bertepatan
dengan akan dilakukannya Kongres
Islam sedunia (1926), di Hijaz. Para
ulama terkemuka saat itu kemudian
membentuk lembaga yang bernama
Jam’iyatul Nahdlatul Ulama (NU)
pada 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai
Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang
teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Tujuan organisasi ini terkait dengan
masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Pada dasarnya NU tidak berurusan dengan permasalahan politik. Dalam
kongres yang diadakan di Surabaya, 28 Oktober 1928, diambil keputusan
untuk menentang kaum reformis dan perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh Paham Wahabi. Pada gilirannya pertentangan antara kaum reformis
dan tradisionalis itu tidak saja dapat dikurang, mereka bahkan melakukan
kerjasama dalam melakukan perubahan. NU termasuk organisasi yang giat
mengubah tradisi berkhutbahnya dari berbahasa Arab menjadi bahasa daerah
yang dapat dimengerti oleh jamaahnya. Perubahan itu kemudian dapat
memberikan dampak yang positif bagi pengikutnya. Perubahan cara berpikir
pun mulai terlihat yang kemudian diikuti dengan perbaikan organisasi secara
lebih modern, lembaga-lembaga sosial mulai didirikan, seperti rumah sakit,
rumah yatim piatu, serta sekolah-sekolah. Yang tidak kalah penting dalam
konteks Indonesia adalah bangkitnya nasioalisme modern, yaitu nasionalisme
non kesukuan yang merupakan modal penting dalam terbentuknya negarabangsa
di kemudian hari
Pada tahun 1935, NU berkembang dengan pesat, NU sudah mempunyai 68
cabang dengan jumlah anggota 6.700. Pada tahun 1938, dalam kongresnya
di Menes, Pandeglang, Banten, NU berusaha untuk dapat memperluaspengaruhnya ke seluruh Jawa. Kongres selanjut di Surabaya, tahun 1940,
diputuskan untuk mendirikan Wanita Nahdlatul Ulama Muslimat dan
pemudanya dibentuklah Organisasi Ansor.
c. Organisasi Islam lainnya
Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab di Indonesia.
Pada tahun 1914 didirikan perkumpulan Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad
Surkati. Ia berkeinginan agar pendidikan agama Islam dilakukan sejak dini
dan diajarkan terus menerus. Juga dikembangkannya ukhuwwah Islamijah
di antara pemeluk agama Islam. Banyaknya keturunan Arab yang berdomisili
di Indonesia, mendorong A.R. Baswedan untuk mendirikan Partai Arab
Indonesia pada tahun 1934. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sebagai
tanah airnya, karena mereka dilahirkan dari seorang perempuan Indonesia.
Di Sumatra Barat, berdiri Sumatra Thawalib. Organisasi itu didirikan oleh
kalangan pemuda Sumatra Barat, tahun 1918. Para pemuda itu mendapat
pendidikan Islam di Mekah. Mereka belajar pada Syekh Akhmad Khatib, ketika
kembali ke Sumatera Barat, mereka membawa pemikiran Islam modern yang
digerakan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Organisasi
itu bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan
pekerjaan yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan menurut ajaran
Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia
yang memperluas tujuan, yaitu Indonesia Merdeka dan Islam Jaya.
Organisasi itu khususnya bergerak dalam bidang pendidikan dan politik.
Secara cepat pengaruh organisasi itu meluas di Sumatera Barat. Sebagai
organisasi politik yang radikal, Thawalib kemudian dilarang untuk beraktivitas
oleh pemerintah pada tahun 1936.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, organisasi ini didirikan oleh ulama-ulama
di Sumatera Barat yang tidak setuju dengan Thawalib, antara lain Syekh
Sulaiman ar Rasuly. Kegiatan organisasi itu terutama bergerak di bidang
pendidikan, yaitu dengan mendirikan madrasah. Mereka juga membuat
majalah sebagai sarana menyalurkan gagasan dan ide-ide kemajuan, antara
lain Suara Tarbiyatul Islamiyah (SUARTI), Al Mizan, dan Perti Bulanan. Setelah
kemerdekaan organisasi itu bernama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI).
Organisasi yang sejalan dengan PERTI adalah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT). Organisasi PMT ini didirikan oleh Syekh Musthafa Purba, baru pada
tahun 1930 juga karena tidak sepaham dengan Thawalib.
Selanjutnya di Bandung berdiri Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi itu
muncul sebagai reaksi dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair, pada tahun
1923 oleh Kiai Hasan. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran beragama dan semangat ijtihat dengan melakukan dakwah dan
pembentukan kader melalui madrasah dan sekolah.
Di Kalimantan Selatan juga berdiri organisasi yang merupakan kelanjutan dari
SI. Usaha SI di bidang pendidikan dilanjutkan dengan mendirikan madrasah
Daru Salam. Madrasah ini dilengkapi dengan asrama dan sawah sebagai
tempat untuk belajar hidup mandiri para santri.
Kegagalan SI juga mendorong masyarakat Aceh untuk melanjutkan
perjuangan SI, maka didirikanlah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Organisasi itu dibentuk oleh Tengku M.Daud Beureureh pada 5 Mei 1939.
Tujuan organisasi itu meningkatan pendidikan agar terlaksana syari’at Islam
dalam masyarakat. Kemudian Nahdatul Wathan yang juga merupakan
organisasi kelanjutan SI di Nusa Tenggara barat. Organisasi itu juga bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran beragama. Perhatian utama organisasi itu
adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
d. Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI)
MIAI merupakan gabungan dari organisasi politik dan beberapa organisasi
massa yang bersifat moderat terhadap Belanda. Golongan Muslim
yang tergabung dalam organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap
pemerintahan kolonial. Saat Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat
kelonggaran menjalankan aktivitasnya, sementara aktivitas organisasi yang
lain dilarang. Karena MIAI dipandang sebagai organisasi yang anti barat.
Suatu ketika seluruh pemuka agama diundang oleh Gunsikan, Mayor Jenderal
Okazaki ke Jakarta. Mereka diajak untuk bertukar pendapat. Pertemuan itu
menghasilkan MIAI harus menambah azas dan tujuannya. Kegiatan MIAI
menyelenggarakan badan amal dan peringatan hari keagamaan.
Sebagai organisasi yang diakui Jepang MIAI dianggap kurung memuaskan
pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti
dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin
oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim,
Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.
3. Organisasi pemuda
Di samping organisasi keagamaan juga berkembang organisasi dan partai
politik. Organisasi itu masih bersifat kedaerahan dan menentang kolonialisme.
Organisasi itu mempunyai tujuan untuk kebangsaan dan cinta tanah air.
Pada kalangan pemuda berkembang berbagai gerakan untuk membebaskan
tanah air dari penjajahan. Tri Koro Dharmo, didirikan di Jakarta pada 7 Maret
1915. Organisasi itu didirikan di Gedung Kebangkitan Nasional dengan ketua
dr. Satiman Wiryosanjoyo. Perkumpulan itu beranggotakan pemuda-pemuda
Jawa. Dalam kongresnya di Solo organisasi itu berubah nama Jong Java.
