Kamis, 03 Maret 2016

pengertian kolonialis

A. Pengertian Imperialisme dan Kolonialisme
A.1. Imperialisme
Istilah imperialisme yang diperkenalkan di Perancis pada tahun 1830-an ,
imperium Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1830-an, istilah ini diperkenalkan oleh
penulis Inggris untuk menerangkan dasar-dasar perluasan kekuasaan yang dilakukan
oleh Kerajaan Inggris. Orang Inggris menganggap merekalah yang paling berkuasa
(Greater Britain) karena mereka telah banyak menguasai dan menjajah di wilayah
Asia dan Afrika. Mereka menganggap bahwa penjajahan bertujuan untuk
membangun masyarakat yang dijajah yang dinilai masih terbelakang dan untuk
kebaikan dunia.
Imperialisme merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi
dan politik negara-negara kaya dan berkuasa , mengawal dan menguasai negaranegara
lain yang dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan mengeksploitasi
sumber-sumber yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan
kekuasaan negara penjajahnya.
Imperialisme menonjolkansifat-sifat keunggulan (hegemony) oleh satu
bangsa atas bangsa lain. Tujuan utama imperialisme adalah menambah hasil
ekonomi. Negara-negara imperialis ingin memperoleh keuntungan dari negeri yang
mereka kuasai karena sumber ekonomi negara mereka tidak mencukupi. Selain
faktor ekonomi, terdapat satu kepercayaan bahwa sebuah bangsa lebih mulia atau
lebih baik dari bangsa lain yang dikenal sebagai ethnosentrism, contoh bangsa
Jerman (Arya) dan Italia. Faktor lain yang menyumbang pada dasar imperialisme
adalah adanya perasaan ingin mencapai taraf sebagai bangsa yang besar dan
memerintah dunia, misalnya dasar imperialisme Jepang.
Dasar imperialisme awalnya bertujuan untuk menyebarkan ide-ide dan
kebuadayaan Barat ke seluruh dunia. Oleh karena itulah, imperialisme bukan hanya
dilihat sebagai penindasan terhadap tanah jajahan tetapi sebaliknya dapat menjadifaktor pendorong pembaharuan-pembaharuan yang dapat menyumbang kearah
pembinaan sebuah bangsa seperti pendidikan, kesehatan, perundang-undangan dan
sistem pemerintahan.
Sarjana Barat membagi imperialisme dalam dua kategori yaitu imperialisme
kuno dan imperialisme modern. Imperialisme kuno adalah negara-negara yang
berhasil menaklukan atau menguasai negara-negara lain, atau yang mempunyai suatu
imperium seperti imperium Romawi, Turki Usmani, dan China, termasuk spanyol,
Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis yang memperoleh jajahan di Asia, Amerika
dan Afrika sebelum 1870, tujuan imperialisme kuno adalah selain faktor ekonomi
(menguasai daerah yang kaya dengan sumber daya alam) juga termasuk didalamnya
tercakup faktor agama dan kajayaan .
Sedangkan Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di
Inggris tahun 1870-an. Hal yang menjadi faktor pendorongnya adalah adanya
kelebihan modal dan Barang di negara-negara Barat. Selepas tahun 1870-an , negaranegara
Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika danAfrika. Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan
juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.
Dasar Imperialisme ini dilaksanakan demi agama, mereka menganggap bahwa
menjadi tugas suci agama untuk menyelamatkan manusia dari segala macam
penindasan dan ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap terbelakang
seperti para misionaris Kristen yang menganggap misi penyelamat ini sebagai The
White Man Burden
Diantara faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya imperialisme adalah faktor
dan ekonomi
A.2. Kolonialisme
Koloni merupakan negeri, tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan
asing. Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan
utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi.Kebanyakan koloni yangdijajah adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah, keperluan untuk mendapatkan
bahan mentah adalah dampak dari terjadinya Revolusi Industri di Inggris.
Istilah kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan atas
sebuah wilayah atau negeri lain (tanah jajahan) atau satu usaha untuk mendapatkan
sebuah wilayah baik melalui paksaan atau dengan cara damai. Usaha untuk
mendapatkan wilayah biasanya melalui penaklukan. Penaklukan atas sebuah wilayah
bisa dilakukan secara damai atau paksaan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada mulanya mereka membeli barang dagangan dari penguasa lokal,
untuk memastikan pasokan barang dapat berjalan lancar mereka kemudian mulai
campur tangan dalam urusan pemerintahan penguasa setempat dan biasanya mereka
akan berusaha menjadikan wilayah tersebut sebagai tanah jajahan mereka. Negara
yang menjajah menggariskan panduan tertentu atas wilayah jajahannya, meliputi
aspek kehidupan sosial, pemerintahan, undang-undang dan sebagainya.
Sejarah perkembangan kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari
Portugis berlayar ke india pada tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan mencari tanah jajahan
dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda
berlomba-lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah dan berusaha
mengusainya. Penguasaan wilayah yang awalnya untuk kepentingan ekonomi
akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik yaitu campur tangan
untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya. Ini karena kuasa
kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka daripada
pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka.
Kolonialisme berkembang pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme
Eropa dibagi dalam tiga peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri
(1763) yang memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis.
Kedua, setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an
hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak
pertikaian kuasa-kuasa imperialisB. Perdagangan Asia dan Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme Barat
Di zaman perekonomian Asia yang telah maju, perekonomian Eropa justru
masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abad
ke-14 s/d abad ke-15 adalah dunia Islam, khususnya imperium Turki Usmani
(Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai
oleh Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah
menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang-barang
dagangan dari Timur seperti rempah-remapah menjadi langka dan harganya
melambung tinggi.
Meskipun harganya relatif tinggi ternyata minat masyarakat Eropa waktu itu
terhadap komoditi itu tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu
maka para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya mencari jalan
alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut.
Meningkatnya permintaan baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya
seperti India secara tidak lengsung telah mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya kepulauan Maluku memperluas tanaman ekspornya, terutama
pala dan cengkeh. Selain adanya perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di
beberapa pulau, seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditi lain yang juga
sangat diminati orang-orang Eropa, yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh
rempah-rempah, namun waktu itu lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting
dari wilayah Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman
ini mulanya merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat
daya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri lada”. Sejak
kapan lada dibumidayakan oleh penduduk Sumatera tidak begitu jelas.
B.1. Emporium Malaka
Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar yang patut disebut sebuah
emporium adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama
kerajaan itu muncul pada ke-15 M. Kemunculannya sekaligus menggeser kedudukan
Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu
Parameswara menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang
kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan daripada pertanian.
Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur-jalur
perdagangannya dari para bajak laut atau lanun yang berkeliaran di sekitar Selat
Malaka. Di samping itu penguasa Malaka berupaya menjalin hubungan baik dengan
kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama Majapahit (Jawa), Siam dan Cina.
Malaka juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang
dianggapnya penting untuk dikuasai karena menghasilkan barang-barang yang sangat
dibutuhkan Malaka. Misalnya Kampar di pantai timur Sumatera ditaklukannya
karena daerah ini merupakan penghasil lada dan merupakan pintu keluarnya emas
dari daerah pedalaman Minangkabau. Kemudian Siak juga ditaklukan dan
dikuasainya karena menghasilkan emas.
Keberhasilan Parameswara menjalankan kebijakan politiknya, ditambah
dengan perbaikan sistem pergudangan dan perbengkelan kapal (doking), membuat kota Malaka berkembang menjadi sebuah emporium terbesar di Asia Tenggara.
Apalagi setelah penguasa Malaka menjadi Islam pada tahun 1414, telah mendorong
semakin banyak pedagang Islam dari Arab dan India yang nota bene menguasai jalur
perdagangan dari Asia ke Timur Tengah, melakukan kegiatan bisnis-perdagangan di
kota ini.
Menurut Tomé Pires, penulis Portugis, kebijakan yang ditempuh para raja
Malaka adalah menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam
mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang erat kaitannya dengan
perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka waktu itu ada empat orang
syahbandar yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok
bangsa untuk mengurusi kepentingan niaga mereka. Pertama, syahbandar yang
mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang
Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga
kepentingan para pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan
Filipina (Sulu dan Mangindanau); dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti
inilah yang mendorong Portugis berusaha menguasainya.
Bangsa Portugis telah mendengar informasi tentang kota Malaka dengan
segala kekayaan dan kebesarannya itu dari pedagang-pedagang Asia. Atas dasar
informs itu Raja Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan
kota tersebut, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya dan menetap di
sana sebagai wakil raja Portugal. Awalnya Sequeira disambut dengan senang hati
oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528). Sikap Sultan kemudian berubah setelah
komunitas dagang Islam internasional yang ada di bandar itu meyakinkannya bahwa
Portugis merupakan suatu ancaman berat baginya. Oleh karena itu Sultan berusaha
menangkap Sequeira dan anak buahnya. Empat kapal Portugis yang sedang berlabuh
berusaha dirusak oleh pihak Sultan, namun gagal karena para kaptennya telah
berhasil membaya kapal-kapal itu berlayar ke laut lepas. Penyerangan terhadap
Portugis juga terjadi di tempat lainnya di barat. Dengan adanya kejadian seperti itu
Portugis yakin bahwa untuk menguasi perdagangan hanyalah dengan cara penaklukan, sekaligus mengokohkan eksistensinya dalam dunia perdagangan Asia.
Afonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang mendapat tugas untuk merebut
Malaka dengan satu perhitungan jika Malaka dapat dikuasai maka seluruh
perdagangan merica di Asia akan menjadi milik Portugis.
Sebelum sampai ke Malaka, Portugis telah menguasai Hormuz dan Sokotra di
sekitar Teluk Persia dan Goa di pantai barat India yang kemudian dijadikan
pangkalan tetap Portugis. Pada bulan April 1511, Albuquerque berlayar dari Goa
menuju Malaka dengan membawa armada Portugis yang berkekuatan 1200 orang
dan delapan belas buah kapal perang. Perang terjadi secara sporadis sepanjang bulan
Juli dan awal bulan Agustus, yang akhirnya dimenangkan oleh Portugis.
B.2. Awal Kolonialisme Bangsa Barat
Di satu pihak jatuhnya Byzantium ke tangan Turki Usmani telah
menyebabkan komoditi dari Asia Timur dan Asia Tenggara di Eropa langka dan
kalaupun adany harganya sangat mahal. Namun di pihak lainnya peristiwa itu
berdampak positif karena telah mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan di dunia Barat. Hal ini karena banyak ahli budaya-teknologi dari Byzantium yang lari ke
Barat berhasil menularkan pengetahuannya di sana. Di Portugal misalnya,
pengetahuan geografis dan astronominya meningkat semakin baik, sehingga orangorang
Portugis berhasil menjadi mualim-mualim kapal yang mahir dan tangguh.
