Kamis, 03 Maret 2016

Perang Kemerdekaan diplomasi

III.2.1. Materi
A.Perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1945-1949
Perjanjian Potsdam (salah satu kota di Jerman) tahun 1945 memberi kekuasan
pada sekutu dalam mengembalikan wilayah-wilayah negara-negara mereka yang
sebelumnya diambil alih oleh negara-negara porors axis (Jerman, Jepang dan Italy).
Berdasarkan perjanjian Potsdam, Belanda yang berkeinginan kembali menguasai
Indonesia, menyatakan bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945 adalah suatu negara “boneka” bentukan Jepang. Belanda menyatakan bahwa rakyat Indonesia sangat menderita waktu dijajah Jepang, sehingga rakyat
Indonesia membenci Jepang dan kolaboratornya (pendukung proklamasi). Rakyat
Indonesia menginginkan untuk segera dibebaskan dari Jepang dan menunggu Tentara
Sekutu untuk membebaskan Indonesia.
Negara sekutu yang dibebani menerima kekuasaan atas Indonesia berdasarkan
perjanjian Potsdam adalah Inggris. Gambaran Indonesia yang diberikan oleh Belanda
mengenai kebencian rakyat Indonesia terhadap Jepang dan kolaboratornya ternyata
tidak terbukti. Ketika Inggris tiba di Indonesia (di Jakarta pada 29 September 1945)
justru melihat bahwa rakyat Indonesia mengibarkan merah putih di mana-mana dan
sangat mendukung Soekarno (menurut Belanda adalah kolaborator Jepang). Rakyat
Indonesia bahkan menentang rencana kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia.
Melihat fenomena yang terjadi di Indonesia, Panglima Sekutu untuk Asia
Tenggara Admiral Mountbaten memutuskan bahwa kewajiban sekutu di Indonesia
hanya dilaksanakan di daerah-daerah kota pantai saja. Letjen Christison, panglima
sekutu di Indonesia kemudian berunding dengan pihak Indonesia mengeluarkan suatu
pernyataan:
The Republic of Indonesia will not be expelled and will be expected to
continue those civil administration in this area outside those occupied by
Bristish Forces. We intend to see the leaders of various movements and shall
tell them what we are coming for. I intend to bring Dutch representatives and
Indonesian leaders together at a round table conference which the Dutch have
steadfastly refused to do hiterto.1
Indonesia menganggap pernyataan di atas sebagai pengakuan de fakto atas
kemerdekaan Indonesia. Apalagi Letjen Christison menegaskan bahwa sekutu
(Inggris) tidak akan mencampuri urusan yang menyangkut status kenegaraan
Indonesia. Pernyataan Letjen Christison tersebut bernuansa politis, sebab situasi dan
kondisi yang dihadapi oleh tentara Inggris di Indonesia dalam posisi yang terjepit.
Antara kepentingan Belanda dan kenyataan yang dihadapi bahwa Indonesia setelah
memproklamasikan kemerdekaannya. Tentara Inggris memandang bahwa yang paling
aman bagi tentara Inggris untuk bertugas di Indonesia dalam melucuti tentara Jepang
adalah bekerjasama dengan pihak Indonesia.Pernyataan Letjen Christison tersebut menyebabkan kedatangan sekutu ke
Indonesia diterima oleh pejabat-pejabat Indonesia yang menghormati sekutu. Letjen
Christison bertemu dengan Soekarno pada 25 Oktober 1945. Pada pertemuan tersebut
Presiden Soekarno menyatakan bahwa Indonesia bersedia berunding dengan pihakpihak
yang berkepentingan atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Sementara pada pihak lain, Belanda mengajukan protes kepada Pemerintah
Inggris di London atas tindakan Mountbatten dan Christison yang hakekatnya berarti
memberi pengakuan de fakto kepada Indonesia. Sikap Belanda tersebut disampaikan
berdasarkan alasan bahwa antara Belanda dan Inggris terdapat perjanjian “Civil
Affairs Agreement”. Perjanjian tersebut berisi bahwa tentara Inggris akan memegang
kekuasaan di Indonesia atas nama Pemerintah Belanda dan kemudian kekuasaan itu
akan diserahkan kepada Kerajaan Belanda.
Belanda tidak memahami kondisi yang dihadapi tentara Inggris di Indonesia.
Pasukan Belanda sering mengadakan patroli dengan alasan mengamankan situasi dari
“gerombolan penjahat”. Akan tetapi, patroli tersebut pada dasarnya untuk mencari
pejuang-pejuang Indonesia. Sehingga patroli Belanda sering menggeledah rumahrumah
rakyat Indonesia tanpa alasan yang jelas, menyeret beberapa anggota keluarga
atau seluruhnya. Aktivitas Belanda tersebut dimaksudkan untuk memancing keributan
dengan rakyat Indonesia sehingga Inggris akan menambah kekuatan tentaranya di
Indonesia.
Aktivitas Belanda tersebut menimbulkan spontanitas di kalangan pemuda
Indonesia untuk memberikan perlawanan. Pada 29 Agustus 1945, Pemerintah
Indonesia mulai mengorganisasi suatu angkatan perang. Berdasarkan unit-unit Peta
(pembela tanah air) yang dipersenjatai dan dari jenjang beberapa organisasi pemuda
dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang bermarkas di Jakarta. Unsur
pokok BKR merupakan unit-unit yang otonom, yang berbasis pada wilayah dan
sangat tergantung dari kuat dan tidaknya tingkat pengawasan dari pusat. Sejak 5
Oktober 1945 nama BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Unitunit
yang menjadi unsur pokok kemudian diawasi secara lebih ketat meskipun kurang
efektif. Unit-unit yang otonom tersebut secara spontan melibatkan diri dalam perlawanan terhadap Belanda. Bersamaan dengan perlawanan terhadap Belanda, unitunit
otonom tersebut berupaya mengusir orang Jepang dan merebut senjatanya.
Melihat situasi tersebut tentara Sekutu berupaya memulihkan keamanan dan
ketertiban di bawah kekuasaan Inggris di kota-kota besar dan pelabuhan-pelabuhan di
Jawa dan Sumatera. Sekutu bahkan menggunakan tentara Jepang untuk menyerang
dan merebut kembali kota-kota yang telah dikuasai unit-unit pejuang Indonesia.
Dengan dipakainya tentara Jepang, telah menghadapkan pejuang-pejuang Indonesia
kepada tentara Belanda, Sekutu, dan Jepang sekaligus. Kebijakan sekutu juga telah
memperkuat dugaan bahwa Indonesia akan diserahkan kepada Belanda setelah situasi
aman. Pertempuran meluas hampir di seluruh pulau Jawa, Sumatera, dan Bali.
Pertempuran pada paruh pertama bulan Nopember di Surabaya memperlihatkan
semangat keberanian dan pantang menyerah bangsa Indonesia. Pertempuran
selama sepuluh hari terjadi antara pejuang-pejuang Indonesia yang terdiri dari para
pemuda berjuang dengan pasukan sekutu (Inggris dan India). Pertempuran tersebut
banyak memakan korban jiwa dari para pejuang Indonesia. Dengan persenjataan
lengkap seperti pesawat terbang dan meriam, sekutu akhirnya berhasil menguasai
kota Surabaya. Meskipun demikian sekutu mulai menyadari bahwa kemerdekaan
Indonesia didukung oleh rakyat Indonesia secara aktif.
Pertempuran-pertempuran yang terjadi menyebabkan munculnya dua pilihan
bagi sekutu, pertama, mereka harus mendatangkan pasukan-pasukan yang lebih besar
apabila ingin tetap mempertahankan kebijakannya terhadap Indonesia. Kedua,
meninggalkan kebijakan-kebijakannya terhadap Indonesia. Inggris juga mulai
memperlihatkan ketidaksenangan mereka terhadap Belanda yang tidak mau mengadakan
perundingan dengan Indonesia.
Pertempuran-pertempuran antara pihak pejuang kemerdekaan Indonesia dan
pihak sekutu beserta Belanda terus berlangsung, meskipun sejak tahun 1946 Belanda
pada akhirnya bersedia melakukan perundingan dengan pihak Indonesia.