Kemudian pada 1920-an Jong Java mulai melakukan perubahan pandangan
dari kedaerahan ke nasional. Setelah Sumpah Pemuda ia berfusi dalam
Indonesia Moeda.
Pemuda Sumatera juga mendirikan persatuan pemuda Sumatera yang dikenal
dengan Jong Sumatera Bond. Organisasi itu dirikan pada 1917, di Jakarta.
Persatuan itu bertujuan untuk memperkukuh hubungan antarpelajar yang
berasal dari Sumatera. juga menumbuhkan kesadaran di antara anggotanya,
dan membangkitkan kesenian Sumatera. Tokohnya adalah Moh. Hatta dan
Moh. Yamin.
Perkumpulan yang lainnya dibentuk berdasarkan daerah yang ada, antara lain
Jong Minahasa, Jong Celebes, dan Jong Ambon. Perkumpulan ini kemudian
berfusi dalam Indonesia Muda. Di samping itu juga muncul Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 1925, oleh mahasiswa Jakarta dan
Bandung. Tujuan PPPI adalah kemerdekaan tanah air Indonesia Raya.
Organisasi bersifat anti-imperialisme. Di Bandung pada tahun 1927, berdiri
Jong Indonesia. Berbeda dengan organisasi-organisasi pemuda sebelumnya,
organisasi ini sudah bersifat nasional. Organisasi itu kemudian berganti nama
Pemuda Indonesia dan organisasi wanitanya bernama Putri Indonesia.
Pada tahun 1926, diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta yang
dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan
itu. Meskipun dalam Kongres I itu belum menghasilkan keputusan penting,
namun setidaknya benih-benih kebangsaan dan nasionalisme sudah
ditanamkan pada saat itu.
4. Organisasi Wanita
Organisasi wanita yang berkembang sebelum tahun 1920, lebih
menekankan pada perbaikan status sosial di dalam keluarga. Organisasi
itu juga menekankan pada pentingnya pendidikan dan masih bersifat
kedaerahan. Pada tahun 1912, berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta
Organisasi itu bertujuan untuk membantu bimbingan dan penerangan pada
gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan pendapat
dimuka umum, serta memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang
mulia. Berbagai aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama memberikan
beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah wanita
Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam kepengurusan
Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan
Sadikun Tondokusumo.
Kartini Fonds, didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang
penasehat Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan
untuk mendirikan sekolah Kartini. Pada tahun 1913- 1915 berdiri berbagai
organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Fokus perhatian
mereka adalah mendobrak semua tradisi yang mengungkung wanita dan
keinginan memajukan mereka. Corak pergerakan wanita pada mulanya
untuk berbaikan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga dengan
memperbaiki pendidikan dan mempertinggi kecakapan wanita. Sebagai
contoh pada tahun 1913 berdiri Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang
bertujuan mendirikan sekolah anak-anak remaja putri, sekolah perempuan
di Cianjur (1916), Ciamis (1916), Sumedang (1916), dan Cicurug (1918).
Selanjutnya juga berdiri sekolah-sekolah Kartini di Jakarta (1913), Madiun
(1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), dan kota-kota lain.
Sementara itu, di Sumatera Barat didirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), yang
diketua Rohana Kudus. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan derajat
wanita dengan belajar membaca dan menulis, baik huruf Arab maupun
Latin. Juga belajar membuat kerajinan tangan, mengatur rumah tangga, dan
pada 1914 Kerajinan Amai Setia itu berhasil mendirikan sekolah perempuan
pertama di Sumatera Barat.
Munculnya organisasi-organisasi wanita di berbagai daerah tersebut
mendorong pergerakan wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan
kesejahteraan kaum perempuan. Organisasi itu pun tumbuh semakin
banyak. Di Jawa misalnya terbentuk Pawiyatan Wanito di Magelang (1915),
Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Putri
Budi Sejati di Surabaya (1919). Organisasi-organisasi lainnya pun merasa
perlu untuk membentuk organisasi wanita sebagai bagiannya, seperti SI yang
kemudian mendirikan Sarekat Siti Fatimah di Garut (1918). Organisasi dan
partai kemudian memberikan perhatian yang besar pada organisasi wanita.
Mereka berpandangan, bahwa melalui organisasi wanita itulah peran pertama sebagai pendidikan anak-anak dapat dilakukan. Dengan demikian
cita-cita perjuangan dan kemerdekaan disampaikan sejak dini pada anakanak.
Seiring meningkatnya pendidikan pada kaum perempuan, semakin meningkat
pula perkumpulan-perkumpulan wanita. Mereka tidak saja bergerak dalam
bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Perkumpulan kaum wanita
ini juga lahir sebagai organisasi wanita dari organisasi-organisasi pergerakan
yang sudah ada. Organisasi yang dimaksud misalnya ‘Aisyiah. Sejak itu,
saat K.H. Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan organisasi
Muhammadiyah, juga mendorong dan memberikan bantuan pada kaum
wanita Muhammadiyah untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agama
Islam. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah bergabung dalam organisasi
Sopo Tresno, yang kemudian berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai
Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah anggota
mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring. Aisyiah
mempunyai sekolah perempuan sebanyak 32 sekolahan dengan 75 guru.
Selanjutnya muncul berbagai organisasi wanita di berbagai tempat. Tahun
1920 di Gorontalo berdiri organisasi Gorontalosche Muhammedaansche
Vrouwen Vereninging. Pada tahun itu juga Sarekat Kaum Ibu Sumatera di
Bukittinggi mendirikan Nahdatul Fa’at di Sumatera Barat. Wanita Utama
(1921) dan Wanita Khatolik (1924) didirikan di Yogyakarta. Sarekat Ambon
mendirikan INA TUNI (1927) di Ambon, Wanita Taman Siswa (1922), Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (1925), dan Putri Indonesia (1927). Di
Manado berdiri organisasi Puteri Setia (1928), Wanita Perti bagian dari
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Mameskransje Help Elkander (Sahati) di
Jakarta.
5. Partai Komunis Indonesia
Dalam kongres nasional SI yang pertama penggabungan prinsip Islam dan
sosialisme dibicarakan. Sosialisme dipandang sebagai simbol modern yang
berlawanan dengan imperialisme. Suatu paham yang dipandang dapat
membawa keadilan sosial, kemakmuran, dan kemerdekaan bangsa terjajah.
Sementara itu di Belanda, Sneevliet, Brandstrder, dan Dekker mendirikan
ISDV. Mereka berusaha mencari kontak dengan IP dan SI untuk mendekati
rakyat tetapi tidak berhasil.
Untuk mendapatkan pengaruh yang luas di kalangan masyarakat Indonesia,
Sneevliet berusaha memasukkan ajaran-ajaran komunis kepada masyarakat.