Kepandaian ini kemudian dipadukan dengan berkembangnya teknologi
perkapalannya mulai dari penemuan sistem layar segitiga dengan temali-temali
persegi, serta kontruksi kapal yang semakin baik sehingga kapal-kapal mereka lebih
mudah digerakkan dan lebih layak dipakai untuk pelayaran samudra. Demikian pula
teknologi persenjataan mereka berkembang sehingga mampu menciptakan meriammeriam
yang dapat ditempatkan di atas kapal-kapal mereka. Kapal-kapal perangnya
lebih menyerupai panggung meriam di lautan daripada istana terapung bagi para
pemanah atau geladak balista (alat pelontar) seperti pada kapal-kapal Romawi pada
masa Julius Caesar dan Oktavianus Agustus. Penemuan-penemuan teknologi itulah
yang kemudian mendorong mereka untuk mencari jalur baru ke India (dalam mitos
masyarakat Eropa waktu itu, rempah-rempah berasal dari India, sehingga mereka
berlayar ke timur termasuk ke benua Amerika, adalah untuk mencari India).Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa Portugis berlayar ke timur bukan
semata-mata untuk mencari rempah-rempah, tetapi juga untuk mencari emas dan
sekutu untuk melawan Turki dalam arti melanjutkan “perang salib”. Pencarian emas
dan perak kemudian menjadi penting karena kedua logam mulia itu dijadikan
semacam indikator kesuksesan satu negara, seperti dikemukakan oleh Antonio Serra
bahwa kekayaan itu tiada lain adalah emas dan perak. Politik ekonomi ini dikenal di
Eropa sebagai ekonomi Merkantilis. Paham ini mulai berkembang sekitar tahun
1500-an dan semakin berkembang setelah terbit tulisan-tulisan dari para pendukung
paham ini, seperti Jean Colbert dari Perancis dan Thomas Mun dari Inggris.
Atas dorongan Pangeran Henry ‘Si Mualim’, Portugis memulai usaha
pencarian emas dan jalan untuk mengepung lawan yang beragama Islam dengan
menelusuri pantai barat Afrika. Mereka berusaha mencari jalan menuju Asia (India)
guna memotong jalur pelayaran pedagang Islam, sekaligus untuk memonopoli
perdagangan komoditi tersebut.Pada tahun 1478, Bartolomeu Diaz sampai ke Tanjung Harapan di ujung
selatan Benua Afrika. Kemudian pada tahun 1497 armada pimpinan Vasco da Gama
sampai ke India. Pengalaman di India ini telah menyadarkan orang-orang Portugis
bahwa barang-barang perdagangan mereka tidak dapat bersaing di pasaran India
yang canggih dengan hasil-hasil yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia.
Oleh karena itulah semboyan “God –Gold – Glory” bagi mereka menjadi relevan,
karena tidak ada cara lain untuk menguasai perdagangan Asia selain melalui
peperangan dan menjadikan daerah-daerah penghasil komoditi itu sebagai koloni.
B.3. Dampak dikuasainya Malaka oleh Portugis
Setelah Portugis berhasil menguasai Malaka, mereka menemukan kenyataan
yang di luar perkiraannya. Kota pelabuhan itu bagaikan ayam dalam dongeng “ayam
bertelor emas” yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Melayu. Seekor ayam
yang setiap hari bertelor satu butir telor emas, yang kemudian disembelih oleh
pemiliknya karena tidak sabar menunggu dan ingin segera mendapatkan telor-telor
emas itu. Ternyata dalam tubuh ayam itu tidak ada telor emas. Portugis menemukan suatu kenyataan bahwa Malaka bukanlah produsen dari semua komoditi ekspor
(khususnya merica) yang dicari-cari oleh para pedagang Barat. Kebesaran Malaka
adalah karena peranannya sebagai emporium, pelabuhan transit bagi para pedagang
Asia. Dengan diterapkannya politik monopoli serta upaya kristenisasi oleh Portugis,
peranan yang disebutkan terakhir justru terganggu. Para perdagangan Asia,
khususnya pedagang Islam merasa tidak nyaman lagi berdagang di kota tersebut.
Umumnya mereka berupaya menghindari kota emporium itu dan mencari jalan
alternatif guna mencapai tempat-tempat atau pelabuhan-pelabuhan lain yang diduga
dapat memenuhi kebutuhan dagangnya.
Jalur perdagangan di Asia Tenggara pun berubah, tidak lagi melalui Malaka
tetapi melalui pantai barat Sumatera, lalu masuk selat Sunda untuk selanjutnya
menelusuri pantai utara Jawa menuju kepulauan Indonesia bagian Timur yang
menghasilkan banyak rempah-rempah. Di jalur perdagangan baru itu umbuh pusatpusat
perdagangan baru, seperti Aceh, Banten, Semarang, Jepara dan Surabaya.Sementara itu Malaka yang dihindari oleh para pegadang Islam kedudukannya
semakin merosot dan tidak pernah meraih kembali kejayaan dan kebesarannya.
Portugis sendiri akhirnya menyadari bahwa pentingnya Malaka adalah
peranannya sebagai pelabuhan emporium, pelabuhan transito. Guna mempertahankan
fungsinya itu, kapal-kapal Portugis belayar ke Maluku untuk mengambil komoditi
tersebut. Pada waktu itu di Maluku ada dua kesultanan Islam yang besar dalam
kondisi sedang menurun dalam kekuasaan politiknya dan saling bermusuhan satu
sama lain, yaitu Ternate dan Tidore.
Selain ke Maluku Portugis berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan
Pajajaran, satu kerajaan Hindu di Jawa Barat yang kedudukan politiknya juga sedang
menurun. Namun kerjasama dengan kerajaan ini tidak sempat terwujud karena
Pajajaran tenggelam oleh kekuatan Islam Demak - Banten.
Kenyataan ini telah memaksa Portugis untuk meninggalkan politik anti
Islamnya (Perang Salib), dan berusaha mencari mitra kerja atau sekutu dagang dari
kalangan Islam. Sebab, (1) Portugis harus menerima kenyataan bahwa kerajaankerajaan di sekitarnya adalah Islam, dan (2) perdagangan Islam di Asia Tenggara
sampai Timur Tengah cukup dominani.
C. Persaingan dan kemitraan
C.1. Portugis di Maluku
Setelah Portugis menyadari bahwa penghasil rempah-rempaah bukanlah
Malaka melainkan Maluku. Atas dasar kenyataan itu Portugis berlayar ke Maluku
dan berupaya menanamkan pengaruhnya melalui persekutuan dengan Ternate. Atas
persetujuan Sultan Ternate, pada tahun 1522 Portugis membangun sebuah benteng di
sana. Pada awalnya persekutuan itu berjalan dengan baik. Hubungan itu mulai rusak
setelah Portugis melakukan kristenisasi terhadap masyarakat Maluku, serta perilaku
orang-orang Portugis sendiri dinilai tidak sopan. Akan tetapi karena kekuatan
kerajaan Ternate ternyata tidak cukup kuat untuk mengusir orang-orang Portugis.
Akibatnya yang terjadi menjadi kebalikannya, justru sultan Ternate, Tabariji
diturunkan dari singgasananya oleh Portugis lalu dibuang ke Goa, India. Sekitar empat puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1575 giliran Portugis yang diusir
oleh sultan Ternate, Baabullah (1570-1583). Dari Ternate orang-orang Portugis
pindah ke Tidore dan membangun sebuah benteng di sana.
Meskipun gerakan kristenisasi tidak lagi sepenuhnya dijalankan oleh
‘pemerintah’ Portugis, namun tidak berarti upaya kristenisasi sama sekali berhenti.
Karena masih ada orang Eropa yang meneruskan kegiatan itu di kepulauan
Nusantara. Orang itu adalah Santo Francis Xavier (1506-1552), orang Spanyol,
yang bersama-sama dengan Santo Ignatius Loyola mendirikan Ordo Jesuit. Pada
tahun 1560-an di kepulauan Maluku diduga sudah ada sekitar 10.000 komunitas
Katholik yang sebagian besar berdomisili di Ambon, dan pada tahun 1590-an
terdapat sekitar 50.000 – 60.000 orang Katholik (Ricklefs, 2005). Menurut Ricklefs,
kondisi ini telah memberi sumbangan yang besar pada rasa memiliki kepentingan
yang sama dengan orang-orang Eropa, terutama di kalangan penduduk Ambon.
Perasaan semacam itu tidak dialami oleh penduduk pribumi (Indonesia) di daerahdaerah
lainnya.Upaya kaum missionaris yang sungguh-sungguh ini terjadi justru pada waktu
kegiatan penaklukan Portugis di kepulauan Indonesia telah terhenti. Pada waktu itu
kepentingan utama Portugis telah bergeser dari Maluku ke perdagangan dengan
Jepang yang dinilainya lebih menguntungkan. Setelah Portugis memperoleh Macao
di tahun 1557, perdagangan dengan Cina juga semakin terbuka. Akhirnya kegiatan
Portugis yang luas mulai lebih dipusatkan pada perdagangan gula Brazil dan budakbudak
Afrika daripada terhadap wilayah timur Asia, terutama setelah Portugis terusir
dari Malaka tahun 1641 oleh kekuatan gabungan VOC dan Johor. Dengan demikian
kristenisasi dengan segala pengaruhnya di kepulauan Indonesia bagian timur lebih
merupakan hasil jerih payah seorang Jesuit daripada hasil jerih payah kerajaan
Portugal.
Selain agama, Portugis meninggalkan beberapa pengaruh budaya, seperti
balada keroncong yang romantis, dan kosa kata yang terserap ke dalam bahasa
Indonesia seperti kata ‘pesta’, ‘sabun’, ‘sepatu’, ‘bendera’, ‘kemeja’, ‘’meja’,
‘minggu’ dll. Hal ini membuktikan bahwa di samping bahasa Melayu yang menjadi lingua franca, bahasa Portugis banyak pula dipergunakan di kepulauan Indonesia,
paling tidak sampai akhir awal abad ke-19. Kini, di daerah kepulauan Maluku masih
banyak nama keluarga yang berasal dari masa Portugis, seperti: da Costa, Dias, de
Fretes, Gonsalves, Mendoza, da Silva, dan Rodrigues.