Pertempuran-pertempuran dengan intensitas yang berkurang dibandingkan sepuluh
mingu terakhir pada akhir tahun 1945. Di pulau Jawa dan Sumatera, Inggris
kemudian diikuti oleh Belanda membatasi ruang operasinya hanya pada daerahdaerah
yang mereka kuasai sekitar Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya,Padang, Medan, dan Palembang. Di beberapa wilayah lainnya, pasukan Australia
telah berhasil melucuti Jepang dan kemudian diambil alih oleh Belanda. Wilayahwilayah
tersebut antara lain Kalimantan, Sulawesi Selatan, Maluku dan Sunda Kecil.
Sementara itu di Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat Daya pertempuran
antara pihak Indonesia dan Belanda berjalan terus. Di Sulawesi Barat Daya, karena
kekuatan pihak Indonesia yang cukup kuat, maka Belanda mendatangkan Kapten
Raymond Westerling untuk menumpas perjuangan pihak Indonesia. Westerling
merupakan suatu sejarah kekejaman Belanda di Indonesia. Menurut pihak Indonesia
Westerling telah membantai 30.000 orang sementara menurut sumber tidak resmi
militer Belanda dinyatakan telah membunuh 3.000 orang. Di Sulawesi Utara
perlawan terhadap Belanda dilakukan oleh serdadu-serdadu KNIl yang membelot.
Pertempuran-pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan antara tahun
1945-1949 berpengaruh terhadap perundingan-perundingan pihak Indonesia dan
Belanda. Ada beberapa periode yang dapat dikatakan bahwa pertempuran relatif
berhenti, yaitu pada beberapa bulan sebelum pasukan Inggris menarik diri pada tahun
akhir November 1946, satu dua bulan setelah perjanjian Linggarjati. Di luar periode
damai tersebut, pertempuran-pertempuran tetap terjadi.
B. Menuju Perundingan
Alasan Belanda menolak untuk mengadakan kontak dengan pihak Indonesia
karena menganggap bahwa pihak yang berkuasa di Indonesia adalah kolaborator
Jepang. Untuk itu Esler Dening, penasehat Laksamana Mounbattten, memberitahu
Soekarno bahwa di mata Sekutu kabinet Soekarno tidak dapat diterima untuk
berunding dengan Belanda karena Soekarno dianggap sebagai kolaborator Jepang.
Suatu perubahan kepemimpinan sangat diperlukan agar wakil Indonesia akan dilihat
sebagai orang-orang yang tidak mempunyai kaitan dengan Jepang.
Tokoh yang dianggap paling tepat sesuai dengan nasehat Esler Dening adalah
Sutan Sjahrir. Seorang yang dikenal anti fasis dan aktif dalam perlawanan bawah
tanah terhadap penjajahan Jepang. Mengingat hal itu, maka kemudian Soekarno
menunjuk Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan melantiknya pada 14 Nopember 1945.
Kebijakan Soekarno tersebut mendatangkan hasil, setelah dilantik menjadi
Perdana Menteri, pada 17 Nopember 1945 Sjahrir mulai melakukan pertemuan
dengan pihak Belanda yang dihadiri oleh pihak Inggris. Dalam perundingan tersebut
pihak Indonesia meminta agar perundingan-perundingan selanjutnya dengan Belanda
ditengahi oleh Inggris2. Untuk itu pemerintah Inggris menunjuk Sir Archibald Clark
Kerr sebagai ketua dalam perundingan Indonesia-Belanda.
Pada pertemuan dengan pihak Belanda pada 10 Februari 1946, van Mook dari
pihak Belanda menyampai rencananya kepada Sjahrir mengenai persemakmuran
Indonesia yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai
tingkat. Negara persemakmuran tersebut akan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu yang terbatas, setelah itu anggota dalam
Kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerja
sama yang bersifat sukarela atau tidak sama sekali.
Setelah terbentuk Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usul balasan yang
terdiri dari:
a. Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas
wilayah bekas Hindia-Belanda.
b. Pinjaman-pinjaman Belanda sebelum tanggal 8 Maret 1942 menjadi
tanggungan pemerintah Republik Indonesia.
c. Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu, dan
mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu
badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
d. Tentara Belanda segera ditarik dari Indonesia dan jika perlu diganti oleh
Tentara Republik Indonesia.
e. Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk dapat
diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-bangsa.
f. Selama perundingan berlangsung, semua aksi militer harus dihentikan dan
pihak Republik akan melakukan pengawasan terhadap pengungsian
tawanan-tawanan Belanda dan interniran lainnya3.
Pihak Belanda menolak usul dari pihak Indonesia. Van Mook secara pribadi
kemudian mengusulkan Republik Indonesia diakui sebagai wakil Jawa untuk
mengadakan kerjasama dalam rangka pembentukan negara federal yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Wakil semua bagian Hindia Belanda dan wakil semua
golongan minoritas akan berkumpul untuk menetapkan struktur negara Indonesia di
masa depan. Selanjutnya tentara Belanda akan menggantikan tentara Serikat.
Pada akhir Maret 1946, Sjahrir memberikan jawaban yang meminta Belanda
mengakui kedaulatan de fakto Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatra serta
meminta kerjasama dalam membentuk RIS.
Permintaan atau usul Sjahrir tersebut nampaknya sesuai dengan keinginan
Belanda, sehingga kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perundingan
lanjutan. Pada pertemuan Sjahrir dan van Mook tanggal 30 Maret 1946, van Mook
menegaskan kembali bahwa usulan-usulannya dalam beberapa kali pertemuan dengan
Sjahrir merupakan gagasannya secara pribadi dan tidak mendapat mandat dari
pemerintah Belanda. Kemudian van Mook menyatakan bahwa hasil-hasil
pertemuannya dengan Sjahrir yang mewakili pihak Republik Indonesia akan
dilaporkan kepada pemerintah Belanda.
Pada 14 – 24 April 1946 terjadi pertemuan yang merupakan kontak pertama
secara resmi antara Indonesia-Belanda. Pertemuan tersebut terjadi di Hoge Veluwe,
Belanda dengan disaksikan oleh wakil Inggris Sir Archibald Clrak Kerr. Utusan
Indonesia ke perundingan Hoge Veluwe adalah Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr.
Abdul Karim Pringgodigdo, sementara delegasi Belanda terdiri dari Dr. Van Mook,
Prof.Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Asbeck, Sultan Hamid II dari
Pontianak, dan Surio Santoso.
Dalam pertemuan tersebut pihak Belanda menyatakan akan mengakui
kedaulatan Indonesia dalam pengertian masih berada di lingkungan Kerajaan
Belanda. Wilayah Indonesia yang akan diakui adalah wilayah di luar daerah-daerah
yang telah dikuasai Belanda seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung.
Sikap pihak Belanda tersebut tentu saja membuat kecewa pihak Indonesia.
Perundingan Hoge Veluwe gagal mencapai kesepakatan disebakan oleh
kondisi dalam negeri masing-masing. Di Belanda, pemerintah Belanda kurang
mendukung perundingan tersebut disebabkan sedang menghadapi pemilihan umum.
Sementara di Indonesia, terdapat kelompok-kelompok yang menentang perundingantersebut. Bahkan Sjahrir diculik oleh kelompok yang menentang perundingan
tersebut. Sehingga kabinet Sjahrir II jatuh.
Pada 2 Oktober 1946 Sjahrir kembali ditunjuk menjadi perdana menteri dan
membentuk Kabinet Sjahrir III. Kabinet tersebut diberi mandat oleh Presiden untuk
mewujudkan Indonesia merdeka penuh. Sjahrir kemudian membentuk suatu delegasi
untuk berunding dengan Belanda yang terdiri dari Sjahrir, Amir Syarifudin, Moh
Roem, A.K. Gani, Leimena, Sudarsono, Susanto, dan Ali Budiardjo sebagai
sekretaris. Di Belanda situasinya mengalami perubahan, karena perdana menteri
Schermerhon diganti oleh I.J.M. Beel. Perdana menteri yang baru kemudian
membentuk suatu Komisi Jendral (Commisie-General) yang terdiri dari Schermerhon,
van Pol, de Boer, dan Sanders sebagai sekjen. Wakil khusus Inggris untuk Asia
Tenggara, Lord Inverchapel juga diganti oleh Lord Killearn.