Pilihan Sneevliet agar dapat menguasai masyarakat yaitu melalui organisasi
yang mempunyai wibawa dan pengaruh yang luas, maka dipilihlah SI. Pada
waktu itu SI merupakan organisasi dengan pengaruh yang cukup kuat di
kalangan penduduk bumiputera. Anggotanya adalah kalangan pemuda dan
berpikiran radikal. Pengikut ISDV kemudian membentuk fraksi dalam tubuh
SI.
Cepatnya pengaruh komunis di Indonesia mencerminkan buruknya
perekonomian dan hubungan antara gerakan politik dan pemerintah
Belanda. Radikalisme kaum komunis menyebabkan pemerintah Belanda
mengusir kaum komunis Belanda untuk pergi dari Indonesia. Dengan
kepergian kaum komunis itu maka terjadilah pergantian pimpinan. Tahun
1920 organisasi itu kemudian berganti nama Partai Komunis Hindia dan tahun
1924 berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Komunisme mudah
menarik bagi kaum terjajah, karena mereka beranggapan segara terbebas
dari penjajah. Itulah sebabnya komunisme dapat dengan cepat menyebarkan
pengaruhnya ke masyarakat Indonesia. Pada saat bersamaan pemerintah
Belanda mengadakan penangkapan terhadap orang PKI yang mengadakan
aksi politik. Semaun dan Darsono melarikan diri ke Rusia. Kedudukan
pimpinan PKI digantikan oleh Tan Malaka. Karena keterlibatan SI dan PKI
dalam pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, maka Tan Malaka dan
Abdul Muis ditangkap dan diasingkan. PKI selanjutnya bergabung dengan
Comintern (Communist International).SI kemudian terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih dibawah H.
Agus Salim memutuskan hubungan dengan PKI. Meskipun prinsip persatuan
dipegang teguh dalam menghadapi pemerintah, tetapi karena kondisi
sosio politik menguntungkan PKI bila terus diadakan kerjasama, maka
Cokroaminoto pada tahun 1923 melaksanakan “disiplin partai”. Penerapan
disiplin itu melarang anggota SI merangkap sebagai anggota PKI.
PKI mendapat dukungan dari kalangan buruh. Sebagai akibat dari depresi
ekonomi pada 1923, kaum buruh yang bergabung dalam Vereeninging voor
Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) mendesak melakukan pemogokan untuk
menuntut kenaikan upah. Pemogokan itu diikuti oleh buruh percetakan
dan juru mudi di Semarang. Pemogokan di Semarang meluas hingga ke
Surabaya. Akibat pemogokan tersebut pimpinan PKI Semaun dan Darsono
diusir dari Indonesia. Pada tahun 1926-1927 pemimpin PKI melakukan
pemberontakan, pimpinannya kemudian dibuang ke Boven Digul. Tindakan
itu merupakan penyimpangan dari pola-pola kaum terpelajar, dengan
semangat Kebangkitan Nasional.
6. Perhimpunan Indonesia: Manifesto Politik
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan
organisasi yang bernama Indische Vereniging (1908), yaitu perkumpulan
Hindia, yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina dan Belanda.
Organisasi itu didirikan oleh R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan
R. Husein Jajadiningrat. Semula organisasi itu bergerak di bidang sosial
dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air.
Organisasi itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera.
Banyaknya pemuda-pemuda pelajar di tanah Hindia yang dibuang ke Belanda,
semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu. Dalam perkembangan
selanjutnya perkumpulan itu mengutamakan masalah-masalah politik.
Jiwa kebangsaan yang semakin kuat diantara mahasiswa Hindia di Belanda
mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi
Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya perkumpulan itu berganti
nama Indonesische Vereeniging (1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma
Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo.
Nama perhimpunannya diganti lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI).
Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama Indonesia Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas nasioalis yang
muncul di luar tanah air. Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah
putih sebagai lambang mereka dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh
perjuangan.
Perhimpoenan Indonesia semakin mendapat simpatik dari para mahasiswa
Indonesia di tanah Belanda. Jumlah keanggotaannya pun semakin bertambah
banyak. Tahun 1926 jumlah anggota mencapai 38 orang. Di tanah Belanda
itulah para mahasiswa itu menyerukan pada semua pemuda di Indonesia
Hindia untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka. PI
bersemboyan “ self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak memintaminta
dan menuntut-nuntut. Dalam Anggaran Dasarnya juga disebutkan,
bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh melalui aksi bersama, yaitu
kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kekuatan
sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan tidak
mungkin diadakan kerjasama (nonkoperasi). Bangsa Indonesia harus mampu
berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain.
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh
Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan
merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians ( sarjana
Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud
Bastians dengan konsep Indonesia, adalah Indonesia secara etnografi, bukan
konsep Indonesia seperti saat ini. selanjutnya dalam rapat-rapat menjelang
kemerdekaan pandangan etnografi dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan
tentang nasion yang saat itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan
wilayahnya.
Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda kemudian menggunakan
Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi
politiknya. Karena itulah Organisasi Indische Vereeniging berganti nama ke
Perhimpoenan Indonesia.
Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ....Langkah pertama untuk
memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan
berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama
aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres
itu, semuanya menyebut Indonesia. orang-orang Belanda, yang pada pidato
permulaan masih menyebut “Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka
lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisantulisan
mereka keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut
“INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam
pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar
kembali dengan “Indes Neerlandises”.”
kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda
dan Indonesia, juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur
melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI
juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera.
Dengan demikian jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan
manifesto politik pergerakan Indonesia. Karena Perhimpunan itu lahir di negeri
asing yang saat itu menjadi penjajah tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulahperkumpulan pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan
panji-panji kemerdekaan Indonesia. jelaslah bahwa para pemuda Indonesia
tidak takut untuk membela dan berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya
dengan segala resikonya.
7. Taman Siswa
Awalnya, Taman Siswa bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa
(Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya
memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Namun, kemudian Taman Siswa
Demi mempertahankan
Taman Siswa, Ki Hajar
Dewantara rela melelang
beberapa barangnya untuk
membayar pajak. Sebuah
idealisme dan cita-cita
memang harus dibayar mahal.
berkembang pesat dengan memiliki
52 cabang dengan murid kurang
lebih 65.000 siswa.
Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa
Sung Tulada, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Hkamuyani”.
Artinya, “guru di depan harus
memberi contoh atau teladan,
di tengah harus bisa menjalin
kerjasama, dan di belakang harus
memberi motivasi atau dorongan
kepada para siswanya.” Azas ini
masih relevan dan penting dalam
dunia pendidikan.
Taman Siswa mendobrak sistem
pendidikan Barat dan pondok
pesantren, dengan mengajukan
sistem pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang ditawarkan
adalah pendidikan bercirikan
kebudayaan asli Indonesia
Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak
mendukung. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai
aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak
rumah tangga dan Undang-Undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932 yakni
larangan mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai politik. Taman siswa
mampu memberikan kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan
pendidikan, Taman Siswa mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat
yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini sekolah
Taman Siswa masih berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di
Indonesia.