Perdagangan Portugis pada dasarnya bersifat semi-feodal dan terikat oleh raja
Portugis beserta politiknya. Perdagangan resmi Portugis dapat dikatakan sebagai
contoh dari seorang raja Eropah yang berdagang. Karena itu banyak yang menilai
organisasi perdagangannya kurang efisien. Para pejabatnya di Asia bukanlah
saudagar melainkan hidalgo’s yang lebih menyukai perampokan daripada
perdagangan resmi. Apalagi pada waktu itu bagi seorang prajurit, perampokan
merupakan hak penakluk dari pihak yang menang perang, sehingga perampokan
dianggap terhormat.C.2. VOC sebagai Kekuatan Baru
Dibandingkan dengan Belanda (Ekspedisi pertama Balanda di bawah
pimpinan Cornellis de Houtman tiba di Banten tahun 1596) dan Inggris (ekspedisi
pertama Inggris di bawah pimpinan Sir Francis Drake yang singgah di Ternate,
Sulawesi dan Jawa diakhir tahun 1579) yang baru datang ke wilayah ini menjelang
akhir abad ke-16, maka organisasi perdagangan Portugis memang kelihatan kuno dan
kurang efisien. Organisasi dagang yang dibentuk para pedagang dan penguasa
Belanda, yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mempunyai tujuan
utama yang jelas, yaitu dagang. Ketegasan itu antara lain tercermin dari khirarkhi
VOC itu sendiri. Jabatan “Eerste Koopman” misalnya, dalam hirarkhi VOC
merupakan jabatan penting dan strategis. Pada zaman kejayaannya, hampir semua
mantan pejabat “Eerste Koopman” menjadi gubernur jenderal.
Dalam menanamkan pengaruhnya di Nusantara, baik Portugis maupun
Belanda banyak mempergunakan pola-pola konflik setempat. Disamping itu mereka
juga membawa konflik-konflik mereka di Eropa ke wilayah ini, yang kemudian juga dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sejak berdirinya, VOC sudah
mempersiapkan diri untuk peperangan, terutama melawan musuh-musuhnya di Eropa. Pertama melawan Portugis dan Spanyol, setelah itu EIC (Inggris).
Permusuhan antar kekuatan Barat ini tidak saja karena pada dasarnya telah
bermusuhan di Eropa, melainkan juga karena persaingan dagang di kepulauan
Indonesia dan Semenanjung Melayu, di mana tiap-tiap pihak ingin memperoleh
monopoli atas perdagangan tersebut.
C.3. Aceh dan kekuatan Barat
Seperti telah disebutkan bahwa penguasaan kota Malaka oleh Portugis telah
mengacaukan struktur perdagangan di Asia Tenggara, khususnya kepulauan
Indonesia dan Semenanjung Melayu. Banyak pedagang Asia yang mengindari kota
Malaka yang telah dimonopoli Portugis yang secara tidak langsung membuat
peranan Malaka sebagai pelabuhan transit semakin merosot. Sebaliknya di beberapa
daerah, terutama yang di jalur perdagangan baru, tumbuh dan berkembang kota-kota
dagang baru, yang beberapa di antaranya berkembang menjadi pusat kekuatan politik
baru di wilayah ini.Aceh misalnya, pada tahun 1511 di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat
masih merupakan satu pelabuhan kecil yang berada di bawah kekuasaan Pidie.
Sewaktu Malaka direbut Portugis, sebagian besar komunitas dagang Asia berpindah
ke Aceh. Penghidupan utama dari penduduknya adalah menangkap ikan (nelayan),
dengan pekerjaan sampingan adalah merampok di laut, termasuk merampok kapalkapal
Portugis. Dengan kekuatan sekitar 30 kapal (lankhara), Aceh di bawah
Sultannya yang pertama, Ali Mughayat (?1514-1530) berhasil menyergap kapalkapal
Portugis dan memperoleh meriam-meriam dari hasil rampokan tersebut. Dalam
tahun 1530 diberitakan bahwa jumlah meriam yang dimiliki Aceh lebih banyak
daripada yang meriam Portugis yang ada di benteng Malaka.
Dengan meningkatnya kekuatan dan persenjataan itu, Aceh menaklukan Pidie
yang sebelumnya merupakan tuannya. Setelah itu Aceh memperluas hegemoninya ke
selatan, ke Deli dan Sumatera Barat. Pada tahun 1524 Pedir dan Pasai berhasil
dikuasai Aceh, setelah pasukannya berhasil mengusir garnisun Portugis yang
ditempatkan di daerah itu. Kemenangan Aceh atas Portugis ini dilenggkapi lagi dengan keberhasilnnya mengalahkan armada Portugis di Aru. Kemenangan demi kemenangan itu telah memposisikan Aceh, tidak saja berhadapan dengan Portugis
melainkan juga dengan Johor. Untuk sementara waktu Johor besama-sama dengan
Indrapura mampu manahan ekspansi Aceh. Johor berhasil memukul mundur pasukan
Aceh dari Aru dan menguasinya sekitar empat puluh tahun berikutnya. Satu hal yang
perlu dicatat, daerah-daerah yang ditaklukan Aceh, umumnya merupakan daerah
penghasil merica, emas, lada, dan produksi lainnya yang laris di pasaran dunia waktu
itu.
Kesultanan Johor adalah adalah pusat kekuatan politik baru dinasti Melayu
setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kesultanan itu berhasil mempertahankan
eksistensinya dan mampu mempertahankan perdagangan internasionalnya. Dalam
perkembangannya nanti, Johor bersekutu dengan VOC, terutama dalam menghadapi
tekanan dari Kesultanan Aceh yang bersekutu dengan Portugis yang bercokol di
Malaka. Sampai pertengahan abad ke-17 perdagangan di Selat Malaka dimainkan
oleh tiga kekuatan, yaitu Portugis, Aceh, dan Johor. Namun Aceh berkali-kali
menyerang Johor, terutama untuk merebut Aru, seperti pada tahun 1564 dan 1565.Pada tahun-tahun itu,Aceh di bawah Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-
1571) menyerang dan merampok Johor serta menawan rajanya Sultan Alaudin
Riayat Syah I dibawa ke Aceh dan kemudian dibunuh. Kemudian pada tahun1613,
kembali armada Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyerang Johor
dan menangkap rajanya Sultan Alaudin Riayat Syah II (1597-1613) dan keluarganya,
serta sekelompok pedagang VOC dan membakar benteng VOC di kota tersebut
Sultan Iskandar Muda tercatat sebagai penguasa terbesar di antara penguasapenguasa
Aceh. Pada awal abad ke-17 ia berhasil membawa Aceh menjadi kerajaan
maritim terbesar di wilayah Nusantara bagian barat. Kekuatan armada perangnya,
serta armada dagangnya menjadikan mata uang mas Aceh (dirham) disukai dan
diterima oleh komunitas pedagang Asia sebagai salah satu alat pembayaran yang sah
dalam transaksi perdagangan di samping Real Spanyol, Rijkasdaalder Belanda atau
Kepeng Cina.
Ofensif Aceh terhadap Malaka-Portugis dilakukan berkali-kali. Pada tahun
1614 armada Aceh berhasil mengalahkan armada Portugis di Bintan. Kemudian pada tahun 1617 Aceh merebut Pahang dan menawan rajanya Sultan Ahmad Syah. Setelah
itu pada tahun 1620 giliran Kedah ditaklukannya dan tiga tahun kemudian, Aceh
kembali merampok Johor. Namun baik Johor maupun Portugis tidak pernah
menyerang balik ke Aceh. Ofensif militer Aceh baru terhenti setelah pada tahun 1629
armada lautnya menderita kekalahan besar di muka pelabuhan Malaka Portugis.
Menurut laporan Portugis, Aceh kehilangan seluruh kapal perangnya berikut 19.000
prajuritnya (hilang dan tewas).
Setelah kekalahan itu, Iskandar Muda tidak pernah menyerang Malaka
Portugis lagi Dua kali ia mengirim ekspedisi lautnya, namun kedua-duanya hanyalah
untuk menumpas pemberontakan di Pahang. Meskipun Iskandar Muda berhasil
menjadikan Aceh negara terkuat di bagaian utara pulau Sumatera, namun dia tidak
pernah mengirimkan ekspedisi untuk menaklukan Lampung, Sumatera bagian
selatan, yang merupakan daerah penghasil lada. Waktu itu Sumatera bagian selatan
berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten.Di pulau Sumatera Aceh secara terus menerus menentang kekuasaan Portugis
dan Belanda. Oleh karena itu kesultanan itu dilihat oleh Portugis sebagai kekuatan
Islam yang menentang kehadirannya. Satu fakta yang menunjang anggapan itu
karena memang Aceh sering mengibarkan bendera Islam dalam peperangannya
melawan Portugis dan VOC. Meskipun demikian tidak selamanya Aceh bertentangan
dengan Portugis. Kadang-kadang Aceh juga mengadakan persekutuan dengan
Portugis dalam menghadapi kesultanan Johor (yang Islam) atau persekutuan Johor-
VOC. Pada dasarnya konflik maupun persekutuan seperti di atas adalah soal yang
lazim, karena kepentingan-kepentingan tertentu, tidak semata-mata karena alasan
politis melainkan juga ekonomi.
Kebesaran kesultanan Aceh tidak hanya terletak pada kekuatan militernya
semata, melainkan karena kemampuannya untuk menjalin hubungan diplomatik
dengan dunia Asia Barat, terutama Turki yang disebut oleh masyarakat Aceh sebagai
Raja Rum. Dengan jatuhnya Aden ke tangan Turki Usmani di tahun 1538,
penghidupan perdagangan merica ke Timur Tengah melalui Laut Merah yang sempat terhenti oleh kehadiran kekuatan maritim Portugis di Lautan Hindia, kembali berkembang. Dari beberapa negara Nusantara yang, kemungkinan besar hanya Aceh
yang mempunyai hubungan internasional. Duta-duta Aceh tidak hanya sampai ke
Istambul, Turki, tetapi juga mengunjungi raja-raja Eropa seperti Ratu Elizabeth dari
Inggris, bahkan juga Pangeran Maurice dari Belanda. Di Asia sendiri duta Aceh
antara lain berkunjung ke Moghul, India. Dari misi-misi diplomatik itu, hubungan
dengan Turki yang paling membawa hasil yang tetap dan besar. Turki melihat
kehadiran Aceh sebagai suatu kesempatan untuk memerangi Portugis-Spanyol di
wilayah Timur atau dari belakang. Sebagai bukti dari perhatian itu, pada tahun 1567
Turki mengirimkan 500 orang pelatih artileri (meriam) ke Aceh beserta sejumlah
meriamnya, antara lain meriam yang diberi nama “Lada sacupak” yang ukurannya
sangat besar dan dianggap sebagai pusaka penting waktu itu. Di samping itu orangorang
Turki mengajarkan cara membuat meriam kepada orang-orang Aceh. Di duga
bantuan-bantuan militer itu dibayar dengan hasil perdagangan merica atau lada yang
merupakan hasil ekspor Aceh yang utama dan menguntungkan.
Ada satu faktor yang membuat Aceh tidak mampu mengembangkan dirinya
menjadi kerajaan besar di Nusantara, yaitu intrik-intrik di dalam istananya sendiri baik di kalangan elit-elit pusat maupun di daerah. Setelah Iskandar Muda meninggal,
peranan Aceh dalam politik maupun perdagangan terus merosot, sehingga memberi
kesempatan kepada Johor untuk membenahi dirinya. Johor kemudian berhasil
menegakkan kembali pengaruhnya di semenanjung Malaya dan kawasan selat bagian
selatan.