Pada 30 September 1946 Lord Killearn mengadakan pertemuan informal
dengan Sjahrir, Schermerhon dan Wright (wakil Killearn). Dalam pertemuan tersebut
Schermerhon menjelaskan mengenai tujuan komisi jendral secara garis besar dan halhal
mengenai perundingan. Sementara Sjahrir mengusulkan agar dalam perundingan
selanjutnya pihak Indonesia dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Tanpa diduga usul Sjahrir
tersebut disetujui oleh Schermerhon. Dengan demikian dapat dilihat adanya suatu
perubahan pandangan dalam pemerintah Belanda, Soekarno-Hatta tidak dianggap lagi
sebagai wakil kolaborator Jepang. Melainkan sebagai pihak dari pemerintahan
Indonesia yang mandiri. Bukan dari negara “boneka” Jepang.
Disetujuinya Soekarno - Hatta sebagai pimpinan delegasi Indonesia secara
langsung juga memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia
adalah sebuah negara yang resmi. Hal itu dilihat dari sudut pandang persyaratan
sebuah negara, yaitu memiliki wilayah tertentu, pemerintahan yang nyata yang
dipimpin oleh seorang kepala negara, kabinet dengan perdana menterinya, adanya
badan legislatif (dalam hal ini di Indonesia adalah KNIP), dan adanya tentara
reguler4. Sebelum perundingan politik dimulai semua pihak setuju untuk mengadakan
gencatan senjata.Pada 7 Oktober 1946, secara formal delegasi Belanda dan delegasi Indonesia
melanjutkan perundingan kembali. Delegasi Indonesia masih dipimpin oleh Sjahrir
dengan anggota-anggotanya terdiri dari Moh Roem, Susanto, A.K. Gani, Amir
Syarifudin, Leimena, dan Sudarsono. Delegasi Belanda terdiri dari anggota-anggota
komisi jendral, van Mook dan Idenburg. Kedua delegasi sepakat untuk mengadakan
gencatan senjata sebelum perundingan dimulai. Kesepakatan tersebut ditandatangai
pada 7 Oktober 1946 di Jakarta.
Setelah masalah gencatan senjata terselesaikan, kemudian dilaksanakan
perundingan-perundingan politik yang berlangsung selama empat kali di Jakarta.
Perundingan tersebut secara bergantian mengambil tempat di kedua belah pihak.
Apabila pihak Belanda menjadi tuan rumah maka dipakai Istana Rijswijk (sekarang
istana negara), sebagai pemimpin sidang adalah pihak Indonesia. Sementara apabila
pihak Indonesia menjadi tuan rumah maka dipakai kediaman Sjahrir di jalan
Pengangsaan Timur No 56 (sekarang Jl Proklamasi), sebagai pimpinan sidang adalah
pihak Belanda. Perundingan yang terakhir berlangsung pada 5 Nopember 1946.
Sebagai landasan perundingan dipakai rancangan persetujuan yang merupakan
gabungan antara rancangan Delegasi Indonesia dan Delegasi Belanda.
Untuk perundingan selanjutnya, atas saran Maria Ulfa yang saat itu menjabat
menteri sosial yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat, dipilih tempat di desa
Linggarjati yang memiliki tempat peristirahatan yang tenang namun tidak jauh dari
Jakarta.
Perundingan Linggarjati dimulai pada 11 November 1946, masing-masing
pihak yang berunding berupaya mempertahankan pendapatnya. Ada dua masalah
yang tidak mencapai titik temu, yaitu mengenai Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri dan soal kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Persoalan pertama diajukan
Indonesia sebagai upaya untuk mendesak Belanda mengakui Republik Indonesia
secara de fakto. Belanda menolak usulan tersebut dengan alasan bahwa pengakuan
tersebut akan membuat Indonesia dan Belanda sejajar dalam hukum internasional.
Soal kedua pun tidak mencapai kata sepakat karena delegasi Belanda menolak
pencantuman kalimat Negara Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka.
Pada 12 Nopember malam, setelah perundingan formal hari itu berakhir,
Presiden Soekarno mengundang delegasi Belanda untuk berkunjung ke kota
Kuningan. Delegasi Belanda menyambut undangan tersebut. Dalam pertemuan
malam itu delegasi Indonesia dihadiri oleh Soekarno, Moh Hatta, A.K.Gani, dan
Amir Syarifudin. Sjahrir karena merasa kelelahan setelah seharian bersidang tidak
hadir dalam pertemuan tersebut dan memilih untuk beristirahat. Selain itu, Sjahrir
memandang bahwa pertemuan tersebut hanya bersifat seremonial saja. Ternyata
dalam pertemuan malam itu terjadi kesepakatan antara utusan Belanda dan Indonesia.
Pada awalnya Soekarno menanyakan kepada van Mook mengenai jalannya
perundingan. Van Mook kemudian menjelaskan bahwa hanya satu hal saja yang
belum tercapai yaitu mengenai usul delegasi Indonesia untuk mengubah kata
“merdeka” di belakang kata Negara Indonesia Serikat menjadi “berdaulat”. Satu hal
penting lainnya yang tidak dikemukakan oleh van Mook adalah mengenai usulan
Indonesia tentang perwakilan Indonesia di luar negeri.
Pada kesempatan itu, van Mook kemudian menanyakan kepada Presiden
Soekarno apakah dengan diterimanya perubahan kata “merdeka” menjadi “berdaulat”
presiden dapat menyetujui rancangan perjanjian seluruhnya. Presiden Soekarno
dengan antusias menyetujui untuk menerima perjanjian secara menyeluruh dengan
mengesampingkan usul perwakilan Indonesia di luar negeri. Hal itu dimungkinkan
karena presiden tidak menerima informasi mengenai perundingan secara lengkap.
Setelah mendapat laporan dari A.K. Gani dan Amir Syarifudin mengenai
pertemuan malam itu, Sjahrir sangat kecewa. Akan tetapi, Sjahrir harus tunduk
kepada keputusan Presiden Soekarno. Oleh karena itu, saat Schermerhon datang dan
mengusulkan untuk mengadakan rapat pleno yang diketuai oleh Killearn, Sjahrir
menyetujuinya. Rapat pleno kemudian diadakan pada pukul 10.30 malam dan kedua
delegasi dinyatakan telah mencapai kesepakatan.
Pada 13 Nopember 1946 diadakan pertemuan kembali antara Indonesia dan
Belanda. Dalam pertemuan tersebut, atas permintaan Soekarno, Sjahrir mengusulkan
agar dibentuk badan arbitrase untuk menengahi permasalahan Indonesia dan Belanda.
Usul tersebut disetujui oleh delegasi Belanda pada pertemuan selanjutnya yang
berlansung tanggal 15 Nopember 1946 di Istana Rijswijk. Pada pertemuan tersebut
naskah hasil perundingan di Linggarjati dalam bahasa Belanda diparaf oleh kedua
delegasi. Pada pertemuan 18 Nopember 1946 bertempat di rumah Sjahrir diparaf
naskah Linggarjati dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Pokok-pokok perjanjian Linggarjati adalah;
a. Belanda mengakui kekuasaan de fakto Republik Indonesia yang meliputi
wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra.
b. Belanda dan Indonesia sepakat untuk mendirikan negara Federasi bernama
Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari Republik Indonesia, Negara
Kalimantan dan Indonesia Timur.
c. Belanda dan Indonesia mendirikan Uni Indonesia-Belanda yang diketuai
oleh Ratu Belanda.
d. RIS akan dibentuk selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949 dan Uni akan
membentuk organ-organnya sendiri yang mengurus kepentingan bersama
dalam bidang-bidang pertahanan, hubungan luar negeri serta ekonomi dan
keuangan.
e. Kedua pihak akan mengurangi kekuatan masing-masing dan pasukan
Belanda secara berangsur ditarik dari wilayah RI yang masih diduduki.
f. RI akan mengakui tuntutan bangsa asing untuk memperoleh ganti rugi
atau mempertahankan hak milik mereka di daerah-daerah yang dikuasai
RI.
Persetujuan Linggarjati pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip dasar
untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda yang pada akhirnya ditandatangani
kedua delegasi pada 25 Maret 1947.
Meskipun sudah diambil kata sepakat, kedua belah pihak memiliki penafsiran
berbeda atas isi perjanjian Linggarjati. Pihak Indonesia memandang tidak perlu
melakukan suatu tindakan apapun yang berhubungan dengan kedaulatannya
menjelang terbentuknya RIS. Dalam pandangan Indonesia Uni Indonesia-Belanda
tidak mempunyai kekuatan nyata yang memungkinkan untuk membuat keputusan
yang menyangkut kewenangan, Pemerintah RI dan Ratu Belanda hanyalah sebagai
lambang. Kedaulatan RIS dan Belanda tetap berada di tangan masing-masing.