8. Organisasi Buruh
Perkumpulan Adhi Dharma yang didirikan oleh Suryopranoto (kakak Ki Hajar
Dewantara) pada tahun 1915 berperan sebagai organisasi yang membela
kepentingan kaum buruh, termasuk membantu para buruh yang dipecat
untuk memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selama
mencari pekerjaan.
Pada bulan Agustus 1918, Suryopranoto membentuk gerakan kaum buruh
bernama Prawiro Pandojo ing Joedo atau Arbeidsleger (tentara buruh)
yang merupakan cabang dari Adhi Dharma. Organisasi ini didirikan sebagai
dampak dari terjadinya aksi perlawanan kaum buruh pabrik gula di Padokan
(sekarang pabrik gula Madukismo), Bantul, Yogyakarta.
Bulan November 1918, Suryopranoto mendeklarasikan berdirinya Personeel
Fabriek Bond (PFB) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan
koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan anggota
kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan
Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. PFB
didirikan untuk membela kepentingan kaum buruh yang terus mengalami
penindasan. Bersama PFB, Suryopranoto memimpin banyak aksi mogok kerja
untuk menuntut peningkatan kesejahteraan bagi kaum buruh. Pada tahun
1918 Adi Dharma menjadi bagian dari Sarekat Islam (SI), maka Personeel
Fabriek Bond (PFB) yang terbentuk dalam tahun tersebut otomatis berada di
bawah perlindungan Central Sarekat Islam (CSI).Sepulang dari pembuangan penjara Sukamiskin, Suryopranoto dan Adhi
Dharma turut berkiprah sebagai pengajar di Taman Siswa, lembaga
pendidikan untuk kaum bumiputera yang didirikan oleh sang adik, Suwardi
Suryaningrat, yang saat itu telah berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
KESIMPULAN
1. Pendidikan tidak saja dipandang sebagai alat menuju ke arah
pembaruan masyarakat, peningkatan kecerdasan, dan alat bagi
terbukanya mobilititas sosial tetapi juga mampu membangun ruh
nasionalisme.
2. Tumbuhnya ruh nasionalisme di kalangan kaum terpelajar, kaun
terdidik, telah mendorong berkembangnya semangat kebangsaan di
berbagai kalangan dan kelompok masyarakat. Lahirlah kemudian
berbagai bentuk organisasi pergerakan kebangsaan, sesuai dengan
ideologi dan bidang yang diminati dan diyakini oleh para pendirinya.
Lahirlah organisasi kebangsaan yang yang berpaham nasionalisme,
kominisme, ada yang bergerak dalam bidang pendidikan, melalui
bidang agama, ada organisasi kaum buruh, dan juga organisasi yang
diembangkan oleh para pemuda dan juga perempuan.
3. Pada mulanya perjuangan pergerakan organisasi kebangsaan itu
bersifat kedaerahan atau kelompok, namun paham kebangsaan dan
nasionalisme sudah terlihat dalam tujuan dan cita-cita organisasi itu
sehingga sifat kebangsaannya semakin berkembang.
4. Secara khusus terdapat organisasi pergerakan yang lahir di negeri
Belanda (yang menjajah Indonesia) yakni Perhimpunan Indonesia
yang telah merintis dan mempopulerkan semangat persatuan dan
kesatuan (kerja sama), kemandirian, tidak bekerja sama dengan
penjajah untuk kemerdekaan.
C. Menganalisis Proses Penguatan Jati Diri Bangsa
Kalau kita perhatikan isi Sumpah Pemuda merupakan suatu peristiwa
komitmen dan kebulatan tekad bangsa Indonesia sebagai bangsa yang satu
dan tanah air yang satu, serta menjunjung bahasa persatuan.
Menurut Taufik Abdullah, kisah sederhana itu memperlihatkan pada kita
tentang satu hal yang menarik dalam pengetahuan masa lalu kita. Sumpah
Pemuda dapat kita lihat sebagai perwujudan dari sebuah peristiwa besar, yaitu
berkumpulnya organisasi-organisasi pemuda terpelajar untuk melakukan
“Kongres Pemuda”. Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan
fundamental dari sebuah bangsa yang masih dalam tahap pembentukan.
Ia terbentuk melalui kurun yang waktu panjang. Tujuh tahun setelah
terbentuknya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun
masih dalam tahapan loyalitas kepulauan. Perubahan pesat dan radikal
dari organisasi-organisasi pemuda itu mendorong mereka untuk mengejar
persatuan yang lebih luas.
Harus diingat Sumpah Pemuda itu memiliki makna yang strategis dalam
rangkaian untuk mengembangakan rasa persatuan dan proses penguatan
jati diri bangsa, Pada bagian ini kita akan mendalami tentang materi yang
terkait dengan “Penguatan Jati Diri Bangsa” yang bermula dari peristiwa
Sumpah Pemuda.
Memahami Teks
1. Menuju Sumpah Pemuda
a. Gerakan Pemuda
Munculnya elit baru di kalangan kaum muda terpelajar, memunculkan
pahaman baru di kalangan mereka. Kalangan elit baru itu lebih cenderung
memilih pekerjaan sebagai guru, penerjemah, dokter, pengacara, dan
wartawan. Munculnya elit baru itu memunculkan pemahaman kebangsaan.
Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai
bangkit meskipun dalam loyalitas kepulauan. Perubahan pesat dan radikal
dari organisasi-organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk mencapai
cita-cita persatuan. Maka pada 30 April – 2 Mei 1926, diadakannya rapat
besar pemuda di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan Kongres Pemuda
Pertama. Kongres itu diketuai oleh M. Tabrani. Tujuan kongres itu adalah
untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu membentuk suatu
badan sentral dengan maksud memajukan paham persatuan kebangsaan dan
mempererat hubungan antara semua perkumpulan-perkumpulan pemuda
kebangsaan.
Gagasan-gagasan persatuan dibicarakan dalam kongres itu. Soemarto
misalnya, tampil sebagai pembicara dengan topik “Gagasan Persatuan
Indonesia”. Bahder Djohan tampil dengan topik “Kedudukan Wanita dalam
Masyarakat Indonesia”. Nona Adam yang menyampaikan gagasannya
tentang “Kedudukan Kaum Wanita”. Djaksodipoero berbicara tentang
“Rapak Lumuh”. Paul Pinontoan berbicara tentang “Tugas Agama di dalam
Pergerakan Nasional”. Muhammad Yamin berbicara tentang “Kemungkinan
Perkembangan Bahasa-Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa
Mendatang”.
Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan
pengulangan dari pidatonya yang disampaikan dalam Lustrum I Jong
Sumatranen Bond. Saat itu pidato Yamin mendapat komentar dari Prof.