C.4. Raja-raja Jawa dan Kekuatan Barat
Jatuhnya kota Malaka ke tangan Portugis, menyebabkan kota-kota lama di
pesisir utara Jawa seperti Sunda Kalapa, Cirebon, Jepara, Pati, Kudus, Tuban, Gresik
dan Surabaya, ramai dikunjungi para pedagang manca negara. Bahkan di beberapa
daerah tumbuh pula kota dagang baru, antara lain Banten.
Para penguasa di Jawa melihat Portugis sebagai saingan dan ganjalan dalam
perdagangan mereka. Jepara misalnya, melihat Portugis sebagai saingan utama dalam
perdagangan lada yang kedua-duanya mengambil barang dagangan itu dari Maluku.
Kemudian Demak sebagai pengekspor beras ke Malaka, menjadi rugi setelah kota tersebut jatuh ke tangan Portugis. Faktor-faktor inilah dan juga isu-isu perang agama
yang mendorong Demak, Jepara dan Kudus bersatu untuk menyerang Malaka.
Ekspedisi penyerangan dilakukan pada tahun 1513 di bawah Pati Unus. Konon
ekspedisi ini terdiri dari 100 buah kapal perang serta membawa 5000 prajurit
gabungan dari Jepara dan Palembang.. Namun ekspedisi itu dapat dikalahkan oleh
Portugis. Kemudian pada tahun 1551 Jepara kembali mengirimkan ekspedisinya
membantu Johor untuk menyerang Malaka Portugis yang juga berakhir dengan
kegagalan. Pada tahun 1574 Jepara sekali lagi mengirimkan ekspedisinya
mengepunga Malaka Portugis selama tiga bula. Namun juga tidak berhasil
melumpuhkan kekuatan Portugis di kota pelabuhan itu.
Kegagalan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara untuk merebut Malaka pada
dasarnya karena kekuatan Islam di kepulauan Nusantara tidak mau bersatu melawan
Portugis maupun Belanda (VOC). Bahkan di antara mereka juga saling mencurigai.
Malaka sendiri akhirnya jatuh oleh serangan gabungan antara Johor-VOC.
Eksistensi kerajaan-kerajaan maritim Jawa dengan kekecualian Banten, tidak bertahan lama. Kebesaran mereka sebagai kekuatan maritim terus merosot bukan
karena dikalahkan oleh kekuatan Portugis atau pun VOC, melainkan oleh kekuatan
baru yang muncul di pedalaman Jawa, yaitu Mataram. Kerajaan ini yang berdiri
sejak tahun 1575 terus menerus melakukan ofensif terhadap kerajaan-kerajaan
maritim, khususnya di pantai utara Jawa, bahkan sampai ke Batavia. Bayangan
kejatuhan Majapahit yang menghantui para penguasa di Mataram membuat mereka
berupaya mematikan sumber-sumber pendukung politik dan ekonomi kerajaankerajaan
tersebut, yang secara tidak langsung mematikan perdagangan laut mereka.
Kedatangan pedagang baru, termasuk VOC dan EIC (Inggris) seringkali
mendatangkan harapan-harapan baru bagi raja-raja di Nusantara. Demikian pula
sewaktu Belanda dan Inggris datang di akhir abad ke-16 disambut dengan baik.
Banten misalnya mengijinkan VOC dan EIC membuka kantor dagangnya di kota
pelabuhannya. Demikian pula Pangeran Jayakarta mengundang masuk VOC untuk
membuka kantor dagangnya di kotanya. Namun politik monopoli yang
dikembangkan VOC membuat penguasa Jayakarta merasa dirugikan. Lalu Pangeran Jayakarta bersekutu dengan EIC yang juga merasa dirugikan oleh VOC, untuk
bersama-sama mengusir VOC. Di saat-saat kritis bagi kekuatan VOC di Jayakarta
tertolong oleh tindakan raja Banten yang curiga atas tindakan Pangeran Jayakarta.
Raja Banten menilai tindakan Pangeran Jayakarta membahayakan kedudukan
Banten. Oleh karena itu Banten menangkapnya dan mengusir EIC dari Jayakarta.
Dalam saat kekuatan Jayakarta kosong, armada VOC yang didatangkan dari Maluku
datang menyerang Jayakarta. Kota itupun jatuh ke tangan VOC dan diubah namanya
menjadi Batavia.
Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan kantor pusat
dagang VOC dari Ambon ke Batavia. Namun untuk menguasai seluruh perdagangan
di Nusantara, VOC harus menunggu waktu yang relatif lama. Di sebelah barat,
Banten tampil sebagai salah satu kekuatan maritim di Jawa sekaligus sebagai saingan
berat dalam perdagangan yang terus menerus menentang VOC seperti halnya Aceh
terhadap Malaka-Portugis. Sementara tantangan dari kekuatan maritim di sebelah
timur seperti, Surabaya, Pacitan, Pasuruan, Kudus, dan Demak relatif tidak ada karena kerajaan-kerajaan tersebut sedang menghadapi kekuatan Mataram.
C.4.1. Runtuhnya Mataram
Masa kejayaan Mataram terjadi pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-
1646). Pada masa itu Mataram dua kali menyerang Batavia, yatu: pada tahun 1628
dan tahun 1629. Atas kegagalan itu Sultan Agung telah menghukum mati para
panglimanya.
Sejak kegagalannya itu, Mataram mencoba mencari sekutu dengan mendekati
Portugis dan India. Namun upaya itu dihentikan karena menurut penilaian Sultan
Agung, kekuatan Portugis tidak akan mampu mengalahkan VOC. Setelah itu
Mataram berbalik melakukan hubungan baik dengan VOC. Bagi VOC sendiri,
berhubungan baik dengan Mataram jauh lebih menguntungkan daripada terus-terusan
berperang. VOC memilih mengirimkan upeti ke istana Mataram sebagai tanda
mengakui kebesaran Mataram di bawah Sultan Agung. Imbalannya armada Mataram
menghentikan serangan-serangannya terhadap kapal-kapal dagang VOC. Setelah Sultan Agung wafat, Mataram dikuasai oleh penguasa-penguasa yang
lemah, bahkan kemudian sangat tergantung kepada VOC. Diawali oleh Amangkurat
I dan Amangkurat II yang meminta bantuan VOC untuk menumpas perlawanan
Trunojoyo. Ketergantungan pun semakin menjadi-jadi setelah kerajaan ini didera
oleh intrik-intrik perpecahan di dalam istana serta pemberontakan dari pangeranpangeran
di negara-negara bawahannya. Pada tahun 1704 misalnya, VOC membantu
Pangeran Puger yang berselisih dengan raja Mataram Sunan Amangkurat III (1703-
1708) yang merupakan keponakannya sendiri. VOC membantu Puger karena jauh
lebih menguntungkan daripada Amangkurat III yang politiknya mulai menjauhi VOC
bahkan disebut-sebut ikut melindungi pemberontak Untung Surapati. Pasukan
gabungan VOC dengan Puger akhirnya berhasil memenangkan peperangan.
Amangkuart III ditangkap dan dibuang ke Sri Langka.
Sebagai imbalan atas bantuannya, Puger yang kemudian bergelar Susuhunan
Paku Buwono I (1704-1719) memberikan beberapa konsesi-konsesi seperti : (1)
mengakui batas-batas Batavia, termasuk Priangan yang diajukan VOC, (2) menyetujui bahwa Cirebon merupakan daerah perwalian VOC, (3) mengakui
kekuasaan VOC atas Semarang, (4) memberikan hak membangun benteng di mana
saja di Jawa, dan (5) memberikan hak monopili atas perdagangan candu dan tekstil.
Pertentangan antara Pangeran Puger dan Amangkurat III terbukti bukanlah
intrik-intrik terakhir yang terjadi di istana Mataram. Pertentangan di kalangan istana
kembali mengguncang istana Mataram sejak tahun 1740-an sampai tahun 1750-an,
terutama antara pihak Paku Buwono II, Pangeran Mas Said, dan Pangeran
Mangkubumi. Akhirnya berdasarkan perjanjian Gianti (13 Februari 1755) Mataram
dipecah menjadi dua, yaitu Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono dan
Jogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang kemudian menggunakan gelar
Sultan Hamangkubuwono. Beberapa tahun kemudian sebagian dari Surakarta
dipecah menjadi Mangkunegaran. Demikian juga sebagaian Jogyakarta menjadi
wilayah Pakualaman.Di ujung barat Jawa, kerajaan Banten pada dasarnya kekuasaannya jauh lebih
kecil dibandingkan Mataram. Namun kekuatan armada dagangnya jauh lebih kuat
dibandingkan Mataram. Pada masa Sultan Ageng (1651-1683) yang dikenal dengan
sebutan Sultan Tirtayasa, Banten berhasil membangun armada dagang dengan
menggunakan model Eropa. Kapal-kapalnya yang menggunakan surat jalannya
melayari jalur-jalur perdagangan Nusantara. Bahkan dengan menjalin hubungan baik
dengan Inggris, Denmark dan Cina, Banten dapat berdagang dengan Persia, India,
Siam, Vitenam, Cina, Filipina, dan Jepang. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa
sampai menjelang akhir abad ke-17, Banten masih mampu melakukan perdagangan
internasional jarak jauh, sekaligus mematahkan ambisi VOC yang ingin memonopoli
perdagangan lada. Seperti halnya Mataram, kerajaan Banten mengalami kemunduran
karena didera konflik dalam negeri, yang kemudian mengundang hadirnya VOC.
Putera Mahkota yang baru naik tahta yang kemudian bergelar Sultan Haji
(1682-1687) ternyata memiliki kebijakan politik yang tidak sejalan dengan ayahnya.Jika ayahnya sangat anti VOC, sebaliknya ia ingin menjalin hubungan dengan kongsi
dagang Belanda itu. Otomatis ayahnya dan para elit politik Muslim militan lainnya
menentang keras kebijakan tersebut. Pertentangan ini akhirnya meledak menjadi
konflik terbuka yang disertai tindakan kekerasan. Pada tahun 1680. Ageng Tirtayasa,
yang masih diakui oleh sebagian masyarakat Banten sebagai sultan, mengumumkan
perang terhadap VOC yang telah menganiaya para pedagang Banten. Sultan Haji
yang kedudukannya terjepit karena dijauhi para elit politik dan elit agama Islam,
akhirnya menerima semua prasyarat yang diajukan VOC sebelum membantunya.
Tuntutan VOC itu antara lain:
(1) semua budak-budak yang lari dari Batavia ke Banten harus dikembalikan
walaupun sudah menjadi Islam,
(2) Semua para perampok yang mengacaukan Batavia harus dihukum dan
VOC diberi ganti rugi,(3) Banten harus menarik kembali dukungannya terhadap para pemberontak
Mataram yang melawan VOC, dan
(4) Banten tidak boleh lagi melakukan hubungan dagang dengan para
pedagang lain, terutama pedagang Eropa, kecuali dengan VOC.