Sementara itu, pihak Belanda berpendapat bahwa dengan persetujuan tersebut
RI mengakui kedaulatan Belanda di seluruh wilayah RI sampai terbentuknya RIS
pada 1 Januari 1949. Sebelum RIS terbentuk Indonesia akan diperintah oleh
pemerintah peralihan dan Uni Indonesia-Belanda akan merupakan suatu Uni yang
mempunyai kekuatan nyata yang mempunyai kekuasaan seperti “super state” atas
kepentingan bersama.
Pada 27 Mei 1947, Pemerintah Belanda menyampaikan nota kepada RI yang
berisi:
a. Menjelang terbentuknya RIS, Indonesia akan diperintah oleh sebuah
“Pemerintah Peralihan” dimana wakil Mahkota Belanda akan mempunyai
suara menentukan.
b. Salah satu wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah Peralihan adalah
penguasaan tentang soal ekspor/impor dan devisa seluruh Indonesia.
c. Selama masa peralihan, RI-Belanda membentuk suatu “gendermerie”
bersama yang terdiri dari pasukan Belanda dan Indonesia untuk menjaga
keamanan di seluruh Indonesia termasuk daerah keuasaan RI.
Pemerintah RI menilai bahwa nota tersebut sebagai ultimatum Belanda, dan
menafsirkan bahwa RI hendak dijadikan sebagai salah satu negara bagian yang sama
sekali tidak berdaulat dalam RIS. Didorong untuk menyelesaikan masalah dengan
jalan damai dan kompromi, maka nota Pemerintah Belanda tersebut dijawab oleh PM
Sjahrir dengan konsesi-konsesi berupa pengakuan kedaulatan Belanda selama masa
peralihan dan kesediaan menerima kedudukan wakil Mahkota Belanda yang
mempunyai hak memutuskan dalam masa peralihan tersebut.
Sikap Sjahrir mendapat serangan dari Komite Nasional Indonesia Pusat,
sehingga Sjahrir menyerahkan kabinetnya kembali kepada Presiden Soekarno. Dua
hari setelah pemerintahan Sjahrir meletakkan jabatan, Amerika Serikat
menyampaikan suatu gagasan dalam bentuk memoire kepada pemerintah Indonesia.
Gagasan dalam memoire tersebut adalah untuk membentuk pemerintah peralihan dan
mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan. Pesan atau gagasan dari
Amerika Serikat tersebut sejalan dengan keinginan Belanda. Hal itu dapat dipahami
karena Belanda adalah anggota NATO yang dimotori Amerika Serikat. Keberadaan
Belanda dalam NATO dibutuhkan Amerika Serikat guna mengimbangi Uni Soviet
yang menggalang negara-negara komunis.
Selain melalui perundingan, Belanda pun menginginkan pengunaan kekuatan
militernya untuk menggagalkan kemerdekaan Indonesia. Dengan keluarnya pasukan
Inggris dari Indonesia pada 30 November 1946, Belanda merasa semakin kuat
kedudukkannya. Sejumlah 160.000 pasukannya yang terlatih, telah dipersiapkannya
untuk memasuki wilayah Indonesia. Sebagian pasukan tersebut telah melakukan
latihan-latihan dan persiapan di Malaysia dengan mempergunakan fasilitas Inggris.
Amir Sjarifudin sebagai pengganti Sjahrir yang menghadapi situasi sulit
kemudian melakukan konsesi-konsesi yang lebih jauh lagi. Amir Sjarifudin
menyatakan persetujuannya untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa
peralihan, mengakui hak wakil mahkota Belanda untuk memutuskan, serta hubungan
luar negeri yang disesuaikan dengan prinsip gendermarie bersama dimana akan
dibentuk sebuah direktorat yang berada dalam satu kepemimpinan. Akan tetapi
konsesi dari Indonesia melalui Amir Sjarifudin yang oleh pihak Indonesia dipandang
terlalu banyak mengalah, justru disikapi kekecewaan Belanda. Pihak Belanda
menginginkan adanya gendermarie (gencatan senjata) yang berhak melakukan
tindakannya di seluruh Indonesia termasuk wilayah Republik Indonesia.
Keinginan Belanda tersebut mendapat penolakan dari pihak Indonesia,
sehingga Belanda melakukan agresi militer pada 21 Juli 1947. Belanda tidak
menyebut serangannya ke Indonesia sebagai agresi, melainkan “aksi polisionil” untuk
mencitrakan bahwa serangan yang mereka lakukan adalah suatu tindakan
pengamanan di dalam negeri untuk menghadapi para “pengacau keamanan”.
Di dalam negeri sendiri terdapat pro dan kontra mengenai perjanjian
Linggarjati, terutama mengenai sikap Indonesia yang banyak memberikan konsesi
dianggap banyak merugikan kedudukan Indonesia. Akan tetapi, tidak dapat
dipungkiri bahwa perjanjian tersebut telah memaksa Belanda untuk duduk sejajar
dalam perundingan untuk pertamakali dengan Indonesia. Secara langsung maupun
tidak langsung Pemerintah Belanda mengakui de fakto eksistensi kedaulatan
Republik Indonesia.
Indonesia pada saat yang bersamaan tetap melakukan perluasan hubungan
dengan negara-negara lain. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dunia
internasional. Secara khusus, perdana menteri Sjahrir mengintruksikan kepada
perwakilan Republik Indonesia di Amerika Serikat yang dipimpin oleh Soemitro
Djojohadikusumo, Charles Tambu, Sultan Hamzah, dan Soedjatmoko agar
menandingi propaganda Belanda dan bersiap untuk melobi Dewan Keamanan PBB
agar melakukan persidangan apabila Belanda melakukan agresi militer.5
Di Singapura sejak permulaan tahun 1947 telah didirikan suatu perwakilan
tetap RI yang diketuai oleh Mr. Utoyo. Singapura pada saat itu memegang peran yang
sangat penting dalam strategi perjuangan Republik Indonesia, baik secara militer,
politik, dan ekonomi. Adanya masyarakat Indonesia atau orang-orang asal Indonesia
yang berjumlah besar membuka pintu untuk menggunakan Singapura sebagai pangkalan
utama pemerintahan Republik Indonesia di luar negeri dalam mendapatkan
dana perjuangan.6
Indonesia juga menjalin hubungan dengan India dimulai paling tidak sejak
April 1946, ketika Sjahrir menawarkan untuk memberikan beras yang saat itu sedang
dibutuhkan oleh rakyat India. Selain rasa kemanusiaan, tawaran tersebut sebetulnya
mempunyai makna politis. Dengan diterimanya tawaran Indonesia, maka India dipandang
mengakui eksistensi Republik Indonesia.
Hubungan dengan India semakin kokoh dengan adanya undangan Pandit
Jawaharal Nehru kepada Sjahrir untuk menghadiri sidang Inter-Asian Relations
Conference. Konferensi tersebut berlangsung pada 23 Maret sampai 1 April 1947 dan
merupakan suatu konferensi Asia pertama. Arti Inter-Asian Relations Conference
sangat penting bagi Indonesia karena dihadiri oleh bangsa-bangsa di Asia. Republik
Indonesia mengirimkan suatu delegasi yang besar yang terdiri dari tigapuluh orang,
dengan ketua Abu Hanifah. Sjahrir bersama Agus Salim turut serta menghadiri
konferensi. Pada kesempatan konferensi itu anggota-anggota delegasi Republik
Indonesia melobi bangsa-bangsa di Asia untuk membantu perjuangan Indonesia
apabila Belanda melakukan agresi.7
Sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk Islam, Republik Indonesia pun
mencari dukungan dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Untuk itu, Agus Salim setelah menghadiri konferensi di India kemudian melanjutkan
perjalanan ke negara-negara Arab. Hasil dari perjalanan tersebut beberapa negara
Arab mengakui pemerintahan Republik Indonesia tanpa dibatasi oleh peraturanperaturan
persetujuan Linggarjati. Negara-negara tersebut adalah Mesir, Irak, Syria,
Lebanon, Saudi Arabia, Afghanistan, dan Yaman.