Dr. Hooykes, bahwa kelak Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia, dan
bahasa Belanda akan terdesak oleh karenanya.Keputusan mendasar dari Kongres Pemuda I adalah kongres mengakui dan
menerima cita-cita persatuan Indonesia. meskipun belum dinyatakan dengan
jelas. Sebagai tindaklanjut dari kongres itu Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Batas, Sekar Rukun, Vereeniging
voor Ambonsche Studeerenden dan Komite Kongres Pemuda I mengadakan
pertemuan, pada 15 Agustus 1926. Pertemuan itu belum membawa hasil
yang berarti. Kemudian dibentuklah anggaran organisasi baru yang bernama
Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). organisasi baru itu bertujuan untuk
menanamkan cita-cita persatuan Indonesia.
Sementara itu untuk menghapus penjajahan yang merugikan rakyat Indonesia
dibentuklah Perhimpunan Pelajar-Pelajar di Indonesia (PPPI) di Jakarta,
September 1926. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.
Cita-cita hanya dapat tercapai bila paham kedaerahan dihilangkan dan
perselisihan pendapat diantara kaum nasionalis harus dihapuskan. Aktivitas
PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. Ketua perkumpulan
itu Soegondo Djojopoepito, tokoh-tokoh lainnya adalah Muh. Yamin,
Abdullah Sigit, Suwiryo, Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Tamzil, Sunarko,
Amir Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering berkumpul di
Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden.
Mereka mempunyai hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak
formal.
Pada 20 Februari 1927, pertemuan dilanjutkan, dalam pertemuan itu
membahas tentang fusi antarorganisasi pemuda, akan tetapi hasilnya belum
maksimal. Persoalan kedaerahan masih muncul pada saat itu. Pada tahun itu
pula Jong Java mulai kehilangan peran dominannya dalam gerakan pemuda.
Peran itu kemudian diambil alih oleh PPPI dan Jong Indonesia. Perjuangan
pemuda dari tahun 1926-1928 berjalan dengan cepat. Baik dari kalangan
muda maupun kalangan tua memandang bahwa sudah waktunya untuk
bersatu. Bahkan untuk merapatkan barisan di tanah Hindia, para pelajar
yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia kembali ke tanah air. Diantara
mereka adalah Sartono, Moh. Nazif, dan Mononutu. Selama dua tahun
itulah para pemuda mengadakan pertemuan secara intensif di Indonesische
Clubgebouw.
Untuk mempersiapkan rapat tersebut, PPPI mengambil langkah untuk
membentuk panitia rapat pemuda dengan acara mengadakan rapat-rapat
terbuka yang diisi dengan ceramah yang menganjurkan dan menguatkan
perasaan persatuan. Pada Juni 1928, panitia kongres dibentuk. Ketua kongres
dipilih Soegoendo Djojopoespito dari PPPI, Wakil Ketua Djoko Marsaid dari
Jong Java, dan Sekretaris Muh. Yamin dari Sumatranen Bond.
Pada 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II dilaksanakan di gedung
Indonesische Clubgebouw. Saat itu kongres dihadir sekitar 1000 orang.
Dalam kesempatan itu Muh. Yamin menyampaikan pidatonya dengan judul
“Dari Hal Persatoean dan Kebangsaan Indonesia”. Pada hari kedua kongres
dibicarakan tentang masalah-masalah pendidikan, pembicara saat itu antara
lain Ki Hadjar Dewantara, S. Mangoensarkoro, Djokosarwono, Ramelan, Mr.
Soenario, dan Poernomowoelan.
Dalam rapat-rapat di PPPI, Yamin selalu menentang ide fusi dari perkumpulan
yang ada. Sebagai pemuda Sumatera Yamin berkeinginan untuk memilih
federasi dari perkumpulan-perkumpulan yang ada. Keinginannya itu lebih
cenderung agar perkumpulan lebih bebas bergerak. Namun saat Kongres
Pemuda berlangsung, Yamin berubah pikiran, ketika itu Mr. Soenario sedang
berpidato. Sebagai sekretaris, ia memberi resolusi dalam rapat itu, yaitu
menjunjung tinggi persatuan dan perkumpulan pemuda yang ada. Adapun
isi putusan tersebut adalah:
..........Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan :
Pertama: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe
bertoempaah darah yang satoe, tanah Indonesia;
Kedoea: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe
berbangsa yang satoe bangsa Indonesia;
Ketiga: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Keputusan pemuda-pemudi itu kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda,
pada saat itu pula dikumandangkannya lagu Indonesia Raya ciptaan Wage
Rudolf Supratman dan bendera Merah Putih digunakan sebagai bendera
Pusaka Bangsa Indonesia
Peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 itu merupakan puncak
pergerakan nasional. Karena itulah kita memperingatinya sebagai peristiwa
bersejarah yang diperingati setiap tahun hingga saat ini sebagai hari besar
nasional. Putusan kongres itu menjiwa setiap perkumpulan pemuda di
Indonesia di kemudian hari. Selanjutnya organisasi-organisasi pemuda itu
mengadakan persiapan-persiapan untuk mengadakan fusi. Jong Java sebagai
organisasi terbesar dan tertua waktu itu, menyetujui ide fusi itu dalam Kongres
ke-11, tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta. Sebagai kelanjutan
kongres itu Jong Java membubarkan diri dan bergabung dengan Indonesia
Muda. Komisi Besar Indonesia Muda kemudian menyelenggarakan kongres
untuk mendirikan badan fusi yang bernama Indonesia Muda di Gedung
Habiprojo Surakarta yang diselenggarakan pada tanggal 28 Desember hingga
2 Januari 1931. Saat terbentuknya Indonesia Muda mempunyai 25 cabang
di seluruh Indonesia, empat di Sumatera, 21 di Sulawesi. Yong Islamieten
Bond dan Pemuda Muslimin karena suatu alasan tidak ikut bergabung dalam
organisasi gabungan itu.
Dengan berdirinya Indonesia Muda secara otomatis perkumpulan Jong Java,
Jong Celebes, Perhimpunan Indonesia, dan Pemuda Sumatera membubarkan
diri. Tampuk pimpinan Indonesia Muda kemudian diserahkan kepada
Pedoman Besar Indonesia Muda. Tokoh-tokoh yang menandatangani
deklarasi Indonesia Muda itu adalah Kuncara Purbopranoto, Muhammad
Yamin, Jusupadi, Sjahrial, Assat, Suwadji Prawirohardjo, Adnan Gani, Tamzil,
Sujadi, dan Pantouw.
Indonesia Muda bertujuan membangun dan mempertahankan keinsyafan
antara anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya.
Untuk mewujudkan tujuan itu dikembangkan sikap saling menghargai
dan memelihara persatuan semua anak Indonesia, dengan mengadakan
kursus-kursus untuk memberantas buta huruf, memajukan olah raga, dan
lain sebaginya. Berdirinya Indonesia Muda itu memberikan inspirasi kepada
tokoh-tokoh pemuda lain untuk mendirikan perjuangan yang lebih luas.