Pada bulan Maret 1682 sebuah armada dibawah pimpinan François Tack
dan Isaac de Saint-Martin berlayar menuju Banten. Pada waktu itu kekuatan Sultan
Haji dalam keadaan kritis, terkepung oleh kekuatan ayahnya. Datangnya bantuan itu
menyelamatkannya dan kemudian dengan bantuan kekuatan VOC Sultan Haji
berbalik mengusir kekuatan ayahnya ke daerah pedalaman. Usia yang cukup tua
rupanya tidak cukup mendukung gerakan Sultan Tirtayasa. Akhirnya pada bulan
Maret 1683 dia bersama Syaikh Yusuf ulama asal Makasar tertangkap. Sultan
Tirtayasa dibawa ke Batavia, sementara Syaikh Yusuf dibuang ke Tanjung Harapan,
Afrika. Tahun 1695 Sultan Tirtayasa meninggal dalam masa tahanannya.
Kemenangan Sultan Haji dengan bantuan VOC ini sekaligus mengakhiri masa
kejayaan dan kemerdekaan Banten.Meskipun Sultan Haji telah menerima semua prasyarat VOC, namun para
pendukung Sultan Tirtayasa masih terus melakukan perlawanan, antara lain dibawah
pimpinan Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang (pewaris tahta Banten yang sempat
dibuang VOC). Serangan-serangannya terhadap kepentingan VOC secara sporadis
sangat menyulitkan VOC seperti terjadi di Selat Sunda, sekitar Bandung, Bogor
(Buitenzorg), dan akhirnya melibatkan diri dalam pemberontakan di Mataram.
Setelah itu dia menghilang beserta pengikutnya.
Dengan takluknya Mataram dan Banten, perdagangan di pulau Jawa praktis
didominasi oleh VOC, terutama yang berkaitan dengan perdagangan internasional.
C.5. Supermasi VOC di Kep. Indonesia bagian Timur
Dalam menghadapi para penguasa-penguasa di kepulauan Indonesia bagian
timur, VOC menjalankan politik dan taktik yang relatif sama dengan yang mereka
praktikan di Jawa. Di kepulauan Maluku misalnya, VOC berusaha melumpuhkan
perlawanan kaum Muslim Hitu di bawah pimpinan Kakiali yang bergelar Kapitein Hitu (semula yang mendapat gelar ini adalah ayahnya yang pro VOC) dengan
berupaya mendekati raja Ternate.
VOC menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Ternate atas Seram dan Hitu
serta menggaji raja Ternate sebesar 4.000 Real Spanyol setahun. Sebagai
imbalannya, Ternate harus menghentikan semua penyelundupan perdagangan
cengkeh dan diserahkan kepada VOC. Perjanjian ini menjadi tidak efektif karena
Kakiali sebagai kapitein Hitu tidak bersedia mengikuti perjanjian itu. Namun ada
satu hal yang menguntungkan VOC, yaitu Malaka telah berhasil mereka kuasai
(1641) sehingga kekuatan lautnya bisa dipusatkan untuk menumpas perlawanan
Kakiali dan kawan-kawannya. Akhirnya VOC berhasil membunuh Kakiali setelah
terlebih dahulu berhasil membujuk seorang kebangsaan Spanyol yang menjadi
pengikut Kakiali. Setelah Kakiali dibunuh, benteng pertahanan kaum Muslim Hitu
berhasil direbut. Meskipun demikian orang-orang Hitu terus melakukan perlawanan
secara sporadis dan berkali-kali membentuk komplotan anti VOC.
Kesempatan VOC untuk menguasai perdagangan di Maluku pun semakin terbuka, sewaktu raja Ternate Mandarsyah dikudeta oleh kalangan istana dan
melarikan diri ke benteng VOC untuk minta bantuan. VOC mengabulkannya dengan
menyodorkan berbagai persyaratan yang sangat menguntungkan VOC, antara lain
mengenai monopili perdagangan cengkeh. Setelah itu sejak tahun 1652 sampai 1658
terjadi peperangan di sekitar Hoamoal yang berakhir dengan kemenangan VOC.
Penduduk Hoamoal yang tersisa yang masih anti VOC dibuang ke Ambon dan
semua tanaman di daerah itu dimusnahkan. Hegemoni VOC di Maluku semakin
lengkap setelah tahun 1663, Spanyol menyerahkan sisa-sisa pos mereka yang berada
di Ternate dan Tidore. Kemudian Spanyol menarik semua kekuatannya ke Filipina.
Setelah Ternate dapat diatasi, untuk sementara waktu Maluku dianggap
‘aman’ oleh VOC, sehingga VOC mempunyai cukup waktu untuk memusatkan
perhatiannya ke Makasar (Gowa-Tallo). Kerajaan ini menjadi satu-satunya kekuatan
maritim di timur yang menjadi saingan VOC. Makasar dinilai oleh VOC menjadi
pusat perdagangan rempah-rempah ‘gelap’ yang membahayakan. Pihak Belanda masih melihat pedagang-pedagang Portugis masih aktif di sana sejak mereka
kehilangan Malaka.
Namun untuk menundukkan Gowa bukan masalah kecil. Seperti juga di
daerah-daerah lain, VOC baru mampu menundukkan lawannya, jika ada suatu
kelompok berpengaruh di kerajaan tersebut yang mau bersekutu dengan pihaknya.
Akhirnya VOC dapat menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, La
Tenriatta to Unru’ (1634-1696), yang terkenal dengan nama Arung Palaka.
Penguasaan Gowa atas kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan lainnya memang
masih memberikan otonomi yang cukup luas bagi penguasa setempat. Namun
bagimanapun tindakan penguasa Gowa atas mereka tetap menimbulkan rasa benci.
Pada tahun 1660 sekitar 10.000 orang Bugis dari Bone (termasuk Arung Palaka)
pernah melakukan pemberontakan, namun gagal. Dari sekian orang yang berhasil
lolos, lalu pergi ke pulau Butung meminta bantuan VOC. Kesempatan ini
dipergunakan dengan baik oleh VOC. Pada tahun 1667 kekuatan gabungana antara
VOC dan Bone berhasil mengalahkan Makasar. Sultan Hasanuddin sebagai Sultan Makasar terpaksa harus menandatangani perjanjian Bongaya (18 November 1667)
yang sangat merugikan, terutama bagi perkembangan ekonomi masyarakat di
Makasar dan Sulawesi Selatan. Sultan Hasanuddin mencoba melawan kembali mulai
bulan April 1668 sampai Juni 1669. Namun kekuatan Makasar kembali mengalami
kekalahan yang lebih menentukan, sehingga Makasar benar-benar harus
melaksanakan perjanjian Bongaya.
Setelah Makasar runtuh, secara teori tidak ada lagi kekuatan maritim di
kepulauan Nusantara yang mampu mangadakan perlawanan terhadap VOC. Akan
tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Sultan Tidore, Jamaludin yang naik tahta
tahun 1757, mulai menunjukkan perlawanan. Ia tidak puas dengan perjanian yang
telah disepakati penguasa Tidore sebelumnya, yang dinilai sangat memberatkan
masyarakat dan pemerintahan Tidore. Ia menolak membayar utang dan pajak-pajak
tertentu. Alasannya penghasilan Tidore sendiri menurun terutama karena gangguan
para bajak laut. Sultan atas desakan putranya Kaicil Syaifudin (lebih dikenal dengan
sebutan Kaicil Nuku) menolak meratifikasi perjanjian yang memberatkan Tidore,terutama bagian yang mengharuskan menyerahkan wilayah Seram ke pihak VOC.
Akibat pembangkangannya itu pada tahun 1779 ia ditangkap dan dibuang ke Sailan.
C.6. Runtuhnya VOC dan Perlawanan ‘Prins Rebel’ Nuku.
Pada dasarnya, sejak tahun 1760-an masa kejayaan VOC sebagai kongsi
dagang dunia sudah mulai meredup. Keterlibatannya dalam berbagai konflik lokal
dan penguasaan teritorial yang semakin luas, membuat keuntungan dagangnya
terkuras. Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merajalela di kalangan para
pejabat VOC, sehingga sejak pertengahan abad ke-18 VOC tidak lagi mengirimkan
keuntungan ke negeri induknya, tetapi sebaliknya, justru mengutang. Akhirnya
pemerintah Belanda mengambil alih semua utang-piutang VOC. Namun sebelum
raja Belanda bertindak, pada bulan Desember 1794-Januari 1795 Perancis menyerbu
Belanda dan memaksa raja Oranje lari ke Inggris.
Sejak tahun 1796 nama VOC sudah tidak ada lagi di Eropa. Namun di Hindia
Timur nama itu diputuskan oleh penguasa baru Belanda untuk tetap dipakai sampai
dengan berakhirnya oktroi VOC sampai bulan Desember 1799. Untuk mengawasi kegiatan di daerah koloni seperti Hindia Timur, kemudian dibentuk Kementrian
Perdagangan Jajahan yang kemudian berubah menjadi Kementrian Urusan Jajahan
(Ministerie van Koloniën).
Dalam ‘masa transisi’ ini, barangkali satu-satunya kerajaan di Nusantara yang
mampu memanfaatkannya adalah Nuku dari Tidore. Sebenarnya perlawanannya
terhadap VOC telah diperlihatkan sejak pertengahan tahun 1798. Pada bulan
Desember 1798 benteng Teluko, Ternate direbut oleh Nuku. Akan tetapi ia terpaksa
menahan kemarahannya terhadap VOC karena ayahnya menasehati agar dia tidak
mengangkat senjata, sebelum berhasil melakukan reorganisasi pemerintahan. Ia pun
terpaksa menahan kegeramannya melihat ayahnya dihukum dan dibuang ke Sailan
pada tahun 1799.
Sikap Nuku berubah setelah VOC secara sewenang-wenang mengangkat
Patra Alam sebagai Sultan Tidore yang baru, yang sekaligus telah melanggar tradisi
dan hukum adat setempat. Patra Alam bukan keturunan Sultan Jamaludin, sultan Tidore yang sah; namun dikenal sangat setia kepada VOC. Secara hukum tradisi dan
hukum adat, Kaicil Nuku lah yang berhak menjadi Sultan Tidore.
Pihak VOC awalnya menilai akan mudah memadamkan perlawanan Nuku.
Ternyata Nuku yang digelari nama Prins Rebel alias Pengeran Pemberontak sangat
cerdik, baik dalam siasat perang maupun diplomasi. Ia dapat memanfaatkan
kekurangan yang ada pada sistem pemerintahan VOC di kepulauan Maluku yang
terdiri dari tiga gubernuran yang masing-masing berpusat di Ternate, Ambon dan
Banda. Ia mampu pula mengadu domba para pejabat VOC. Sebagai contoh Gubernur
Ambon, Bernardus van Pleuren tidak pernah memberi otorisasi atau izin kepada
Gubernur Ternate CarnabÄ› untuk memasuki wilayah Ambon guna mengejar atau
memerangi Nuku di Seram. Bahkan terjadi sesuatu yang aneh, sewaktu CarnabÄ› dan
Patra Alam giat memerangi Nuku, justru van Pleuren mengirim tekstil dan beras
serta sebentuk cincin bertatahan batu Sulaiman kepada musuh besar Kompeni itu.