Akibat dari kesuksesan misi diplomasi Indonesia, hubungan Republik
Indonesia dan Belanda menjadi buruk. Hubungan buruk itu ditandai dengan sering
terjadinya insiden bersenjata. Untuk menghindari konfrontasi militer, Sjahrir
kemudian memberikan konsensi-konsensi kepada Belanda.
C. Perjanjian Roem Royen
Dalam pandangan Belanda, persetujuan Renville telah mengalami kegagalan
karena Moh Hatta dianggap telah menarik kembali janjinya kepada Menteri Belanda
yang berkunjung ke Yogyakarta pada Desember 1948. Pelaksanaan persetujuan
Renville yang ditandatangani pada awal Januari 1948 setelah berunding selama satu
tahun tanpa hasil. Belanda selalu mengulur waktu, dan berupaya untuk menyerang
Indonesia. Hal itu terbukti ketika Belanda melakukan agresi militer yang ke II.8
Pada agresi militer yang kedua ini Belanda menangkap para pemimpin
Republik Indonesia. Para pemimpin Indonesia membiarkan diri mereka ditangkap
dengan harapan bahwa opini dunia akan tersinggung sehingga kemenangan militer
Belanda akan berbalik menjadi kekalahan diplomatik. Akan tetapi, pihak militer
Indonesia tidak dapat memahami alasan menyerahnya politisi sipil kepada Belanda,
sementara prajurit mengorbankan jiwa mereka demi Indonesia. Hal itu menyebabkan
Jenderal Soedirman tidak percaya pada Soekarno dan perjanjian Roem – Royen.
Dalam pandangan Soedirman, Soekarno tidak memiliki komitmen untuk berjuang
bersama rakyat melawan Belanda9.
Sementara itu, Belanda menduga bahwa dengan menduduki Yogyakarta, yang
pada saat itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia, pemimpin revolusi akan dibunuh
sehingga perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda akan berhenti. Dugaaan Belanda tersebut terbukti salah, karena setelah ditangkapnya presiden dan wakil
presiden, tentara dan rakyat Indonesia meneruskan perjuangan dengan cara
bergerilya. Di samping itu, dunia internasional, terutama Amerika Serikat terus
mendesak Belanda agar menyelesaikan sengketanya dengan Indonesia melalui jalan
damai.
Berdasarkan permintaan Australia dan India, Dewan Keamanan PBB mulai
membicarakan masalah RI-Belanda pada 31 Juli 1947 yang dipimpin oleh Oscar
Lange (Polandia). Atas desakan sebagian besar anggota persidangan, pembahasan
dalam persidangan akhirnya lebih menekankan memecahkan masalah penghentian
konflik daripada mempersoalkan mengenai kehadiran delegasi Indonesia10.
Australia mengajukan suatu resolusi yang menyerukan untuk menghentikan
peperangan yang terjadi di Indonesia dan mengusulkan agar kedua belah pihak yang
terlibat dalam peperangan menyerahkan permasalahannya kepada arbitrasi
(penengah). Usul Australia tersebut selaras dengan Perjanjian Linggarjati pasal 1711.
Pada persidangan DK-PBB ke-173 tanggal 1 Agustus 1947 muncul suatu
sikap menentang atas resolusi yang diajukan oleh Australia di atas. Penentangan
dimotori oleh Amerika Serikat, yang menolak pencantuman setiap fasal-fasal Piagam
PBB maupun Linggarjati. Sebagai gantinya Amerika Serikat mengajukan suatu
resolusi yang menganjurkan agar DK-PBB menunggu perkembangan lebih lanjut
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Usulan Amerika Serikat
disetujui oleh persidangan dengan perbandingan suara setuju sebanyak 8, dan abstains
3 suara 12.
Sikap Amerika Serikat tersebut didasarkan pada kepentingan politik dan
ekonomi Amerika Serikat, yaitu untuk menghindarkan campur tangan Uni Soviet dalam masalah Indonesia-Belanda. Dukungan Uni Soviet dikhawatirkan akan
meningkatkan rasa solidaritas di Asia dan negara-negara Arab.13
Hasil dari persidangan DK-PBB ke 173 tersebut dilaporkan ke Amir
Sjariffudin oleh Ketua DK-PBB, Faris El Kouri. Laporan tersebut diterima sehari
kemudian oleh Amir Sjariffudin yang sedang ditahan oleh Belanda di Jakarta.
Belanda selalu berupaya untuk menahan segala bentuk komunikasi antara pihak
Indonesia dengan dunia luar. Termasuk komunikasi dengan PBB. Belanda
berpandangan bahwa masalah yang terjadi di Indonesia adalah masalah dalam negeri
Belanda.
Setelah menerima laporan dari Ketua DK-PBB, Amir Sjarifuddin segera
mengirimkan balasannya kepada Ketua DK- PBB yang menyatakan keinginan pihak
Indonesia untuk melaksanakan keputusan DK-PBB dan memohon agar pemahasan
mengenai masalah Indonesia tetap diagendakan di dalam sidang DK-PBB. Amir
Sjarifuddin juga memohon agar pihak Indonesia dilibatkan dalam sidang-sidang DKPBB,
meskipun tanpa mendapat hak suara.
Permohonan yang terakhir dari Amir Sjarifuddin mendapat dukungan yang
kuat dari anggota DK-PBB. Hal itu disebabkan Belanda sering dianggap melanggar
perjanjian genjatan senjata. Dalam sidang DK-PBB tanggal 12 Agustus 1947 dibahas
mengenai kehadiaran pihak Indonesia sebagai pihak yang bersengketa. Dalam
pembahasan itu Belanda, Belgia, Inggris, dan Perancis secara keras menolak
kehadiran utusan RI di sidang DK-PBB. Pihak-pihak yang menolak kehadiran
Indonesia menyatakan bahwa kehadiran Indonesia melanggar pasal 32 piagam PBB14.
Pihak yang mendukung usul Indonesia adalah India, Australia, Amerika
Serikat, Colombia, Polandia, Syria dan Uni Soviet. Negara-negara yang mendukung
Indonesia beralasan bahwa Indonesia adalah suatu negara yang merdeka berdasarkan
pengakuan de fakto Belanda, bahkan Indonesia telah mendapat pengakuan de fakto
dan de jure dari Mesir, Syria, dan Iraq. Dengan alasan tersebut, kehadiran Indonesia
dalam sidang DK-PBB tidak melanggar pasal 32 Piagam PBB.
Patut dicatat adalah mengenai latar belakang dukungan dari Amerika Serikat
terhadap Indonesia. Dukungan Amerika Serikat sebetulnya merupakan suatu
diplomasi untuk mendapat dukungan dari negara-negara Asia dan Arab dalam
berbagai kepentingan internasionalnya. Untuk itu Amerika Serikat melakukan suatu
pencitraan anti kolonialisme dengan melakukan dukungan terhadap Indonesia.
Pada sidang DK-PBB ke-181 tanggal 12 Agustus 1947 diputuskan untuk
segera mengundang wakil Indonesia dalam sidang-sidang DK-PBB selanjutnya.
Keputusan sidang tersebut berarti dikesampingkannya masalah sovereignity atau
kedaulatan suatu negara. Pada pihak lain, DK-PBB menolak diundangnya wakilwakil
“negara boneka” Borneo dan Indonesia Timur ke dalam sidang DK-PBB.
Alasannya adalah penafsiran pasal 32, 37, dan 39 Piagam PBB, serta pasal 39
Provisional Rules of 39 DK-PBB15.
Pada 14 Agustus 1947 untuk pertamakalinya Indonesia dapat hadir dan
menyatakannya pendapatnya secara langsung dalam sidang DK-PBB. Dalam
persidangan tersebut Sjahrir sebagai salah seorang wakil resmi dari Indonesia,
menyatakan pentingnya penarikan mundur pasukan Belanda ke daerah-daerah yang
telah disepakati pada Oktober 1946. Sjahrir juga mendesak agar diadakan arbitrase
dan dibentuk suatu Komisi Dewan Keamanan untuk mengawasi genjatan senjata
sesuai isi resolusi DK-PBB tanggal 1 Agustus 1947. Dengan demikian, timbul kesan
bahwa pihak Indonesia lebih menginginkan cara damai dalam penyelesaian
masalahnya dengan Belanda.