Perjuangan tidak saja menuntut hak-hak sosial, tetapi juga menuntut suatu
kemerdekaan bagi Indonesia Merdeka. Di samping itu Volksraad yang sudah
didirikan oleh pemerintah Belanda (1918) kemudian digunakan oleh pemuda
Indonesia yang tergabung didalamnya untuk membela kepentingan rakyat
Indonesia.
Diadakannya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah
Pemuda tersebut nampaknya ikut semakin menyemangati perjuangan
organisasi pergerakan perempuan di Indonesia. Se-ide dengan pelaksanaan
Kongres Pemuda II itu kemudian organisasi-organisasi wanita yang telah
berkembang di berbagai daerah di Indonsia itu mengadakan Kongres
Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928, di Pendopo Joyodipuro,Yogyakarta, yang dipimpin oleh Ny. R.A. Sukanto. Kongres itu diprakarsai
oleh Ny. Sukoto, Nyi Hajar Dewantara, dan Nn. Suyatin. Kongres itu bertujuan
untuk menjalin persatuan di antara perkumpulan wanita, dan memajukan
wanita. Dalam Kongres Perempuan Indonesia I itu dihadiri oleh 30 organisasi
wanita. Kongres Perempuan Indonesia I itu merupakan bagian penting bagi
Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Untuk mengenang sejarah kongres
perempuan maka pada tanggal 22 Dsember diperingati sebagai Hari Ibu di
Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya organisasi itu berubah nama sebagai
Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPPI). Perjuangan organisasi itu
semakin kuat dengan didirikannya Isteri Sedar dan Istri Indonesia. Isteri Sedar
didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo (1930), di Bandung. Organisasi itu
bertujuan meningkatkan kesadaran wanita Indonesia untuk memperkokoh
cita-cita Indonesia Merdeka. Organisasi ini sejalan dengan PNI, yang menolak
poligami. Selanjutnya Istri Indonesia didirikan 1932. Organisasi itu didirikan
berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Tujuan Istri Indonesia adalah
mencapai Indonesia Raya dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah
Belanda. tokoh-tokoh organisasi itu adalah Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan
Maria Ulfah Santoso. Kongres Perempuan I dan juga semakin meningkatnya
gerakan organisasi wanita telah ikut mendorong bagi kemajuan perjuangan
bangsa Indonesia untuk mencapai kejayaan dan kemerdekaan.
Sementara itu gerakan organisasi pemuda terus mengalami kemajuan. Pada
31 Desember 1931, diselenggarakan rapat besar Indonesia Muda. Saat itu
Indonesia Muda resmi didirikan diiringi dengan upacara. Selanjutnya setiap
cabang secara khusus ditanya kesiapannya untuk mendirikan Indonesia
Muda. Tepat pukul 12.00 WIB semua hadirin diminta untuk berdiri dan
piagam pendirian Indonesia Muda dibacakan. Pada saat itu Panji-panji
Indonesia Muda berkibar untuk selama-lamanya diiringi bunyi gamelan,
setelah gamelan berhenti semua pemuda yang hadir menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya.
Pada mulanya perkumpulan Indonesia Muda tidak diperbolehkan terlibat
dalam politik. Tekanan pemerintah terhadap larangan berpolitik mendorong
anggota Indonesia Muda untuk mendirikan perkumpulan lain. Pada 1931,
orang-orang PNI Baru di Malang mendirikan Suluh Pemuda Indonesia yang
bercorak Marhaen. Partindo di Yogyakarta mendirikan Persatuan Pemuda
Rakyat Indonesia (Perpri). Dari perkumpulan Islam misalnya, berdiri JIB bagian
keputrian, Pemuda Muslim Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda
Perserikatan Ulama, Pemuda Persatuan Islam, dan Anshor NU. Dari pemuda
Kristen misalnya, lahir Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen, sementara
pemuda Katholik melahirkan Mudo Katholik dari partai politik Suluh Pemuda
Indonesia, barisan Pemuda Gerindo, Jajasan Obor Pasundan. Perkumpulan
lainnya seperti, Taman Siswa, Persatuan Pemuda Teknik, Persatuan Putri
Cirebon, Kebangunan Sulawesi, dan Minangkabau.
Dalam gerakannya para pemuda itu melakukan kepanduan. Kepanduan
itu berasal dari kepanduan Jong Java, Pemuda Sumatera, dan organisasi
pemuda lainnya. Kepanduan itu mengambil azas dari kepanduan dunia, yang
berisi tentang memberikan pelajaran dalam bentuk segala permainan dan
kecakapan pandu, untuk meningkatkan kesehatan para pemuda. Disamping
itu juga berdiri kepanduan berdasarkan kebangsaan dan keagamaan, seperti
Natipy, Hizbul Wathon, Siap, dan Kepanduan Rakyat Indonesia.
2. Bangkitnya Nasionalisme Modern
Sebagai seorang terpelajar Sukarno,
muncul sebagai seorang pemuda
cerdas yang memimpin pergerakan
nasional baru. Ia mendirikan partai
dengan nama Partai Nasional
Indonesia (4 Juli 1927). Partai itu
bersifat revolusioner, sebelumnya
partai itu bernama klub studi umum.
Sukarno memimpin partai itu hingga
Desember 1929. Jumlah anggotanya
hingga saat itu mencapai 1000
orang.
Sukarno juga turut serta memprakarsai berdirinya Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada
1927. Pada 28 Oktober 1928 organisasi ini ikut menyatakan ikrar tentang
tanah air yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.
Pernyataan Sumpah Pemuda itu membawa dampak luas pada masyarakat
untuk menumbuhkan nasionalisme yang kuat. Di daerah-daerah munculnya
nasionalisme yang digerakkan oleh tradisi dan agama. Mereka terinspirasi
oleh oleh para pemimpin pergerakan nasional yang ada di Jakarta.
Perlawanan terhadap kekuasaan kolonial pada masa pergerakan berbasis
pada masalah perkumpulan agama. Sementara itu komunis merupakan
target langsung dari pemerintah Belanda, namun demikian Belanda tidak
dapat mempertahankan kekuasaan mereka di daerah-daerah yang berbasis
komunis. Pada saat itu semangat untuk memerangi imperialisme dan kolonialis
begitu kuat dalam pengikut-pengikut PKI. Pengikut Tan Malaka masih terus
dapat mempertahankan kerangka struktur yang biasanya dilakukan melalui
kontak pribadi di desa-desa atau bekerjasama dengan organisasi-organisasi
agama lainnya.
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus mendapat tekanan dari
Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI karena aksi-aksi yang dengan radikal
terhadap pemerintah Belanda, akhirnya ditangkap dan diadili. Menjelang
vonis pengadilan dijatuhkan, Sukarno sempat mengucapkan pidato
pembelaan untuk membakar semangat para pejuang. Pidato pembelaan
itulah yang kemudian dibukukan dengan judul: “Indonesia Menggugat”.
Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman kurungan kepada
Sukarno. Ia ditahan di Penjara Sukamiskin selama empat tahun terhitung
Desember 1930. Selama Sukarno menjalani masa penahanannya PNI pecah
menjadi dua, Partai Indonesia (Pertindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia
atau PNI Baru. Sukarno masuk dalam Partai Indonesia dan PNI Baru dipimpin
oleh Mohammad Hatta dan Sjahrir.
Sungguh sebuah pengorbanan
yang dilakukan Sukarno.
Kalau ia mau bekerja untuk
Belanda tentu akan menjadi
orang yang kaya raya brsama
keluarganya. Tetapi ia tidak
memilih itu. Ia memilih
berjuang bersama rakyat,
sekalipun harus miskin, harus
dipenjara di Sukamiskin.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno
lebih menekankan pada mobilisasi
massa, sedangkan Hatta dan Sjahrir
lebih menekankan pada organisasi
kader yang akan menentang
tekanan pemerintah kolonial
Belanda dengan keras dan lebih
menanamkan pemahaman ide
nasionalisme. Namun demikian
kedua strategi politik itu belum
mencapai hasil yang maksimal.
Akhirnya ketiga tokoh itu ditangkap
dan diasingkan oleh Belanda dan
ditahan serta diasingkan pada 1933.
Kedua organisasi yang didirikan oleh
ketiga tokoh itupun dibubarkan
oleh pemerintah kolonial.
Sukarno dengan ide-ide nasionalisme itu memang terus diawasi. Selepas
dari Penjara Sukamiskin kemudian diasingkan ke Ende, Flores , Nusa
Tenggara Timur. Ia ditempatkan di sebuah rumah (konon rumah ini milik Haji
Abdullah). Bersama keluarganya, Sukarno selama empat tahun (1934-1938)
diisolasi dijauhkan dari dinamika perjuangan kebangsaan. Tetapi ide dan
semangat nasionalismenya tidak pernah padam. Dikisahkan di pengasingan
itu Sukarno sering merenung di bawah pohon sukun yang ada di dekat
rumah itu. Kebetulan pohon sukun itu bercabang lima. Ia merenungkan
nilai-nilai luhur yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman
Praaksara. Nilai-nilai itulah yang kemudian dirumuskan menjadi nilai-nilai
dalam Pancasila. Menurut Cindy Adam, Sukarno memberi nama Pancasila
itu karena terinspirasi dengan pohon sukun yang bercabang lima dan daun
sukun yang memiliki lima sirip kanan, kiri dan tengah.
Sukarno ternyata tidak hanya diisolasi, sebagai tahanan pemerintah, Sukarno
justru masih harus berjuang untuk menghidupi anggota keluarganya.
Inilah perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan Sukarno di pengasingan.
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergearkan
untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis
mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir
Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme
internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo pemimpinnya
berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya.
Gerindo sebagai partai yang berpaham marxis lebih menunjukkan sikap
anti kolonialisme, anti-Eropa dan antikapitalisme. Desakan-desakan untuk
kemerdekaan nasional sangat kuat dan radikal. Organisasi itu juga tidak
sepaham dengan sistem feodalisme, nasionalisasi perusahaan-perusahaan
kapital dan restorasi hak-hak tanah pribumi.
Sementara itu Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939.
Tokoh pendiri GAPI adalah Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan itu,
Gerindo berada dalam satu arah dengan Parindra yang dipimpin oleh Thamrin
dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra adalah partai politik Indonesia yang
paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di
volksraad. Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam
Volksraad yang disebut Fraksi Nasional. 3. Perjuangan di Volksraad
Pada akhir tahun 1929, pimpinan PNI ditangkap. Untuk melanjutkan
perjuangan maka dibentuklah fraksi baru dalam volksraad yang bernama
Fraksi Nasional, pada Januari 1930 di Jakarta. Fraksi itu diketua oleh
Muhammad Husni Tramrin yang beranggotakan sepuluh orang yang berasal
dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Tujuan organisasi itu adalah menjamin
kemerdekaan Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi
Nasional. Mereka mengecam tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan
yang diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Ketidakadilan itu bersumber dari artikel 169 sub, 153 bis, dan 161 bis. Atas
usulan Fraksi Nasional itu vollksraad meninjau ulang kebijakan pemerintah
kolonial. Pemerintah kemudian mengusulkan perkara yang dituduhkan
kepada para pemimpin ke pengadilan tinggi, bukan pengadilan negeri.
Akan tetapi permintaan itu ditolak, karena masalah itu menyangkut masalah
perbuatan pidana, bukan masalah pelanggaran politik. Jelaslah bahwa
gerakan yang dilakukan oleh kaum pergerakan dianggap sebagai kejahatan
yang mengganggu keamanan bukan sebagai gerakan politik.
Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat
pertahanan yang dapat menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah
kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi saat itu sedang mengalami
depresi. Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk
meningkatkan kesejateraan rakyat. Sementara pengawasan dalam bidang
politik semakin diperketat dengan adanya bermacam-macam larangan,
seperti larangan berkumpul, pembredelan surat kabar, dan propaganda.
Fraksi Nasional juga mendorong anggotanya untuk lebih berperan dalam
Volksraad. Para nasionalis di Volksraad diminta untuk bersikap nonkooperasi.
Meskipun aspirasi masyarakat sudah mendapat tempat, melalui perjuangan
yang bersikap moderat dalam perjuangannya, rasa tidak puas terhadap
pemerintah terus berkembang. Kericuhan sempat muncul dengan adanya
Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad. Petisi itu
menyuarakan tentang kurang giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan
yang disebabkan oleh tidak adanya saling pengertian dari pihak pemerintah.
Situasi politik dunia saat itu, yaitu sedang berkembangnya naziisme dan
fasisisme seharusnya membuat pemerintah waspada melihat bahaya yang
mungkin mengancam Indonesia, sehingga perlu mempererat hubungan
dengan Pergerakan Nasional Indonesia.
Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Pegawai
Bestuur/Pamong Praja Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di Volksraad,
mendapat dukungan dari beberapa wakil golongan dan daerah dari
Volksraad mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil Indonesia
dan Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang
dapat berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda.
Petisi itu melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda.
Petisi itu mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad,
selanjutnya disampaikan pada pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda.
Partai Nasional saat itu memperingatkan pada para pendukung petisi, bahwa
tindakan yang diambil itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
seperti Volksraad sehingga usaha itu sia-sia belaka. Pendukung petisi itu tidak
menghiraukan peringatan itu, bahkan membentuk suatu komite agar petisi
itu mendapat dukungan luas di kalangan rakyat. Kondisi itu tidak hanya
bergerak di Indonesia saja, bahkan hingga ke negeri Belanda, sehingga
menyetujui petisi itu.
Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16
November 1938. Alasan penolakan petisi adalah Indonesia belum siap untuk
memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga
dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka.
Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan pihak
pergerakan nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah
menduga sebelumnya. Realitas itu menunjukkan bahwa tuntutan rakyat
Indonesia tidak dibicarakan secara terbuka di parlemen.
PETISI SUTARDJO:
1. volksraad sebagai parlemen sesungguhnya,
2. direktur departeman diberi tanggungjawab,
3. dibentuk Dewan Kerajaan sebagai badan tertinggi antara negari
Belanda dan Indonesia yang anggotanya merupakan wakil kedua
belah pihak,
4. penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahirannya,
asal-usulnya, dan cita-citanya memihak Indonesia.
a. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini
merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI.
Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia
Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian
disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat
Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi
Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama,
yang lainnya I.J.Kasimo.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat
tiong, dan Alatas.
b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan
organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya adalah Mr.
Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI
adalah adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme.
Juga sikap pemerintah yang kurang memperhatian kepentingan bangsa Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu,
Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers
Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali baris dalam suatu wadah
persatuan berupa “konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu
menyadarkan dan menggerakan rakyat untuk memperoleh suatu
pemerintahan sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan citacita
bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan
organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan bangsa
Indonesia. Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di
Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai
politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia
(GAPI).
Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI mempunyai hak untuk
menentukan diri sendiri; persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia
dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, sosial, dan
persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I GAPI (4 Juli
1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen. GAPI
tidak menuntut kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan
sendi demokrasi.
Untuk mencapai tujuannya GAPI menyerukan pada rakyat Indonesia untuk
didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seruan itu disambut hangat oleh
Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan rapat umum. Tidak kurang
dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga
suasana di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar,
PNI Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI.
Mereka berpendapat tidak ada gunanya bersifat meminta-minta kepada
Belanda.
Untuk mencapai tujuannya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia
(KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu
Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya adalah penetapan
bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu
persatuan Indonesia. Juga pengggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
rakyat Indonesia. Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.
Saat Jerman menyerbu Polandia GAPI mengeluarkan Manifest GAPI (20
September 1939). Isi manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri
Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme. Menurut GAPI
usaha itu lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberi hak baru dalam urusan
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari,
oleh rakyat, dan pemerintah yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia
dinyatakan dalam darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang
menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan
menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi adalah
mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih
rakyat dan mengubah fungsi kepala departemen menjadi menteri yang
bertanggungjawab kepada parlemen. Bagi rakyat serta organsasi lainnya
yang tidak bergabung dalam GAPI diminta untuk mendukung GAPI. Resolusi
itu dikirimkan ke gubernur jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina, dan kabinet
Belanda di London.
Aksi gigih yang dilakukan itu menghasilkan persetujuan pemerintah. Pada 14
September 1940 dibentuk Commissietot besudeering van staatsrechtelijke
Hervormigen. Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena diketuai
oleh D. Visman. Pembentuk komisi itu tidak mendapat sambutan baik dari
Volksraad maupun dari GAPI sendiri. Ketidaksetujuan itu didasarkan dari
pengalaman sebelumnya, bahwa pembentuk komisi tidak menghasilkan
perbaikan nasib rakyat seperti yang diinginkan. Untuk menghindari
ketidaksamaan pendapat dalam menghadapi komisi Visman, GAPI meminta
anggota-anggotanya untuk tidak memberikan pendapatnya sendiri-sendiri.
Sikap GAPI menjadi lunak ketika menerima undangan secara resmi dari komisi
Visman. Sementara itu Volksraad mengajukan suatu mosi yang lebih ringan
dengan mengajak kerjasama pemimpin Indonesia dan pemerintah Belanda.
Pertemuan wakil GAPI dengan komisi Visman pada 14 Februari 1941 di
Gedung Raad van Indie, di Jakarta tidak menghasilkan hal baru. Pertemuan
itu hanya menambahkan kekecewaan pada kalangan pergerakan sehingga
ada anggapan GAPI tidak radikal lagi.
4. Masa Berakhirnya Pemerintahan Kolonial
Menjelang berakhirnya masa pemerintahan
kolonial, berbagai bentuk pergerakan
nasional dapat dikontrol oleh pemerintah
kolonial. Kebijakan politik etis diterapkan
sebagai pengaman dari sebuah
pertanggungjawaban pemerintah kolonial
terhadap perubahan mendasar terhadap
dibukanya pintu politik bagi kaum
bumiputera, meskipun perubahan itu
berjalan lambat. Masuknya bumiputera
sebagai anggota Volksraad bukan berarti
kaum bumiputera diberi hak penuh
untuk menyarakan pendapatnya dalan
Volksraad. Walaupun volksraad tidak
memberikan kesempatan pada bumiputera
untuk berunding, setidaknya Volksraad
sudah memberikan peluang para wakil
Hindia, yang membukakan wawasan
mereka tentang perlunya persatuan
untuk melakukan gerakan nasional dalam
melawan kolonialisme.
Selama masa 1920-an, Politik Etis mulai kehilangan prinsip-prinsip asosiasinya.
Politik Etis kemudian dipandang sebagai tugas kemakmuran yang tetap
berjalan dalam pengamanan masyarakat Indonesia. Pada akhir 1920-an,
pergerakan yang dilakukan kaum terpelajar mengarah pada nasionalisme
sebagai arahan politiknya. Berbeda dengan bentuk-bentuk pergerakan lama
yang didasari pada ideologi Pan-islamisme dan komunisme. Hal itu terlihat
pada gerakan-gerakan mereka di bidang sosial dan ekonomi. Pada 1930-
an pikiran-pikiran asosiasi dilahirkan kembali seperti yang disebut dengan
Gerakan Stuw yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kolonial yang progresif
dan berusia muda, hal itu tidak juga memperbaiki kemerosotan rencanarencana
pemerintah kolonial, sampai akhirnya datangnya Jepang.
KESIMPULAN
1. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
upaya membangun jati diri bangsa Indonesia.
2. Melalui Kongers Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 telah
digelorakan semangat persatuan dan kesatuan yang sangat pentingnya
artinya bagi perjuangan rakyat Indonesia pada masa-masa
berikutnya, dengan secara nyata menunjukkan identitas keindonesiaan.
Indonesia merdeka sebagai tujuan para pemuda.
3. Berkembang pula nasionalisme modern yang dipelopori Sukarno.
4. Dalam perkembangannya muncul organisasi-organisasi baru yang
bersikap kooperatif. Oleh karena itu, berbagai bentuk strategi
organisasi-organisasi pergerakan nasional dalam menghadapi
kekuasaan kolonial dilakukan dengan kooperasi dan non-kooperasi.
5. Parindra merupakan organisasi yang berbentuk nasional dan
mempunyai strategi perjuangan dengan aksi politik.
Terimakasih atas informasinya.
BalasHapusalifqofrahamzah.blogspot.co.id