Selain memecah kekuatan VOC, Nuku juga berhasil menjalin hubungan baik
dengaan EIC, saingan dagang VOC dari Eropa yang masih berdiri tegak di wilayah India sampai Asia Tenggara.
Berkali-kali armada militer CarnabÄ› terkecoh oleh laporan-laporan palsu
yang sengaja disebar luaskan oleh Nuku. Sebaliknya, beberapa wilayah di Maluku
Utara yang semula berada di bawah pengaruh VOC, satu persatu dapat direbut oleh
Nuku dan menyatakan setia kepadanya.
Seperti biasa VOC selalu berusaha mencari orang-orang dari pihak lawan
yang dapat dibelinya, agar menjadi kaki tangannya. Upaya VOC itu memang
berhasil. Salah seorang saudara kandung Nuku yaitu Kaicil Hasan, berhasil
dibujuknya untuk mengkhianati Nuku. Namun siasat dan taktik yang dikembangkan
oleh Nuku berhasil meredam kekuatan para pengkhianat itu.
Nuku diakui oleh para pengikutnya sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sri
Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad Muhamad Aminudin Syah Kaicil
Paparangan. Pada 14 November 1805 yang bertepatan dengan tanggal 21 Syahban
1220 meninggal dunia dalam usia 67 tahun.D. Pembentukan Pemerintahan Kolonial
D.1. Pemerintahan VOC.
Pada masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), gubernur jenderal
merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Ia mempunyai kekuasaan yang nyaris tak
terbatas seperti halnya seorang raja absolut karena tidak ada undang-undang yang
khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya. Demikian pula dengan struktur
pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur juga tidak ditentukan. Salah satu
pasal yang penting dari oktroi VOC adalah hak monopolinya, sehingga dengan
haknya itu VOC merupakan satu-satunya badan dari Belanda yang boleh
mengirimkan kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Dalam melaksanakan pemerintahannya, gubernur jenderal didampingi oleh
Raad van Indië (dalam prinsipnya terdiri atas enam orang anggota dan dua anggota
luar biasa, di mana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua). Laporan-laporan
mengenai aktivitas VOC secara berkala dikirimkan ke dewan Heeren XVII, yang merupakan pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di Amsterdam.
Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak melakukannya
melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah tertentu saja, seperti
Batavia, yang diperintah secara langsung oleh VOC. Dalam sistem seperti ini, kaum
pribumi nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun kaum elit
pribumi terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan
tidak digaji secara tetap oleh kongsi dagang tersebut. Para elit pribumi lebih banyak
diperlakukan sebagai mitra kerja demi kepentingan VOC. Hal ini terlihat jelas di
daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah semacam itu, VOC
membiarkan struktur lama (tradisional) tetap berdiri. Melalui para elit tradisional
inilah kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib
hasil produksi serta pajak-pajak yang dikenal dengan sistem leverantie dan
contingenten (leveransi dan kontingensi).D.2. Masa Peralihan (Proses menuju Hindia Belanda)
Pemerintahan Daendels. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebenarnya VOC
sudah tidak ada sejak tahun 1796. Akan tetapi, baru pada tanggal 1 Januari 1800—
setelah masa berlaku oktroi-nya berakhir—pembubaran VOC secara resmi
diumumkan. Berkenaan dengan hal itu, semua utang-piutang kongsi dagang itu
menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda. Demikian pula dengan daerah
kekuasaannya.
Peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah Belanda sendiri tidak
membawa dampak yang cukup berarti bagi wilayah Hindia Timur. Hal ini antara lain
karena di Negeri Belanda sendiri masih terjadi kekacauan setelah Napoleon
Bonaparte dari Prancis menyingkirkan Raja Willem van Oranje dan mendudukkan
saudaranya, Louis Napoleon, sebagai raja baru Belanda.
Dalam masa perlihan ini, pemerintah Belanda yang baru belum
memperhatikan daerah koloninya sehingga para pejabat di wilayah Hindia Timur
masih dipegang orang-orang lama. Akan tetapi, para pejabat Belanda di Hindia sendiri dilanda kebimbangan setelah adanya surat edaran dari Raja Willem yang
meminta agar wilayah Hindia diserahkan kepada Inggris. Akibatnya, mereka bingung
untuk memilih menuruti perintah raja Belanda yang baru (Louis Napoleon) atau raja
Belanda yang lama (Raja Willem).
Dilema yang dihadapi oleh para pejabat Belanda di Hindia tidak berlangsung
lama karena pada tahun 1808 Louis Napoleon mengirimkan Marsekal Herman
Willem Daendels ke Batavia untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jenderal
Hindia Timur. Daendels (yang berkuasa antara tahun 1808-1811) dapat dikatakan
sebagai Gubernur Jenderal pertama yang mewakili raja Belanda dan sekaligus pula
sebagai pemerintahan kolonial pertama di Hindia (sebagai catatan: VOC merupakan
kongsi dagang yang berada di bawah Heeren XVII). Daendels sendiri dikenal
sebagai sosok pemuja prinsip-prinsip pemerintahan yang revolusioner, perpaduan
antara semangat pembaruan dan metode-metode kediktatoran.Tugas utama Daendels adalah melakukan reorganisasi pemerintahan serta
mempertahankan wilayah ini dari kemungkinan datangnya serangan Inggris.
Sebenarnya, pada saat itu secara militer kondisi tentara kolonial Hindia Timur yang
menggantikan VOC tidak terlalu besar. Sebagai contoh, ketika Daendels tiba di
Jawa, garnisun Belanda di Yogyakarta hanya berjumlah sekitar 89 orang serdadu.
Kebanyakan di antara mereka masih sangat muda atau terlalu tua, dengan disiplin
yang relatif rendah. Sebaliknya, pada saat yang sama Kerajaan Yogyakarta
mempunyai 1.765 orang prajurit reguler, yang sewaktu-waktu dapat ditingkatkan
jumlahnya hingga 100.000 prajurit. Akan tetapi karena kerajaan-kerajaan di Jawa
saling curiga sementara di istana mereka terdapat berbagai intrik dan kepentingan
politik, keunggulan tersebut sama sekali tidak dimanfaatkan untuk membebaskan
dirinya dari cengkeraman Belanda.
Di Yogyakarta Sultan Hamangkubuwono II bertengkar dengan saudarasaudaranya,
terutama Pangeran Natakusuma yang cerdik, cakap, dan berpengaruh di
istana. Kondisi ini diperburuk lagi oleh tindakan Sultan yang mengganti para pejabat
lama dengan orang-orang yang disukainya, walaupun orang itu kurang cakap. Para
mantan pejabat yang dongkol ini kemudian berkomplot dengan sebuah kelompok
istana yang berada di sekeliling putra mahkota.
Pada masa Daendels, pemerintahan di Jawa dipusatkan dan langsung berada
di bawah kekuasaannya. Salah satu tuntutan Daendels yang paling menyakitkan rajaraja
Jawa adalah tututan agar para penguasa di Surakarta dan Yogyakarta
memperlakukan utusan-utusan dari pemerintah Hindia Timur sebagai wakil
pemerintahan Eropa sehingga mereka harus diperlakukan sederajat dengan raja-raja
Jawa sendiri. Tentu saja hal itu merupakan pelanggaran terhadap tradisi yang ada,
yang telah disepakati pula oleh VOC. Pada masa VOC, para utusannya diperlakukan
sebagai duta-duta dari sekutu kepada sekutu lainnya, yang berarti kedudukannya
tidak sederajat dengan raja. Susuhan Pakubuwono IV menerima perubahan ini,
sementara Sultan Hamangkubuwono II menolaknya.Daendels bertindak tegas terhadap pembangkangan ini. Dia datang ke
Yogyakarta dengan membawa 3.200 serdadu (sebagain besar adalah orang pribumi)dan memaksa Sultan Hamangkubuwono II turun dari takhtanya. Kemudian ia
menunjuk putera mahkota sebagai gantinya dengan gelar Sultan Hamangkubuwono
III (1810-1811, 1812-1814). Selain itu, Daendels memperoleh 500.000 gulden
sebagai pampasan dari Yogyakarta.
Sebelum kedatangan Daendels, pasukan Inggris (dalam rangka perang
melawan Napoleon) sebenarnya telah menguasai beberapa wilayah Hindia Timur.
Pada tahun 1795, pasukan Inggris menduduki Padang dan Malaka dan tahun
berikutnya, pasukan Inggris merebut Ambon. Selain itu, armada laut Inggris juga
memblokade Batavia sehingga mengacaukan pendapatan pemerintah Belanda.
Ancaman pasukan Inggris terhadap Pulau Jawa sendiri semakin kuat setelah
pangkalan Perancis di Mauritius jatuh ke pihak mereka pada tahun 1810.
Politik Daendels pada dasarnya hanya memprioritaskan pertahanan di pulau
Jawa. Untuk keperluan mobilitas pasukannya, dia membangun jalan dari Anyer
sampai Panarukan, yang terkenal sebagai jalan pos besar (het grote postweg). Namun
sebelum serangan Inggris tiba, Daendels ditarik ke Eropa dan kedudukannya sebagai
gubernur jenderal digantikan oleh Jan Willem Janssens, yang sebenarnya
mempunyai reputasi buruk dalam peperangan. Ia telah dikalahkan Inggris di Tanjung
Harapan pada tahun 1806.
Pemerintahan Janssens di Hindia hanya bertahan beberapa bulan saja. Pada
Agustus 1811, armada Inggris mendaratkan pasukan di Batavia. Janssens mundur ke
Semarang dan bergabung dengan Legium Mangkunegara dan prajurit-prajurit
Yogyakarta dan Surakarta. Akhirnya, seperti di Tanjung Harapan, pada 18
September 1811, Janssens menyerah kepada pihak Inggris di Kalituntang, Salatiga.
Pemerintahan Raffles. Setelah Janssens menyerah, Gubernur Jenderal Inggris di
India, Lord Minto, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur
Jawa (1811-1816). Pada awalnya, raja-raja Jawa menaruh harapan dan merasa
senang atas perubahan pemerintahan dari Belanda ke Inggris.
Penguasa lokal yang paling antusias menyambut pemerintahan Inggris adalah Hamengkubuwono II. Setelah merebut kembali takhta Kerajaan Yogyakarta dari tangan anaknya, dia memerintahkan untuk membunuh Patih Danureja II.