Menyadari bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang sangat berperan
dalam Dewan Keamanan, maka Indonesia berupaya melakukan pendekatan terhadap
Amerika Serikat untuk mendapatkan suatu dukungan yang lebih kuat. Upaya itu
terlihat ketika pada 14 Agustus 1947 Sjahrir, Agus Salim, dan Charles Tambu
melakukan pembicaraan dengan pejabat-pejabat tinggi dari Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat seperti Dean Rusk, Kenneth Landon, dan Joseph Scott. Pada
kesempatan tersebut, pihak Indonesia menunjukkan sikap yang tegas terhadap upaya
kemerdekaan. Apabila Dewan Keamanan tetap memberlakukan status kolonial, maka
pihak Indonesia menyatakan akan tetap melakukan perlawanan sehingga Indonesia
dikenal akan menjadi sebuah “jajahan yang berperang”16. Menanggapi hal tersebut,
Amerika Serikat menyarankan supaya Indonesia tetap melakukan perundingan
dengan Belanda.
Sementara itu, pada 19 Agustus 1947 Australia bersama Cina Nasionalis
mengusulkan agar pihak Indonesia menunjuk perantara guna menyelesaikan
permasalahannya dengan Belanda. Australia mengajukan usulan tersebut untuk
menghindari agar permasalahan antara Belanda dan Indonesia diambil alih oleh
Amerika Serikat17.
Usul yang diajukan Australia tersebut mendapat tentangan dari Uni Soviet
yang pada sidang DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 menyatakan bahwa
pembentukan komisi konsuler atau perantara tidak representatif. Uni Soviet
menyarankan dibentuknya suatu komisi PBB yang beranggotakan 11 negara anggota
DK-PBB. Usul tersebut diveto oleh Perancis, meskipun disetujui oleh Amerika
Serikat, Australia, Brazil, Colombia, Polandia, Syria, dan Uni Soviet.
Perancis melakukan veto karena kasus yang dialami oleh Indonesia dan
Belanda hampir sama dengan yang terjadi antara Perancis dan Vietnam. Apabila
usulan itu diterima oleh DK-PBB maka Perancis khawatir masalah Vietnam pun akan
diagendakan dan dibahas di DK-PBB.
Amerika Serikat selalu berupaya untuk tidak melibatkan Uni Soviet dalam
masalah sengketa Indonesia dan Belanda. Untuk itu Amerika Serikat mengajukan
resolusi 25 Agustus 1947 yang berisi penawaran jasa-jasa baik atau good offices dari
PBB. Komisi yang diusulkan Amerika Serikat terdiri dari tiga negara anggota.
Indonesia dan Belanda masing-masing diperkenankan untuk memilih satu negara
untuk duduk dalam komisi tersebut. Satu negara lagi harus dipilih berdasarkan
kesepakatan antara Indonesia-Belanda.Indonesia memilih Australia sebagai negara yang dipercayainya untuk
mewakili kepentingan Indonesia, sementara Belanda memilih Belgia untuk mewakili
kepentingannya. Amerika Serikat dipilih oleh Indonesia dan Belanda sebagai pihak
yang dapat bertindak netral. Komisi yang terdiri dari tiga negara ini untuk selanjutnya
dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN).
Perundingan Indonesia-Belanda dengan perantara KTN dilaksanakan pada 8
Desember 1947 di atas geladak kapal USS Renville. Pada tanggal 26 Desember 1947
mengusulkan suatu gencatan senjata secara menyeluruh dan penyelesaian masalah
politik Indonesia-Belanda. Usulan tersebut sebetulnya sangat menguntungkan
Belanda karena mendapatkan kekuasaan atas wilayah-wilayah yang diklaim
Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia tetap menerima usulan tersebut. Pada 17
Januari 1948 dalam pengawasan KTN di atas kapal Renville yang sedang berlabuh di
Tanjung Priok ditandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Renville.
Kekhawatiran pihak Indonesia mengenai tidak adanya lembaga yang
mengawasi dan mengambil tindakan atas pelanggaran hasil perjanjian Renville,
maupun perundingan-perundingan dengan Belanda sebelumnya, terbukti. Belanda
memasukkan Jawa Barat, Sumatra Timur, dan Madura ke dalam wilayah
kekuasaannya. Menghadapi hal itu, Indonesia mengajukan protes ke DK-PBB pada
Februari 1948. Di DK-PBB Mr. Ali Sastroamidjojo menuntut supaya KTN diberi
wewenang untuk mengambil tindakan atas Belanda yang melakukan pelanggaranpelanggaran
terhadap perjanjian yang telah disepakati.
Usul Mr. Ali Sastroamidjojo di DK-PBB tersebut mendapat dukungan dari
wakil-wakil Cina-Nasionalis, Uni Soviet, Ukrania, Syria dan Colombia. Pada pihak
lain, Belanda mendapat dukungan dari Belgia, Perancis, Inggris, Argentina, Kanada,
dan Amerika Serikat. Dalam hal dapat dilihat bahwa Indonesia mendapat dukungan
lima suara, sementara Belanda mendapat dukungan enam suara. Negara-negara lain
yang mendukung Indonesia seperti Australia, India, dan Filipina. Meskipun
mendukung Indonesia, ketiga tersebut tidak memiliki hak suara, karena bukan
anggota DK-PBB lagi.
Komposisi anggota DK-PBB seperti itu menguntungkan pihak Belanda. Hal
itu terlihat ketika Kanada mengusulkan agar KTN tetap menjalankan tugas seperti yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu, Kanada meminta kepada pihak
Indonesia-Belanda untuk mengirimkan informasi secara langsung kepada DK-PBB
yang menyangkut perkembangan perundingan-perundingan yang dilakukan
Indonesia-Belanda di Indonesia. Usul Kanada ini mendapat dukungan dari sebagian
besar anggota DK-PBB, terbukti tujuh suara setuju dan empat negara abstain
(Colombia, Sryria, Ukrania, dan Uni Soviet).18
Untuk memperlancar diplomasinya, pihak Indonesia sering melakukan kontak
diplomatik dengan wakil Cina-Nasionalis, India dan Australia. Sebelum sidang DKPBB
dilaksanakan, biasanya dua hari sebelumnya pihak Indonesia membicarakan
mengenai segala kemungkinan yang akan terjadi dalam persidangan dengan wakilwakil
dari negara di atas. Indonesia juga memanfaatkan kedekatan negara-negara
tersebut dengan negara-negara anggota DK-PBB. India dan Australia diminta
bantuannya oleh pihak Indonesia untuk melobi negara-negara Persemakmuran Inggris
(Commonwealth). Sementara wakil dari Cina-Nasionalis diminta bantuannya untuk
melobi Amerika Serikat dengan pertimbangan bahwa Cina-Nasionalis merupakan
salah satu negara yang berpengaruh besar terhadap perekonomian Amerika Serikat19.
Selain itu LN Palar, pada Juli 1948 mengutus Soejatmoko yang sedang berada
di New York ke Indonesia untuk mensosialisasikan hasil-hasil perundingan. Selain
itu, LN Palar juga meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan kebijakankebijakan
yang sejalan dengan diplomasi Indonesia di DK-PBB dalam memperjuangkan
kemerdekaannya.20
Pihak Indonesia sebelumnya sudah mengetahui bahwa kalangan pengusaha
Amerika Serikat memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk opini publik.
Kalangan pengusaha Amerika Serikat juga menaruh perhatian terhadap perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kekayaan alam
Indonesia. Tindakan kalangan pengusaha bahkan mendahului kebijakan Pemerintah
Amerika Serikat dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Mereka mengadakanperjanjian perdagangan dengan wakil Perdana Menteri Indonesia, A.K. Gani pada
Januari 1948. Padahal saat itu Pemerintah Amerika Serikat menampakan gejala
mendukung Belanda. Sehingga Amerika Serikat dan Belanda menentang perjanjian
perdagangan tersebut karena Indonesia masih dianggap bukan suatu negara yang
berdaulat. Indonesia sendiri menyangkal tuduhan tersebut melalui Sumitro Djojohadikusumo
sebagai wakil perdagangan Indonesia21. Sumitro Djojohadikusumo
memang ditugaskan untuk menggalang opini publik kalangan pengusaha Amerika
Serikat.