Hamangkubuwono II berani bertindak demikian, karena menurut penilaiannya,
Raffles sebagai musuh Belanda, tentu akan berpihak kepadanya. Meskipun Raffles
adalah musuh ‘Revolusi Perancis’, namun dia juga seorang ‘liberalis’. Seperti
halnya Daendels, dia membenci sifat-sifat feodalistik yang sangat menonjol dalam
diri Sultan Hamengkubuwono II.
Raffles menganggap Sultan Hamengkubuwono II sangat berbahaya dan sulit
diajak untuk bekerja sama. Posisinya berlainan dengan Pakubuwono IV dan
Mangkunegara yang dinilai lebih supel dan mudah diajak kerja sama. Oleh karena
itu, pada bulan Juni 1812, Raffles mengirimkan pasukan ke Yogyakarta yang terdiri
dari 1.200 prajurit kebangsaan Eropa dan India, yang didukung oleh 800 prajurit
Legiun Mangkunegara. Istana Yogyakarta digempur dan dirampoknya. Perpustakaan
dan arsip-arsip kerajaan dirampas, di samping sejumlah besar uang.
Hamangkubuwono II kembali diturunkan dari tahtanya dan kemudian dibuang ke
Pulau Penang. Kedudukannya digantikan kembali oleh putranya, Sultan
Hamangkubuwono III.
Akan tetapi kemenangan Raffles tersebut menimbulkan perselisihan antara
dirinya dengan sekutu Jawanya, Pakubuwono IV. Penguasa Surakarta yang
menghendaki hancurnya Yogyakarta, kecewa dengan kebijakan yang diambil Raffles
untuk tetap mempertahankan eksistensi Yogyakarta. Kekecewaan itu semakin
bertambah ketika penguasa Inggris mengambil alih tanah-tanah apanase milik
Surakarta serta mengambil alih hak pengelolaan atas cukai lalu lintas dan pasarpasar.
Selama pemerintahannya, Raffles masih sempat memperkenalkan satu sistem
perpajakan baru, khususnya pajak tanah (landrent). Di samping itu, Raffles yang
menyukai sejarah dan budaya, berhasil menulis sebuah buku tentang Jawa yang
berjudul History of Java. Masa pemerintahan Inggris di Hindia Timur tidak
berlangsung lama. Sesuai Perjanjian London bulan Maret 1814 yang disepakati pemerintah Inggris dengan Raja Willem van Oranje dari Belanda, pada tahun 1816
wilayah Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda D.3. Pemerintahan Kolonial Belanda
Setelah Napoleon dikalahkan oleh pasukan koalisi, Willem van Oranje kembali
menjadi raja di negerinya. naik tahta sebagai Souverein vorst (1814), kemudian
sebagai raja (1815). Berdasarkan Groundwet (konstitusi Kerajaan Belanda),
kekuasaan tertinggi atas wilayah jajahan berada di tangan raja. Demikian pula
dengan kekuasaan undang-undang. Staten Generaal (parlemen) sama sekali tidak
diikutsertakan di dalamnya.
Dengan kekuasaannya itu Raja menunjuk tiga orang Commissaris Generaal,
yaitu C.Th. Elout, G.A.G. Ph. Baron van der Capellen, dan A.A. Buyskes, untuk
mengambil alih jajahan Belanda di Asia dari tangan Inggris. Mereka diberikan
kekuasaan besar mewakili Pemerintahan Agung (Raja). Sejak masa Commissaris
Generaal inilah, sebutan Oost Indië, atau Hindia Timur, berganti menjadi
Nederlandsch Oost Indië (Hindia Belanda Timur). Akan tetapi tidak lama kemudian
nama tersebut berubah kembali menjadi Nederlandsch Indië (Hindia Belanda),
seperti terlihat dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1816.
Tugas pokok yang dibebankan kepada van der Capellen dan kawan-kawan
adalah membangun kembali sistem pemerintahan yang baik di Hindia. Tujuannya
agar daerah koloni ini segera dapat memberikan keuntungan kepada negeri induknya,
yang sudah banyak terlibat utang, termasuk utang-utang VOC. Akan tetapi kondisi
politik di Hindia Belanda yang belum sepenuhnya aman sejak ditinggalkan Daendels.
Perlu diketahui bahwa wilayah yang tercakup dalam negara kolonial Hindia
Belanda itu pada awalnya hanya mencakup wilayah-wilayah taklukkan VOC atau
yang diklaim sebagai taklukkan VOC. Kerajaan Aceh, Bangka dan Belitung
misalnya, tidak termasuk Hindia Belanda, karena bukan taklukkan VOC. Akan tetapi
Singapura dan Malaka termasuk Hindia Belanda karena bekas taklukkan VOC.
Namun dalam perkembangannya kemudian wilayah Hindia Belanda mengalami
banyak perubahan.Pada saat Commissaris Generaal memulai tugasnya, ada beberapa daerah
taklukkan VOC yang menyatakan tidak terikat lagi oleh perjanjian dengan VOC
yang telah runtuh. Sikap tersebut secara otomatis menyatakan bahwa mereka juga
tidak terikat dengan negara kolonial Hindia Belanda. Dalam dua dasawarsa pertama
pendirian negara kolonial Hindia Belanda, paling tidak ada tiga perlawanan atau
pemberontakan yang dinilai sangat mengganggu kewibawaannya, yaitu perlawanan
Pattimura di Maluku; perlawanan Diponegoro (de Java oorlog) di Jawa; dan
perlawanan kaum Padri di Sumatera Barat.
Ada pun yang menjadi landasan operasional di Hindia Belanda diatur
berdasarkan Regeering Reglement (Peraturan Pemerintah, disingkat RR). Menurut
peraturan ini, dalam menjalankan tugasnya gubernur jenderal (anggota Commisaris
Generaal) didampingi oleh Raad van Indië yang beranggotakan empat orang.
Gubernur jenderal bersama Raad van Indië inilah yang disebut sebagai
Pemerintahan Agung di Hindia Belanda. Sejak tahun 1816, ada dua instansi yang
membantu pekerjaan Pemerintahan Agung di Batavia ini, yaitu Generale Secretarie
(sekretaris umum) untuk membantu Commisaris General dan Gouvernement
Secretarie (sekretaris pemerintahan) untuk membantu Gubernur Jenderal. Namun
kedua lembaga itu berumur pendek dan dihapuskan pada tahun 1819. Kedudukannya
kemudian digantikan oleh Algemene Secretarie, yang bertugas membantu gubernur
jenderal (terutama memberikan pertimbangan keputusan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, struktur
birokrasi pemerintahan Hindia Belanda sama dengan pemerintahan VOC. Adapun
perbedaan yang cukup mencolok di antara keduanya berkaitan dengan kewenangan
gubernur jenderal. Apabila pada masa VOC tidak ada aturan khusus yang mengatur
kewenangan gubernur jenderal, sehingga dia dapat berimprovisasi sendiri dalam
menjalankan pemerintahannya, maka pada masa Hindia Belanda terdapat peraturan
yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang tertuang dalam RR. Begitu pula
dalam hal pertanggungjawaban, apabila pada masa VOC gubernur jenderal memberikan laporannya kepada Heeren XVII, maka pada masa Hindia Belanda dia
bertanggung jawab langsung kepada raja, melalui menteri jajahan.Dalam tata pemerintahan kolonial, Gubernur Jenderal didampingi oleh
Direksi atau departemen-departemen, yang namanya kemudian menjadi
Departementen van Algemeen Bestuur. Dalam perkembangannya, lembaga ini
seringkali mengalami perubahan, baik dalam susunannya maupun hierarkinya, akibat
keadaan di Hindia Belanda sendiri maupun di Eropa (termasuk Negeri Belanda).
Salah satu peristiwa yang membawa dampak cukup besar pada tata pemerintahan
Hindia Belanda adalah revolusi yang terjadi di Eropa pada tahun 1848. Sejak
revolusi itu, dapat dikatakan bahwa di Eropa Barat tidak ada lagi raja yang berkuasa
mutlak. Sebaliknya, para penguasa itu kini dibatasi oleh konstitusi. Dalam kasus raja
Belanda, kekuasaannya dibatasi oleh Groundswet (konstitusi) tahun 1848.
Penerapan Groundswet 1848 menyebabkan RR di Hindia Belanda berubah
dengan terbitnya RR baru tahun 1864. Berdasarkan RR baru ini, Direksi yang
berada di bawah gubernur jenderal dibubarkan dan diganti dengan departemendepartemen
baru, yang masing-masing berdiri sendiri. Pada tahun 1933, terdapat
enam departemen, yaitu sebagai berikut:
 Departemen van Justitie
 Departemen van Financien
 Departemen van Binenland Bestuur
 Departemen van Onerwijs en Eredeinst
 Departemen Economische Zaken
 Departemen Verkeer en Waterstaat.
Selain keenam departemen sipil di atas, terdapat dua departemen militer, yaitu
departemen peperangan dan marine (angkatan laut). Direktur dari departemendepartemen
sipil diangkat oleh gubernur jenderal sedangkan panglima angkatan darat
dan laut diangkat oleh raja.
Meskipun ada upaya untuk melakukan modernisasi struktur birokrasi
pemerintahan Hindia Belanda, namun dalam batas-batas tertentu struktur politik sebelumnya masih tetap dipertahankan, demi mempertahankan loyalitas, khususnya
loyalitas para elit pribumi. Hal ini terlihat jelas dari struktur dan jabatan dalam
organisasi pemerintahannya. Jabatan-jabatan teritorial di atas tingkat kabupaten tetap dipegang oleh orang-orang Eropa/Belanda. Jabatan tertinggi yang dipegang oleh
orang pribumi adalah kepala kabupaten, yaitu bupati. Bupati ini dibantu oleh seorang
patih. Di bawah tingkat kabupaten terdapat kewedanaan yang dijabat oleh seorang
wedana. Kecamatan, yang dikepalai seorang camat, merupakan wilayah di bawah
kewedanaan. Sedangkan jabatan kepala desa pada dasarnya tidak termasuk dalam
struktur birokrasi pemerintah kolonial sehingga bukan merupakan anggota korp
pegawai dalam negeri Hindia Belanda.
Korps pegawai dalam negeri Hindia Belanda (Departemen van Binnenland
Bestuur), terdiri atas pegawai bangsa Eropa dan pribumi. Korp pegawai Eropa
disebut Eropees bestuur sementara korps pegawai negeri pribumi disebut inland
bestuur. Kedua korp pegawai ini secara umum disebut binnenland bestuur (BB).
Dalam bahasa pribumi BB ini disebut Pangreh Praja (Pemangku Kerajaan). Para
pejabat pribumi inilah yang disebut kaum priyayi, suatu istilah yang sebelumnya
dipakai di kerajaan Jawa.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kepala desa tidak termasuk kategori
priyayi karena tidak termasuk ke dalam barisan BB. Oleh karena itu, kepala desa
tidak diangkat maupun digaji oleh pemerintah. Mereka dipilih langsung oleh rakyat
dan digaji oleh rakyat pula, yaitu melalui tanah desa yang diserahkan kepadanya
selama dia menjadi kepala desa. Tanah jabatan atau tanah gaji ini di beberapa daerah
di Jawa disebut tanah bengkok.
Ketika wilayah Hindia Belanda menjadi lebih luas akibat kebijakan politik
pasifikasi dan pemantapan (pax nederlandica), kebutuhan tenaga kerja untuk
mengelola administrasi negara semakin meningkat. Dalam hal ini tenaga-tenaga
pribumi semakin banyak terserap ke dalam birokrasi pemerintahan. Selain itu,
pengawasan pemerintah pun semakin menukik ke bawah. Meskipun jabatan teritorial
dari tingkat kabupaten ke bawah masih tetap dipegang kaum pribumi, namun dengan
alasan untuk mendampingi para pejabat itu maka diadakan jabatan-jabatan non
teritorial setingkat kabupaten, kewedanaan dan akhirnya juga kecamatan. Apabila di tingkat kabupaten ada jabatan asisten residen, maka untuk tingkat kecamatan ada
jabatan controleur, sementara di bawahnya lagi ada jabatan aspirant control E. Pemerintah Pendudukan Jepang
Kedatangan pasukan Jepang di Indonesia, pada umumnya disambut oleh
masyarakat Indonesia sebagai pahlawan pembebas daripada sebagai pasukan agresor.
Bahkan di beberapa tempat di luar Jawa, tidak sedikit kalang nasionalis pribumi yang
membentuk perlawanan terhadap Belanda menjelang datangnya serangan Jepang. Di
Aceh misalnya, para ulama Islam Aceh yang tergabung dalam “Persatuan Ulamaulama
Seluruh Aceh” (PUSA-dibentuk tahun 1939) di bawah pimpinan Tengku
Mohammad Daud Beureu’eh (1899-1987) telah menghubungi Jepang untuk
membantu serangan Jepang terhadap Belanda. Di Minangkabau, para ulama secara
tidak langsung juga membantu pihak Jepang dan berharap dapat menyaksikan
terdepaknya para penghulu dari kekuasaannya.
Sebagai balasannya, pada awal kekuasaannya, pemerintah Jepang banyak
memberikan keleluasaan kepada kaum pribumi, seperti mengibarkan bendera merah
putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengambil alih tanah-tanah
perkebunan milik pengusaha Belanda. Sedangkan untuk memusnahkan pengaruh
Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris, serta
berupaya memajukan pengajaran bahasa Jepang. Selain itu, kalender Jepang juga
diberlakukan menggantikan kalender Masehi.
Akan tetapi dalam situasi peperangan, Jepang harus memilih prioritasprioritas
tertentu. Mereka cepat melakukan reorganisasi pemerintahan setempat dan
memadamkan benih-benih revolusi yang mucul di beberapa daerah seiring dengan
runtuhnya Hindia Belanda. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Jepang terpaksa
harus bersandar kepada para ambtenar dari masa kolonial Belanda seperti;
uleebalang, di Aceh, penghulu di Sumatera Barat, para raja di Sumatera Timur, dan
kaum priyayi di pulau Jawa.
Sebagai catatan, Jepang telah membentuk tiga tentara wilayah, satu untuk
Birma (Myanmar), dua untuk Indonesia dan Malaya. Tentara ke-14 di Filipina dan Tentara Garnisun di Muangthai langsung di bawah Panglima Tentara Selatan.
Tentara-tentara di wilayah Indonesia disusun sebagai berikut:
1. Pulau Sumatera di bawah Tentara Angkatan Darat (Rikugun) ke-25 yang
bermarkas di Bukittinggi, Sumatera Barat
2. Pulau Jawa dan Madura di bawah Tentara Angkatan Darat ke-16, yang
bermarkas di Jakarta. Kedua wilayah ini berada di bawah komando Angkatan
Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.
3. Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya berada di bawah kekuasaan
Angkatan Laut (Kaigun) Armada Selatan ke-2 yang bermarkas besar di Makasar.
Dengan adanya pembagian ini tidak berarti bahwa di bagian Indonesia Timur
tidak ada pasukan Rikugun. Di Maluku misalnya ditempatkan Tentara ke-19 dan
di Irian Utara ditempatkan Tentara ke-2. Namun berbeda dengan Tentara ke-16
atau ke-25, Tentara angkatan darat di daerah ini tidak mempunyai tugas
administratif, karena tugas itu dipegang oleh angkatan laut.
Pada masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh kepala staf
tentara/armada sebagai seorang gubernur militer (gunseikan). Kantornya disebut
Gunseikanbu. Banyak orang Indonesia yang diangkat menjadi pegawai pemerintah
untuk mengisi tempat yang ditinggalkan oleh pejabat-pejabat Belanda, baik karena
ditawan atau melarikan diri. Kebanyakan dari pejabat baru adalah berkebangsaan
Jepang. Sedangkan bangsa Indonesia yang menjadi pejabat baru bangsa, umumnya
mantan guru, termasuk guru agama Islam. Bahkan Jepang pernah mengangkat
seorang kyai tradisional dari pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi, yaitu Kyai Haji
Ajengan Ahmad Sanusi sebagai wakil residen Bogor. Menurut sejarawan Harry J.
Benda, hal itu merupakan satu fenomena yang menarik, yang belum pernah terjadi
sebelumnya, seorang pribumi menduduki jabatan lebih tinggi dari jabatan bupati
(Benda 1980). Hal ini menunjukkan bahwa Jepang mempunyai harapan khusus
terhadap para ulama Islam, terutama dalam memobilisasi masyarakat Indonesia, yang
diyakininya beragama Islam. Untuk keperluan itulah pada akhir Maret 1942, Jepang
mendirikan sebuah kantor urusan agama (Shumubu) di Jawa.
Meskipun para ulama atau para mantan guru itu dinilai loyalitasnya cukup
tinggi daripada para priyayi, uleebalang atau penghulu, namun umumnya mereka
tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman apa-apa dalam birokrasi pemerintahan. Akhirnya para pejabat lama terpaksa direkrut kembali untuk
menduduki jabatan lamanya.
Kebijakan di antara ketiga wilayah pemerintahan militer itu sangat berbeda.
Umumnya Jawa dianggap sebagai wilayah yang secara politik dinilai paling maju
dan dayanya yang utama adalah manusia. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan
Jepang di wilayah ini dapat membangkitkan kesadaran nasional yang jauh lebih
mantap dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya. Meskipun demikian, secara
ekonomi Jawa nilainya kurang penting, dibandingkan wilayah Sumatera dan
Kalimantan yang kaya akan minyak dan beberapa sumber pertambangan lainnya
yang sangat dibutuhkan industri perang Jepang. Akan tetapi karena pentingnya arti
perkembangan masa depan, maka Jawa mendapat perhatian ilmiah yang lebih besar
daripada pulau-pulau lainnya. Sementara wilayah di bawah angkatan laut, secara
politik dianggap terbelakang walaupun mempunyai arti ekonomi yang tinggi.
Pemerintahan militer di wilayah ini cenderung bersifat sangat menindas
dibandingkan di wilayah Jawa.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintahan Pendudukan Jepang untuk
mencari dukungan sekaligus melibatkan bangsa Indonesia dalam peperangannya
adalah melalui propaganda. Untuk keperluan itu maka pada bulan Agustus 1942
Jepang membentuk Departemen Propaganda (Sendenbu). Secara resmi disebutkan
bahwa lembaga ini merupakan organ yang terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan
Darat. Namun dalam praktiknya lembaga ini selalu dipimpin oleh para perwira
Angkatan Darat, seperti: Kolonel Machida Keiji (Agustus 1942 – Oktober 1943),
Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943 – Maret 1945), dan Kolonel Takanashi
Koryo (April 1945 – Agusyus 1945). Di bawah lembaga ini kemudian dibentuk
“Gerakan Tiga A” di bawah pimpinan Mr. Syamsuddin, kemudian “Poetera” di
bawah “empat serangkai”, dan “Jawa Hokokai” serta “Sumatera Hokokai”.
Organisasi propaganda yang disebut terakhir ini mempunyai alat organisasi sampai
tingkat desa yang disebut tonarigumi (Rukun Tetangga yang berkembang sampai
sekarang). Melalui tonarigumi inilah dilakukan pengorganisasian, mobilisasi,
indoktrinasi dan pelaporan rakyat Jawa atau Sumatera. Sejak bulan Februari 1944,para kepala desa menjalani kursus-kursus indoktrinasi. Melalui tonarigumi pula
terjadi pengerahan para “pahlawan pekerja”, yang lebih dikenal dengan nama
romusha.
Lembaga Sendenbu ini mempunyai 3 seksi, yaitu: (1) Seksi Administrasi, (2)
Seksi Berita dan Pers, dan (3) Seksi Propaganda. Pada tahun 1943 lembaga ini
membantu terbentuknya Keimin Bunka Shidosho (Lembaga Kebudayaan).
Keimin Bunka Shidosho dibentuk pada 1 April 1943. Peresmiannya
dilakukan oleh Gunseikan tanggal 18 April 1943. Dalam kesempatan itu ia
menyebutkan bahwa tujuan Pusat Kebudayaan itu antara lain: (1) menghapus
kebudayaan Barat termasuk faham kesenian yang tidak cocok dengan sikap
ketimuran, (2) membangun kebudayaan Timur untuk dijadikan dasar bagi
memajukan bangsa Asia Timur (Raya), dan (3) menghimpun para seniman untuk
membantu tercapainya kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Untuk
yang disebut terakhir, pemerintah Jepang memenga merekrut para seniman, termasuk
para pelukis. Bahkan menerbitkan karya-karya mereka.
Berdasarkan pernyataan itu, seolah-olah pemerintah Jepang menginginkan
terpeliharanya dan sekaligus berkembangnya kebudayaan asli Indonesia dengan cara
melenyapkan pengaruh Barat. Namun di sisi lain tersirat bahwa Jepang akan
berusaha untuk menanamkan dan menyebarkan seni dan budaya Jepang, terutama
dalam materi pendidikan dan kursus-kursus pelatihan guru (Syotah Kyohin Rensei)
yang didirikan pada bulan Juni 1942. Dalam perkembangannya Pusat Lembaga
Kebudayaan itu juga seperti Volkslectuur di zaman Hindia Belanda, yaitu berfungsi
sebagai alat sensor terhadap karya-karya para seniman Indonesia. Buku-buku yang
diterbitkan oleh lembaga itu hanyalah karya yang sesuai dengan kepentingan perang
Jepang. Beberapa karya mencerminkan hal ini, misalnya karya: A. Kartahadimadja
berjudul “Sebuah Bingkisan” yang dimuat dalam Djawa Baroe. Kemudian karya
Soetomo Djauhar Arifin “Pemuda Pantjaroba” dan karya Karim Halim, “Arus
Mengalir” yang juga dimuat dalam media yang sama.

0 komentar:

Posting Komentar