Selain kalangan pengusaha Amerika Serikat, para diplomat Indonesia juga
melihat bahwa terdapat kalangan-kalangan lain yang perlu mendapat perhatian untuk
dilobi. Kalangan-kalangan yang dianggap memiliki pengaruh yang kuat bagi arah
kebijakan Pemerintah Amerika Serikat adalah kalangan gereja, pergerakan wanita,
buruh, dan akademisi. Penggalangan opini publik yang dilakukan para diplomat
Indonesia menampakkan hasil. Pihak Indonesia sering diundang dalam pertemuanpertemuan
yang diadakan oleh kalangan-kalangan di atas. Dalam pertemuan tersebut
sering diadakan perdebatan antara pihak Indonesia dengan Belanda. Indonesia selalu
memenangkan perdebatan tersebut. Diplomat Indonesia berhasil menyentuh hati
masyarakat Amerika Serikat dengan pidato-pidato yang merujuk dan menarik
persamaan antara sejarah dan revolusi Amerika Serikat dan Indonesia. Citra positif
orang-orang Belanda di mata masyarakat Amerika Serikat yang dikenal sebagai
pengusaha yang jujur dan handal, dipatahkan oleh argumentasi-argumentasi para
diplomat Indonesia. Masyarakat Amerika Serikat mendapatkan sisi lain mengenai
Belanda dari para diplomat Indonesia.
Dukungan masyarakat Amerika Serikat terhadap Indonesia bertambah kuat
karena keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam menumpas gerakan komunis yang
dipimpin oleh Muso di Madiun pada 1948. Masyarakat Amerika Serikat menekan
pemerintahnya untuk memperlihatkan dukungan yang lebih nyata bagi perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Keberhasilan dalam menggalang opini publik Amerika Serikat, diikuti pula
oleh keberhasilan Soemitro Djojohadikusumo dalam menggelang kalangan
pengusahanya. Para pengusaha Amerika Serikat yang mayoritas keturunan Yahudi
menaruh perhatian bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah
Rosenthal, pemimpin Stein Hall. Bahkan kebutuhan finasial diplomat Indonesia
disokong berkat penjualan ekspor produk-produk Indonesia yang diangkut oleh
kapal-kapal Amerika Serikat dari pelabuhan Cirebon.
Atas tekanan-tekanan dari masyarakatnya, Amerika Serikat pada 19 Desember
1948 bersama-sama dengan Australia meminta agar DK PBB segera mengadakan
sidang. Dalam sidang DK PBB yang berlangsung di Paris pada 22 Desember 1948,
dibicarakan kembali masalah Indonesia-Belanda. Dalam sidang tersebut van Roijen,
wakil dari Belanda, mengucapkan suatu pidato yang membela negerinya, sementara
LN Palar, wakil dari Indonesia, menyampaikan juga pembelaannya.
Van Roijen menjelaskan alasan-alasan dilakukannya aksi militer Belanda
terhadap Indonesia, dalam pandangan Belanda tindakan tersebut disebut sebagai aksi
polisionil untuk memulihkan tata tertib dan keamanan di wilayah RI. Setelah tata
tertib tercapai Belanda bermaksud membentuk Republik Indonesia Serikat yang
merdeka sebagai sekutu yang sederajat dalam Uni Belanda-Indonesia, dengan
berdasarkan kepada asas-asas politik Persetujuan Linggarjati dan Renville.
Aksi militer tersebut dilakukan karena pihak Indonesia banyak melanggar
perjanjian genjatan senjata. Lebih lanjut van Roijen menuduh bahwa seranganserangan
yang dilakukan Indonesia terhadap wilayahnya merupakan tahap awal
persiapan untuk melakukan pemberontakan secara besar-besaran sebelum tanggal 1
Januari 1949 ke daerah yang dikuasai Belanda.
Van Roijen menekankan bahwa DK PBB tidak berhak membicarakan
masalah Indonesia dengan Belanda dengan alasan tidak sesuai dengan piagam PBB
yang hanya menyangkut hubungan antara negara-negara yang mempunyai
kedaulatan. Masalah yang terjadi di Indonesia adalah masalah dalam negeri Belanda
sendiri dan masih dalam jurisdiksi Belanda, serta tidak akan membahayakan
perdamaian dan keamanan dunia.
Sementara itu, ketua delegasi Indonesia LN Palar menyatakan tuduhan
Belanda bahwa Indonesia akan melakukan serangan secara besar-besaran ke daerah
yang dikuasai Belanda di Indonesia sebelum tanggal 1 Januari 1949 tidak masuk akal
dan merupakan suatu rekayasa. Mengenai aktivitas gerilya yang dilakukan tentara RI
dengan bantuan rakyat secara sukarela, LN Palar menyatakan bahwa ia tidak dapat
menghentikannya. Kalau perlu menurut LN Palar akan dilanjutkan terus sampai
Belanda menyerah.
Pada akhir pidatonya, LN Palar mengusulkan tentang cara penyelesaian
sengketa Indonesia dengan Belanda. Usulan dari pihak Indonesia adalah meminta
DK-PBB segera memerintahkan gencatan senjata dan memohon agar para pemimpin
RI yang ditawan Belanda segera dibebaskan. RI juga tetap memohon agar KTN
diberikan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas untuk memulai lagi perundingan
antara pihak yang bersengketa.
Akibat kelihaian dari diplomasi yang dijalankan LN Palar, situasi dalam
sidang tersebut berubah menjadi memihak Indonesia. Dukungan untuk Indonesia
datang dari Amerika Serikat, Australia, Cina-Nasionalis, India, Syria dan Kolombia.
Negara-negara pendukung Indonesia tersebut menyatakan bahwa tindakan agresi
Belanda melanggar piagam PBB dan resolusi DK-PBB tahun-tahun sebelumnya.
Alasan-alasan Belanda mengenai dilakukannya agresi militer dianggap sebagai
rekayasa belaka.
Dalam persidangan tersebut Amerika Serikat bersama Cina-Nasionalis dan
Kolombia pada 22 Desember 1948 mengajukan suatu rancangan naskah resolusi yang
intinya agar menarik pasukan kedua belah pihak yang bersengketa berdasarkan
resolusi 17 Januari 1948, dan mengintruksikan KTN untuk melaporkan situasi
keamanan di Indonesia kepada PBB secara cepat dan lengkap.
Akan tetapi, naskah resolusi tersebut mendapat tentangan keras dari Australia,
hal itu disebabkan tidak disebutkannya agar pihak Belanda menghentikan agersi
militernya dan mengutuk tindakan Belanda secara resmi. Sebab lainnya adalah
permintaan rancangan naskah resolusi tersebut yang meminta KTN bertanggungjawab
atas agresi Belanda, padahal KTN telah memberikan laporan kepada DKPBB22.
Akan tetapi, karena Australia tidak mempunyai hak bicara, maka Australia
menitipkan usulnya ke dalam rancangan resolusi Amerika Serikat, Kolombia, dan
Syria. Isi usul dari Australia adalah untuk segera membebaskan presiden dan pemimpin lainnya yang ditahan Belanda, kemudian menginstruksikan KTN untuk
mengamati dan memberi laporan kepada PBB dan meyakinkan tidak ada tindakan
kekerasan individual.
Pada sidang DK PBB dalam minggu terakhir bulan Desember 1948 di Paris
menghasilkan suatu resolusi untuk menghentikan tembak-menembak antar Indonesia-
Belanda, dan seruan untuk membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditahan.
Dalam sidang DK PBB bulan Januari 1949 dihasilkan resolusi mengenai pelaksanaan
perencanaan dari resolusi Desember 1948, rencana pemilihan umum dan penyerahan
kedaulatan.
Pihak Belanda mempertahankan pendapatnya dengan menolak resolusi 28
Januari 1949, akan tetapi Amerika Serikat dan dunia internasional mendesak Belanda
untuk menerima resolusi tersebut. Untuk mensiasatinya, Dr Bell ketua delegasi
Belanda yang menggantikan van Mook mulai mengadakan suatu tindakan untuk
menghindar dari resulosi tersebut dengan cara memikat para anggota BFO (Bijeenkomts
voor Federal Oorlog = Majelis Permusyaratan Federal). Untuk mengadakan
penyerahan kedaulatan. BFO dibentuk oleh Belanda pada Juli 1948 dengan maksud
membentuk Negara Indonesia Serikat yang berbentuk federal dengan atau tanpa
persetujuan republik.
Pada saat yang genting tersebut, Anak Agung Gede Agung yang didukung
oleh sebagian dari golongan federalis menolak untuk mendirikan Negara Indonesia
Serikat tanpa Republik Indonesia. Dengan demikian rencana Dr Bell tidak dapat
dilaksanakan.
Cochran yang menjadi sponsor atas pertemuan Indonesia-Belanda mengusulkan
agar mereka merumuskan suatu persetujuan dengan Belanda sebelum Rapat
Umum, karena perdebatan tentang masalah Indonesia tidak bisa diharapkan
menghasilkan dukungan yang besar untuk Indonesia. Delegasi dan para pimpinan
Republik bersedia diajak berunding dan menilai Cochran berbicara untuk Amerika
Serikat. Apabila tidak menerima usul Cochran ditakutkan Indonesia akan kehilangan
dukungannya dari Amerika Serikat. Walaupun ada keyakinan bahwa RI tetap mampu
memenangkan kemerdekaan penuh, tetapi dengan dukungan-dukungan Amerika
Serikat akan mempercepat pencapaian kemerdekaan, memperkecil jumlah korban dan tanpa resiko menjebloskan RI ke dalam krisis ekonomi dan politik akibat suatu
peperangan yang lama. Akhirnya pada l7 Mei 1949, perundingan yang disponsori
oleh Cochran dan dikenal dengan persetujuan Roem-Royen, secara resmi diterima
oleh delegasi RI dan Belanda, dengan persetujuan ini, pemerintah RI tidak dengan
sendirinya mau melaksanakan tiga tuntutan Belanda sebagai suatu prasyarat untuk
diizinkan kembali ke Yogyakarta. Akan tetapi, kemudian disetujui oleh Soekarno
dan Wakil Presiden Moh. Hatta untuk memberikan “jaminan pribadi” dengan tujuan
menyesuaikan diri dengan Resolusi 28 Januari dan Dewan Keamanan dan
pengarahan DK tanggal 23 Maret:
1. Mengeluarkan perintah agar pasukan-pasukan bersenjatanya menghentikan
perang gerilya.
2. Bekerjasama dalam mengembalikan kedamaian dan menjaga ketertiban
dan keamanan
3. Berpartisipasi dalam suatu Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan
tujuan mempercepat penyerahan kedaulatan yang nyata, tanpa syarat dan
penuh kepada Republik Indonesia Serikat.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan akan mendorong
agar pemerintah Republik Indonesia mau menerima kebijakan semacam itu secepat
mungkin setelah kembali ke Yogyakarta.
D. Perundingan Meja Bundar (KMB)
Pada 12 Maret 1949 guna membicarakan masalah Indonesia dan merundingkan
syarat-syarat “penyerahan” kedaulatan serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda.
Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota untuk
menemui Ir. Soekarno bersama beberapa pembesar RI lainnnya yang ditawan di
Bangka, untuk menyampaikan maksud pemerintah Belanda dan mengundang Ir.
Soekarno untuk menghadiri Konferensi itu di Den Haag. Tanggal 3 Maret 1949
Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO dan
menegaskan mengenai perlunya kedudukan pemerintahan RI dipulihkan sebagai
syarat dilangsungkannya perundingan selaras dengan Resolusi DK-PBB. Tanggal 4
Maret Presiden Soekarno menyatakan penolakannya untuk menghadiri KMB kecuali
dengan syarat, yaitu:1. Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai
perundingan.
2. Kedudukan dan kewajiban komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu
melaksanakan Resolusi PBB tidak akan terganggu.
Dengan adanya petunjuk dari DK-PBB dan adanya pendekatan politis antara
pihak RI dan Belanda, maka pada 14 April 1949 atas inisiatif komisi PBB untuk
Indonesia diadakan perundingan antara RI - Belanda. Perundingan diadakan di hotel
Des Indies Jakarta dipimpin Marie Cochran (Amerika Serikat). Delegasi RI dipimpin
oleh Mr. Moh. Roem (ketua) dan Mr. Ali Sastroamidjoyo (wakil ketua). Delegasi
Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. Van Royen dengan 3 orang anggota dan 4 orang
penasehat. Seminggu kemudian, perundingan tersebut mengalami jalan buntu karena
J.H. Van Royen bersikeras agar pemerintahnya baru mau mengembalikan RI ke
Yogyakarta setelah pemerintahan RI memerintahkan “pasukan-pasukan bersenjatanya
menghentikan perang gerilya dan mau bekerjasama untuk mengembalikan
perdamaian dan usaha keamanan serta ketertiban” dan mau menghadiri KMB di Den
Haag. Sebaliknya Moh. Roem menginginkan dikembalikannya para pemimpin Rl ke
Yogyakarta sebelum KMB dan tidak rnungkin untuk menghentikan perang gerilya
jika dalam kenyataannya para anggota pemerintah itu dikucilkan, jauh satu sama lain
dan hubungan dan tidak mampu bertemu di ibu kotanya.
Hasil perundingan tersebut adalah disetujuinya untuk membentuk suatu
“komisi Persiapan Nasional”, yang terdiri dan wakil-wakil dan Republik dan BFO
dengan tujuan “mengorganisir semua persiapan dan aktivitas yang harus dikerjakan
selama atau setelah Konferensi Meja Bundar” suatu organ pusat dalam memelihara
hubungan antara Republik dan BFO. Meskipun pelaksanaanya kelak tidak selalu
cocok, BFO setuju bahwa negara-negara bagian pemerintah Federasi itu tidak akan
memiliki angkatan bersenjata. BFO juga memperjelas dukungannya kepada tuntutan
RI untuk dilaksanakannya suatu penyerahan secara nyata dan tidak bersyarat dan
kedaulatan tanpa ikatan politik ataupun ekonomi.
Pada 1 Agustus 1949 akhirnya disetujui bahwa gencatan senjata antar
Belanda dan Republik akan dilaksanakan secara serentak oleh kedua belah pihak
pada 3 Agustus dan berlaku pada 11 Agustus di Jawa, serta pada 15 Agustus di Sumatera. Sesudah tanggal tersebut, delegasi Republik dan delegasi BFO yang
masing-masing diketuai oleh perdana menteri Hatta dan Sultan Hamid dari
Kalimantan Barat, berangkat ke Den Haag, tempat diadakannya Konferensi Meja
Bundar untuk membicarakan penyerahan kedaulatan pada RI yang dimulai pada 23
Agustus.
Perubahan sikap Pemerintah Belanda, sekaligus Amerika Serikat, memberikan
keuntungan bagi orang-orang Republik yang ikut dalam perundingan ini.
Perubahan-perubahan itu tampaknya terutama disebabkan oleh faktor yang sama
seperti yang menjadi alasan utama dari perubahan sikap kalangan mayoritas anggota
BFO, yaitu semakin banyak orang Belanda yang menjadi yakin bahwa kekuatan
militernya tidak cukup kuat untuk mendorong suatu penyelesaian politik. Peperangan
yang berkepanjangan tidak hanya berarti berlanjutnya malapetaka yang berkembang
akibat peperangan semacam itu, tetapi juga suatu kelanjutan usaha yang sadar akan
kebijakan bumi-hangus Republik. Penghancuran secara terencana perkebunanperkebunan
Belanda, pabrik-pabrik gula dan sebagainya. Menjadi jelas bagi banyak
pengusaha Belanda bahwa bila angkatan bersenjata Belanda memang berhasil memperoleh
kekuasaan penuh atas negara tersebut, menjelang saat itu diduga hanya
tinggal sedikit tersisa dari penanaman modal Belanda di Indonesia yang jumlahnya
satu seperempat Bilyun dolar itu. Dengan banyaknya kepentingan usaha di negeri
Belanda yang menambah beban kepentingan unsur-unsur liberal, khususnya diwakili
oleh pertai Buruh, tekanan dalam negeri terhadap pemerintah untuk menyerahkan
kedaulatan kepada RI-meskipun mungkin tidak diwakili oleh mayoritas opini umum
negeri Belanda-telah begitu meningkat.
Selama periode dua bulan menjelang Konferensi Den Haag, senator-senator
yang sebelumnya mendesak diputus bantuan ECA kepada Negeri Belanda, terusmenerus
mendesak Departemen Luar Negeri untuk memastikan agar kemerdekaan
diberikan kepada Indonesia. Pada akhirnya mulai tanggal 23 Agustus-2 November
1949 diselenggara-kanlah suatu Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Moh. Hatta men-dominasi pihak RI selama jalannya perundingan-perundingan yang
menghasilkan pengakuan kedaulatan bagi Republik Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar