Kamis, 03 Maret 2016

PERLAWANAN GERAKAN SOSIAL

II.2.1. Materi
A. Perlawanan menghadapi Penetrasi Belanda
Perlu diketahui bahwa wilayah yang tercakup dalam negara kolonial Hindia Belanda
pada awalnya hanya mencakup wilayah-wilayah taklukkan VOC atau yang diklaim
sebagai taklukkan VOC. Kerajaan Aceh, Bangka dan Belitung tidak termasuk Hindia
Belanda, karena bukan taklukkan VOC sedangkan Singapura dan Malaka termasuk
Hindia Belanda karena bekas taklukkan VOC. Namun dalam perkembangannya
kemudian wilayah Hindia Belanda mengalami banyak perubahan.
Pada saat Commissaris Generaal memulai tugasnya di awal abad ke-19, ada
beberapa daerah taklukkan VOC yang menyatakan tidak terikat lagi oleh perjanjian
dengan VOC, sekaligus tidak terikat pula oleh negara kolonial Hindia Belanda.
Peristiwa-peristiwa inilah antara lain yang mendorong pemerintah kolonial Hindia
Belanda melakukan politik pasifikasi, terutama ke daerah luar Jawa. Dalam dua
dasawarsa pertama pendirian negara kolonial Hindia Belanda, paling tidak ada tiga
perlawanan atau pemberontakan yang dinilai sangat mengganggu kewibawaannya,
yaitu perlawanan Pattimura di Maluku; perlawanan Diponegoro (de Java oorlog) di
Jawa; dan perlawanan kaum Padri di Sumatera Barat.
A.1. Perlawanan Pattimura.
Perlawanan rakyat Maluku terjadi tahun 1817 di bawah pimpinan Thomas
Matulesya (Matulessy), mantan sersan mayor yang mendapat status burger dari
pemerintah Inggris. Penyebab pemberontakannya adalah karena rakyat Maluku
diperlakukan tidak adil oleh Belanda. Selama VOC berkuasa, para petingginya tidak
ada sedikitpun upaya untuk memajukan budaya setempat. Yang terjadi justru
perusakan tata ekonomi dan niaga setempat yang berakibat semakin merosotnya
kesejahteraan penduduk Kondisi ini berbeda sewaktu Maluku berada di bawah kekuasaan Inggris.
Meskipun Raffles pada dasarnya melanjutkan monopoli VOC, tetapi
pemerintahannya lebih lunak dan bijaksana, dalam arti mereka tidak hanya mencari
keuntungan semata, tetapi juga memperbaiki keadaan setempat. Sebagai contoh,
Raffles masih memperhatikan tingkat kemakmuran rakyat dengan menghapus kerja
rodi, membayar kekurangan gaji para guru yang terhutang sejak masa VOC, membeli
rempah-rempah dengan tunai, dan dalam ukuran tertentu memberi kebebasan kepada
penduduk untuk berniaga. Oleh karena itu tidak mengherankan selama masa Inggris,
Maluku tumbuh menjadi pusat penimbunan bagi perdagangan kepulauan Nusantara
bagian timur.
Ketika Belanda kembali berkuasa, kondisi yang sudah membaik itu kembali
dirusak. Rakyat kembali dibebani berbagai kewajiban yang memberatkan yang
menimbulkan perasaan tidak puas, seperti kerja rodi dan keharusan untuk menjual
ikan asin untuk keperluan angkatan laut Belanda. Ketidak puasan itu akhirnya
meledak menjadi satu bentuk perlawanan terbuka yang disertai tindak kekerasan.
Dalam satu pertemuan yang terjadi atas inisiatif dari tokoh-tokoh di Saparua, pada
bulan Mei 1817, secara aklamasi Thomas Mattulesya alias Pattimura diangkat
pemimpin mereka untuk melawan Belanda. Awal perlawanan terjadi dengan
perampasan perahu pos yang ada di pelabuhan Porto. Keesokan harinya Pattimura
memimpin para pengikutnya menyerbu benteng Duurstede. Residen Saparua Van
den Berg beserta keluarganya (kecuali seorang anak kecil) dibunuh, sehingga
menimbulkan kemarahan pihak Belanda. Setelah kabar jatuhnya benteng Duurstede
itu sampai ke Batavia, maka dengan segera pemerintah di Batavia mengirimkan bala
bantuan ke Saparua. Pada tanggal 1 Agustus 1817, 45 kapal perang Belanda
membuang sauh di teluk di depan benteng Duurstede yang ternyata telah
ditinggalkan oleh Pattimura.
Dengan maksud agar masyarakat di Saparua mau membantu Belanda, maka
pihak Belanda menjanjikan akan memberi hadiah sebesar 1.000 gulden bagi siapa
saja yang berhasil menyerahkan Pattimura dan 500 gulden lagi bagi setiap kepala
para pimpinan di bawahnya. Akhirnya pemberontakan Pattimura dapat diatasi. Pada bulan Desember 1817, Thomas Matulesya alias Pattimura dihukum gantung bersama
tiga orang lainnya.
A.2. Perlawanan Diponegoro (1825-1830)
Ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1816 terjadi kericuhan di
istana Yogyakarta berkenaan dengan penggantinya. Putra tertua sultan, Pangeran
Diponegoro, tidak terpilih untuk menggantikannya karena dia anak dari istri
samping. Ketika putra mahkota kemudian wafat juga, tahta jatuh ke tangan anak lakilaki
putra mahkota yang masih berusia dua tahun. Pangeran Diponegoro amat marah
dengan kebijakan tersebut. Namun dia kemudian disingkirkan dari istana oleh para
bangsawan yang pro-Belanda dan akhirnya menetap di Tegalrejo.
Kegeramannya atas perlakuan tersebut akhirnya meledak saat tanahnya di
Tegalrejo, tanpa pembicaraan terlebih dahulu, dipatok untuk dijadikan jalan umum
oleh orang-orang suruhan Patih Danureja (1813-1847) yang pro-Belanda. Konflik
pun terjadi antara para pengikut pengikut Diponegoro dengan pengikut Danureja
yang didukung Belanda. Ketika perundingan antara kedua belah pihak menghadapi
jalan buntu, residen Belanda mengirim pasukan untuk menangkap Pangeran
Dipenogoro. Akan tetapi Dipenogoro berhasil meloloskan diri dan kemudian
mencanangkan panji pemberontakan. Sejak itu Perang Jawa (1825-1830) pun
dimulai.
Perlawanan Diponegoro dengan cepat menyebar ke seluruh Jawa Tengah dan
Jawa Timur dengan pusatnya di kawasan Yogyakarta. Lima belas dari dua puluh
sembilan pangeran Yogyakarta dan dua puluh empat dari delapan puluh delapan
bupati ikut bergabung dengan Diponegoro. Selain itu, pemberontakannya juga
didukung kaum ulama, seperti Kiai Maja.
Sementara itu pihak Surakarta yang menjadi saingan Yogyakarta bersikap
melihat dan menunggu perkembangan untuk ikut pihak yang mana. Apabila
pemberontakan Diponegoro tersebut menunjukkan akan berhasil, maka di kalangan
istana akan mendukungnya. Meskipun demikian, pihak Surakarta tidak berani
menolak ketika Jenderal H. M. de Kock menjadikan wilayah mereka sebagai pusat
komandonya dalam menghadapi Diponegoro.
Pada awalnya, Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan de Kock dengan
taktik pukul lari dan menjadikan daerah Surakarta sebagai ‘perangkap’ pihak
lawannya. Akhirnya salah seorang perwira de Kock menemukan cara untuk
menghadapi strategi dan taktik lawannya, yaitu dengan menerapkan sistem benteng
(bentengstelsel). Taktik ini banyak dipengaruhi kemenangan Perancis dalam
menghadapi pemberontakan petani di Vendĕe, Perancis Selatan. Penerapan sistem
benteng ini adalah dengan cara membangun rangkaian benteng kecil yang saling
berhubungan serta diadakan patroli secara teratur untuk mencegah dan
mempersempit ruang gerak gerilyawan Diponegoro.
Sistem benteng segera membawa hasil, satu persatu daerah pertahanan
Diponegoro jatuh ke tangan de Kock. Kedudukan Diponegoro semakin lemah ketika
dia ditinggalkan oleh pembantunya, baik karena gugur maupun menyerah kepada
Belanda. Di antara pembantunya yang menyerah terdapat Kyai Maja, Pangeran
Notoprojo, Pangeran Mangkubumi, dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Meskipun
demikian Diponegoro tetap tidak mau menyerah. Pengaruhnya di kalangan rakyat,
termasuk di daerah yang sudah dikuasai pihak Belanda masih tetap besar. Faktor
semacam ini cukup menyulitkan pihak Belanda.
Untuk menghindari perang yang berkepanjangan, pihak Belanda menempuh
cara diplomasi dengan menawarkan satu perundingan. Pihak Belanda mengirimkan
dua orang utusan yang keduanya bekas kepercayaan Diponegoro. Oleh karena itu
Diponegoro setuju untuk berunding walaupun dia mengetahui banyak pengikutnya
yang tidak setuju. Sebagai langkah awal pada 16 Februari Diponegoro bertemu
dengan Kolonel Cleerens yang mewakili de Kock di Remokawal. Di tempat itu
disetujui bahwa pertemuan berikutnya dengan Jenderal de Kock akan diadakan di
Magelang.
Rombongan Diponegoro tiba di Magelang pada 25 Februari 1830, menjelang
masuknya bulan suci Puasa (Ramadhan). Oleh karena itu Diponegoro menolak untuk
mengadakan perundingan selama bulan puasa. Kondisi ini dilaporkan oleh de Kock kepada Gubernur Jenderal dengan sengaja memanipulasi penolakan Diponegoro itu
sebagai unsur penting untuk menangkap tokoh tersebut. Dengan cara itu dia
mendapat ‘restu’ dari Gubernur Jenderal untuk menangkap Diponegoro. De Kock
berhasil menipu Diponegoro. Di saat pembicaraan berlangsung, pihak Belanda
melucuti para pengawal Diponegoro dan melarang Diponegoro meninggalkan
tempat.
Diponegoro yang sadar dirinya ditipu sempat emosional dan akan membunuh
de Kock di tempat perundingan. Meskipun awalnya ia menolak untuk menyerah dan
menyatakan lebih baik mati, namun akhirnya ia pasrah terhadap takdir (angur sun
sumendhetakdir). Kesadaran ini pula yang mendorongnya untuk meninggalkan tanah
Jawa (Diponegoro dibuang ke Makassar dan meninggal dunia di kota itu pada 8
Januari 1855). Pertama, karena menurutnya tidak ada lagi yang memilikinya; dan
kedua, untuk menghormati mereka yang gugur dalam peperangan karena membela
dan melaksanakan perintahnya.
Perang Diponegoro menyebabkan kerugian besar bagi Belanda. Secara
keseluruhan, Belanda kehilangan 15.000 prajuritnya, termasuk 8.000 orang Eropa.
Selain itu Belanda harus menanggung beban biaya yang amat besar. Dalam kondisi
ekonomi yang morat-marit, pemerintah Hindia Belanda mau tidak mau harus
menjalankan program penghematan. Untuk membiayai perang dengan sistem
benteng itu, dengan cerdik Du Bus de Gisignies membebankannya kepada Sultan
Yogyakarta (Hamangkubuwono II), termasuk tanah milik kesultanan di Jabarangkah
secara penuh menjadi milik pemerintah Hindia.
A.3. Perlawanan Padri (1821-1838)
Awal perlawanan Kaum Padri sebenarnya adalah pertentangan paham antara Kaum
Adat dan Kaum Padri dalam masalah praktik keagamaan. Gerakan kaum Padri sudah
ada sejak awal abad ke-19, yang bertujuan untuk memurnikan Islam dari praktikpraktik
sinkretisme, yaitu adat istiadat setempat yang justru bertentangan dengan
ajaran Islam. Istilah Kaum Paderi kemungkinan berasal dari kata padre (bahasa
Portugis) suatu istilah untuk menyebut orang suci atau ulama yang berpakaian putih.Dalam kenyataannya para ulama Paderi, seperti: Tuanku Kota Tua (daerah
Cangking, Empat Angkat), Tuanku nan Renceh (muridnya), Haji Sumanik (dari
Delapan Kota), Haji Miskin (dari Pandai Sikat) dan Piobang (dari Tanah Datar),
semuanya suka berpakaian serba putih. Keadaan ini sangat kontras dengan pakaian
kaum adat yang berpakaian serba hitam. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa
gerakan itu disebut Padri karena pimpinannya adalah orang Pidari, orang Pedir yang
telah pergi ke Mekah melalui pelabuhan Pedir, Aceh.
Pada masa itu di Sumatera Barat masih berdiri Kerajaan Minangkabau yang
berpusat di Pagaruyung. Raja Pararuyung dibantu oleh empat pembantu yang disebut
Basa Ampek Balai. Sebagai lambang Kerajaan Minangkabau, raja dihormati namun
dalam praktiknya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Kekuasaan yang sebenarnya
berada di tangan para penghulu (kepala suku), yang membentuk Dewan Penghulu
atau Dewan Nagari. Raja dan Dewan Nagari inilah yang menjalankan peranan
penting dalam pemerintahan adat.
Di bawah pemerintahan adat, banyak kebiasaan yang bertentangan dengan
hukum Islam dibiarkan begitu saja, bahkan seperti dilegalisasi dengan banyaknya
para pembesar yang ikut dalam kebiasaan buruk tersebut. Adapun kebiasaankebiasaan
yang ditentang kaum Padri itu meliputi masalah perjudian, sabung ayam,
dan beberapa aspek hukum yang didasarkan garis ibu (matrilineal). Perbedaan
pendapat itu akhirnya pecah menjadi konflik bersenjata, ketika Haji Miskin yang
membakar balai tempat menyabung ayam di Pandai Sikat setelah seruannya tidak
digubris oleh penduduk.
Kekuatan kaum Padri semakin bertambah terutama setelah mendapat
dukungan dari pimpinan adat tertinggi di Alahan Panjang, yaitu Datuk Bandaro.
Dengan adanya dukungan itu kaum Padri mendirikan benteng pertahanan di Bonjol.
Sewaktu Datuk Bandaro meninggal, pimpinan digantikan oleh Peto Syarif yang
kemudian bergelar Tuanku Imam Bonjol.
Pada masa awal munculnya gerakan pembaruan Islam oleh kaum Padri, kaum
Adat pernah meminta bantuan Inggris yang membuka kantor di Air Bangis, Padang
dan pulau Cinkuk. Pada bulan Juli 1818, Raffles sempat mengunjungi Padang Darat
dan bertemu dengan kedua belah pihak yang bertikai. Raffles ternyata tidak bisa
berbuat banyak karena harus menyerahankan kembali semua bekas taklukan VOC
kepada Belanda. Akhirnya pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso dan 14
penghulu yang mewakili kerajaan Minangkabau (kaum Adat) datang menghadap
Residen Padang Du Puy untuk mengadakan perjanjian.
Seminggu kemudian Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua
buah meriam dan seratus orang serdadu. Sejak 18 Februari 1921, mulailah babak
baru ‘perang Padri’, yaitu berperang melawan Belanda. Dalam periode 1821-1825
semangat perang kaum Padri semakin meningkat, karena tujuan perang mereka tidak
semata-mata untuk mematahkan kekuasaan kaum Adat, melainkan juga untuk
mengusir Belanda yang akan menjajah mereka. Bagi mereka, kaum Adat hanya
sekedar anjing pesuruh Belanda saja.
Pada mulanya, ekspedisi militer Belanda berhasil menembus kawasan
pegunungan Sumatra Barat, yang menjadi basis kaum Padri, dan membangun
benteng Fort Van der Cappelen di Batusangkar. Gerak maju militer Belanda
kemudian tersendat dan perang menjadi berlarut-larut. Akhirnya, pada tanggal 26
Januari 1824, Letnan Kolonel Raaff yang menggantikan Du Puy sebagai Residen
Padang, mengajak kaum Padri untuk berunding dan diterima baik oleh kaum Paderi
di Alahan Panjang dan Bonjol. Meskipun isi perjanjian itu banyak merugikan kaum
Padri,
Akan tetapi baru sebulan setelah perjanjian itu ditandatangani pihak Belanda
telah menyerang Guguk Sigundang dan Kota Lawas. Dengan penyerangan Kota
Lawas itu, kaum Paderi, terutama kaum Paderi Bonjol tidak lagi percaya kepada
Belanda. Demikian pula kaum Adat yang meminta bantuan untuk mengalahkan
kaum Padri menjadi kecewa. Mereka melihat kepentingan Belanda lebih
dikedepankan daripada kepentingan kaum Adat. Apalagi setelah mereka melihat
perilaku Belanda yang menyakitkan melalui beberapa kerja paksa, penarikan cukai
yang dirasakan memberatkan rakyat. Simpati kaum Adat pun banyak yang berpindah
kepada kaum Padri, sehingga perlawanan di Sumatera Barat tidak lagi sebagai
perlawanan Padri semata, malainkan perlawanan rakyat Sumatera Barat.
Pihak Belanda untuk sementara waktu tidak dapat berbuat banyak guna
menghentikan gerak maju kaum Padri karena sedang sibuk menghadapi perang di
Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro. Setelah berhasil memadamkan
perlawanan Diponegoro, Belanda mengirimkan bantuan lebih banyak ke Sumatera
Barat. Di antara kontingen militer Belanda itu terdapat pasukan Jawa pimpinan
Sentot Ali Basya, salah seorang pengikut Diponegoro yang membelot.
Untuk mematahkan perlawanan kaum Padri, pihak Belanda menutup daerah
pesisir barat dan timur Sumatera, yang merupakan pintu gerbang perdagangan
Minangkabau. Di samping itu, Belanda membujuk para pemimpin kaum Paderi,
seperti Tuanku Imam Bonjol, untuk menyerah sementara mengancam rakyat dengan
hukuman berat agar tidak membantu kaum Padri.
Dalam kampanye militernya, Belanda menerapkan sistem benteng sehingga
kaum Padri kesulitan ruang gerak. Pada 16 Agustus 1837 kota Bonjol yang
berbenteng akhirnya dapat direbut pihak Belanda. Pada bulan Oktober 1837 Belanda
mengundang Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh. Pemimpin kaum Padri itu
menerimanya dan datang ke Palupuh. Namun, seperti halnya Pangeran Diponegoro,
dia ditangkap ketika perundingan mengalami jalan buntu. Imam Bonjol kemudian
dibuang ke luar tanah kelahirannya, di mana dia meninggal di Manado pada tahun
1864.
Setelah tertangkapnya Imam Bonjol, sejumlah pemimpin Padri masih
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Di antara mereka terdapat Haji Saleh dan
Tuanku Tambusei. Pihak Belanda sendiri terus berusaha menaklukkan kubu-kubu
kaum Padri. Akhirnya, pada tanggal 28 Desember 1838, pertahanan terakhir kaum
Padri jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi Haji Saleh dan Tuanku Tambusei tidak
bisa ditangkap. Kedua tokoh itu menghilang ke dalam hutan melalui sungai.
A.4. Ekspedisi Militer ke Bali dan Nusa Tenggara
Pada tahun 1841, pihak Belanda berhasil meyakinkan para raja Bali untuk masuk ke
dalam lingkungan Hindia Belanda (Pax Nederlandica) dengan jaminan bahwa
kedaulatan dalam negeri mereka tidak akan dibatasi. Sebagian raja Bali menerimatawaran itu dengan harapan pihak Belanda mau membantu mereka menaklukkan
Mataram dan Lombok. Sebagian lagi seperti Raja Buleleng dan Karangasem
menolak meratifikasi perjanjian tersebut. Perlawanan kedua raja itu mendapat
dukungan dari raja Klungkung, yaitu Dewa Agung. Pembangkangan ini
menyebabkan Belanda mengirimkan tiga ekspedisi militer ke Bali, yaitu pada tahun
1846, 1848, dan 1849.
Meskipun Belanda berhasil mengalahkan raja-raja Bali, akan tetapi hingga
tahun 1853 mereka tidak pernah ikut campur dalam urusan intern kerajaan-kerajaan
di pulau tersebut. Campur tangan Belanda dalam urusan istana baru terjadi setelah
pecahnya pemberontakan di Buleleng pada tahun 1853. Sejak itu Belanda
menempatkan para pegawainya di Bali Utara dan Barat (Buleleng dan Jembrana).
Keadaan status quo itu berakhir setelah terjadinya perampasan terhadap
sebuah kapal yang terdampar pada tahun 1904. Peristiwa tersebut dijadikan alasan
oleh Belanda untuk mengirimkan pasukan militernya. Satu persatu kerajaan Bali
dipaksa untuk menyerah. Perlawanan terakhir terjadi pada tahun 1908, ketika
penguasa Kerajaan Klungkung, Dewa Agung, beserta pengikutnya melakukan
perang habis-habisan (puputan). Tewasnya Dewa Agung dan para pengikutnya
menandai berakhirnya kemerdekaan Bali.
Setelah Bali ditaklukkan, Belanda mengarahkan perhatiannya ke sebelah
timur. Mereka kemudian bergerak menguasai Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores,
Savu, Roti dan Timor. Perlawanan yang cukup berarti terjadi di Lombok, di mana
pada tahun 1894 ekspedisi Belanda sempat dikalahkan oleh sebuah kerajaan Hindu
yang berpusat di Mataram. Akan tetapi perlawanan mereka akhirnya dapat
dipatahkan Belanda.
A.5. Perlawanan Rakyat Sulawesi dan Papua
Perluasan wilayah Belanda di selatan Sulawesi ditentang oleh mantan sekutu utama
VOC, yaitu Bone yang telah tumbuh menjadi satu kerajaan yang terkuat di wilayah
ini. Sejak Belanda dikalahkan Inggris, banyak tokoh Bone menilai Perjanjian
Bongaya (1667) tidak mengikat lagi dan menganggap bahwa hubungan mereka
dengan Belanda telah putus.
Pada tahun 1824, Gubernur Jenderal Van der Capellen mengunjungi daerah
ini dan membujuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi selatan untuk memperbaharui
Perjanjian Bongaya, tapi Bone menolaknya. Setelah Van de Capellen pergi, Ratu
Bone memimpin negara Bugis menyerang garnisun Belanda dan merebut wilayahwilayah
yang dikuasai Belanda. Untuk menindas pemberontakan ini, Belanda
bergabung dengan musuh lama Bone, Makassar. Pada tahun 1825 pasukan gabungan
Belanda dan Makassar berhasil mengalahkan Bone. Akan tetapi, pecahnya perang
Diponegoro membuat pasukan Belanda terpaksa ditarik ke Jawa. Akibatnya, Bone
kembali melanjutkan perlawanannya.
Setelah perang di Jawa berakhir Belanda mengirimkan kembali pasukan ke
Sulawesi selatan dan pada tahun 1838 raja Bone dipaksa memperbaharui kembali isi
Perjanjian Bongaya. Meskipun demikian, supermasi Belanda di daerah ini tidak
dapat ditegakkan dengan mudah. Munculnya konflik intern di Bone sendiri
menyebabkan pihak kerajaan yang tunduk kepada Belanda tidak mampu mengontrol
rakyatnya sementara di Makassar tetap banyak pihak yang menentang Perjanjian
Bongaya. Oleh karena itu, antara tahun 1858-1860, Belanda kembali mengadakan
serangan besar-besaran. Namun penaklukan yang sungguh-sungguh terhadap
perlawanan Bugis dan Makassar baru terjadi pada tahun 1905-6. Setelah itu, Belanda
memperluas kekuasaannya atas rakyat Toraja di Sulawesi Tengah yang masih animis
dan dikenal sebagai suku bangsa pengayau.
Sementara itu, setelah berhasil memantapkan kekuasaannya di Sulawesi,
Maluku, dan Nusa Tenggara, Belanda memalingkan perhatiannya ke Papua (Irian
Jaya). Pada tahun 1828, Belanda mendirikan Benteng Du Bus di Lobo, sebagai bukti
eksistensi mereka di sana, sekaligus untuk mencegah masuknya kekuatan Eropa
lainnya ke wilayah itu. Namun setelah mengamati wilayah ini, untuk sementara
waktu Belanda menilai daerah ini kurang menarik secara ekonomi. Masyarakatnya
masih hidup di “zaman batu” sementara nyamuk malaria banyak mengambil korban
di kalangan anggota garnisun Benteng Du Bus, sehingga pada tahun 1836 benteng
tersebut terpaksa ditinggalkan. Meskipun demikian Belanda tidak meninggalkan
pulau ini. Malahan pada tahun 1898 wilayah ini secara permanen dimasukkan ke
dalam lingkungan Hindia Belanda. Di kemudian hari, ganasnya wilayah Papua
menyebabkan Belanda menjadikannya sebagai tempat pembuangan para tokoh
pergerakan kebangsaan Indonesia.
A.6. Perlawanan rakyat Kalimantan
Kalimantan merupakan satu-satunya pulau besar di kepulauan Nusantara
yang menjadi ajang persaingan antara Belanda dan Inggris dalam memperluas
wilayahnya. Bagi Inggris, Kalimantan dinilai memiliki letak yang strategis karena
letaknya mengapit jalur perdagangan dari Cina ke India. Karena itulah Inggris tidak
mentolelir kemungkinan adanya kekuatan Eropa lainnya yang bercokol di daerah itu,
khususnya Kalimantan Utara dan Barat. Sebaliknya, kepentingan Belanda terhadap
Kalimantan lebih bersifat penjajahan. Belanda melihat Kalimantan sebagai sarang
bajak laut dan orang-orang Cina yang anti-Belanda. Meskipun sumber daya alam di
pedalaman pulau ini tidak dikenalnya, namun demi keamanan, Belanda berminat
menguasai pesisir selatan dan barat pulau ini.
Langkah pertama, Belanda menawarkan kepada raja-raja di Kalimantan untuk
hidup secara damai di bawah lingkungan Hindia Belanda. Pada dasawarsa 1820-an
dan 1830-an, pemerintah kolonial Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan
Pontianak, Mempawah, Sambas dan negeri-negeri kecil di pesisir barat lainnya. Di
Banjarmasin dan Kalimantan Tenggara, Belanda tidak usah memeras keringat karena
sultan Banjarmasin masih menghormati perjanjiannya dengan VOC.
Hingga tahun 1840, kepentingan Belanda di daerah Kalimantan dapat
dikatakan hanya terbatas pada daerah-daerah pesisir. Perhatian itu kemudian berubah
setelah James Brooke memasuki Serawak dan diangkat sebagai raja muda oleh
Sultan Serawak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial Belanda khawatir dengan
kemungkinan masuknya kekuatan Eropa lainnya ke Kalimantan. Oleh sebab itu
Belanda memandang perlu untuk menghadirkan kekuatannya di pulau tersebut
sekaligus memperluas wilayah jajahannya. Perhatian Belanda terhadap Kalimantan
menjadi semakin kuat, terutama setelah tahun 1846 ditemukan batubara, sehingga
wilayah ini mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar bagi pemerintah kolonial
Belanda.
Kebijakan baru Belanda itu tentu saja ditentang para raja di Kalimantan,
termasuk yang terikat perjanjian dengan Belanda sebelumnya. Perlawanan yang
cukup besar terjadi antara tahun 1859-1863, yang dikenal sebagai Perang
Banjarmasin. Konflik ini berawal dari campur tangan Belanda dalam proses
penggantian Sultan Banjarmasin. Setelah Sultan Adam meninggal tahun 1857, pihak
istana menghendaki Pangeran Hidayatullah, naik takhta sebagai pengganti Sultan
Adam. Akan tetapi Belanda menunjuk Pangeran Tamjidillah, yang tidak disukai
karena terkenal sebagai pemabuk, menjadi sultan yang baru. Dukungan Belanda
sendiri dikarenakan Tamjidillah telah menjanjikan konsesi yang lebih besar daripada
yang dijanjikan Pangeran Hidayatullah kepada Belanda. Tindakan sewenang-wenang
Belanda itu akhirnya menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di kalangan para
bangsawan pendukung Hidayatullah serta masyarakat Banjarmasin.
Pada bulan April 1859, seorang bangsawan Banjarmasin bernama Pangeran
Antasari, bekerjasama dengan pemimpin petani bernama Panembahan Aling dan
anaknya yang bernama Sultan Kuning, melancarkan perlawanan. Mereka
menyerang pertambangan batu bara milik Belanda dan pos-pos misionaris serta
membunuh orang-orang Eropa yang mereka jumpai. Pihak Belanda terpaksa
mendatangkan bala bantuan dari daerah lain untuk memadamkan perlawanan itu.
Pada tahun 1860 pemerintah Belanda mengumumkan penghapusan
Kesultanan Banjarmasin dan menempatkan daerah ini langsung di bawah Hindia
Belanda. Namun perlawanan rakyat itu sendiri baru dapat diatasi pada tahun 1863,
setelah para pemimpinnya meninggal (seperti Pangeran Antasari) dan ditangkap
(seperti Pangeran Hidayat). Akan tetapi perlawanan sporadis masih tetap terjadi
hingga tahun 1906.
A.7. Perlawanan Rakyat Palembang dan Jambi
Selain Minangkabau, di beberapa daerah di Sumatera yang pernah terikat perjanjian
dengan VOC, juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Salah satu di antaranya
terjadi di Palembang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Badaruddin. Ketika
Inggris menyerbu Jawa pada tahun 1811, Sultan Badaruddin mempergunakan
kesempatan itu untuk menyerang dan membantai garnisun Belanda yang berada di
Palembang. Sikap keras Sultan Badaruddin ini juga diperlihatkan kepada Inggris
sehingga pada tahun 1812 Inggris menyerang dan merampok istana Palembang dan
melantik adik Badaruddin sebagai raja dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin.
Ketika Belanda kembali ke Nusantara, pada tahun 1818 mereka mengirimkan
ekspedisi militer ke Palembang dan menangkap Najamuddin, yang kemudian
diasingkan ke Batavia. Mereka kemudian menunjuk Badaruddin untuk
menggantikannya. Akan tetapi, kemudian terjadi bentrokan antara Belanda dan
Sultan Badaruddin. Pada tahun 1819 Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke
Palembang untuk menaklukkan kerajaan itu namun berhasil dipukul mundur oleh
Badaruddin. Baru pada tahun 1823 kekuatan Badaruddin dapat dikalahkan dan
Belanda menempatkan Palembang di bawah kekuasaan langsung Batavia.
Selain Palembang, Jambi juga dikenal sebagai daerah yang sudah lama
menjalin hubungan dengan VOC. Ketika Belanda kembali ke daerah ini, Sultan
Jambi Muhammad Fakhruddin (1833-41) bersedia bekerjasama dengan Belanda,
bahkan meminta bantuan Belanda untuk menumpas para bajak laut di wilayahnya.
Akan tetapi, ketika kesultanan berada di tangan Ratu Taha Saifuddin (1855-58)
keadaan berubah. Ratu tidak mau meneruskan kerja sama dengan Belanda sehingga
pada tahun 1858 Belanda menyerang Jambi. Ratu Taha berhasil meloloskan diri ke
pedalaman dan terus mengadakan perlawanan hingga terbunuh pada tahun 1904.
Pada tahun1899, Sultan Jambi terakhir yang diakui Belanda, yaitu Ahmad
Zainuddin (1885-1899), mengundurkan diri. Oleh karena Belanda kesulitan mencari
penggantinya maka pada tahun 1901 kesultanan Jambi diserahkan penanganannya kepada residen Belanda di Palembang. Tindakan Belanda ini menimbulkan
perlawanan yang tidak dapat diatasi hingga tahun 1907.
A.8. Perlawanan rakyat Batak (Si Singamangaraja), 1878-1907
Sewaktu terjadi perlawanan kaum Padri, pengaruh Belanda juga menembus wilayah
Batak yang terletak di sebelah utara Minangkabau. Pasukannya bergerak menduduki
Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok, Tapanuli dan sekitarnya. Kaum Padri
telah membantu penyebaran agama Islam di kalangan rakyat Batak, dan sejak tahun
1850-an Belanda membantu kristenisasi dengan mengirimkan Dr. N. Van der Tuuk.
Kedatangannya disambut dengan penuh kebencian oleh rakyat, sehingga ia hampir
terbunuh oleh rakyat. Namun dengan cara mengaku sebagai keturunan Si Singa
Mangaraja X yang tewas dalam Perang Padri, ia berhasil membebaskan dirinya,
bakan pada tahun 1853 ia diterima oleh Si Singa Mangaraja XI di Bakara.
Sejak tahun 1860 missi Kristen mulai banyak memasuki Silindung dan Toba,
pos-pos zending juga mulai berdiri di daerah tersebut. Sejalan dengan itu pemerintah
kolonial mengerahkan skspedisi militenya ke daerah Barus dan Singkel dan
kemudian memasuki daerah pedalaman Aceh.
Dalam keadaan seperti itu, Si Singa Mangaraja XI meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya, Patuan Bosar Ompu Pulo Batu dengan gelar Si Singa
Mangaraja XII. Berbeda dengan atahnya, Si Singa Mangaraja XII memandang
gerakan kristenisasi akan membahayakan tanah Batak dan menggoyahkan
kedudukkannya.
Sekitar tahun 1877 Si Singa Mangaraja mengadakan kampanye keliling
daerah untuk mengajak rakyat mengusir zending-zending Kristen dan mencegah
kegiatan mereka. Sejalan dengan itu terdengar isu bahwa Si Singa Mangaraja XII
dengan bantuan Sultan Aceh merencanakan penyerangan ke zending di Silindung,
dan mempersenjatai rakyatnya dengan 50 pucuk senjata. Isu itu akhirnya terdengar
oleh garnisun militer Belanda di Sibolga, sehingga pada tanggal 8 Januari 1878
tentara di pos Sibolga diperintahkan untuk berjaga-jaga di daerah Silindung dan
mempersiapkan diri menghadapi serangan Si Singa Mangaraja. Masuknya militer Belanda ke Silindung segera dijawab oleh Si Singa Mangaraja XII dengan
pernyataan perang.
Pada waktu itu rakyat Batak tidak memiliki organisasi politik yang lebih
tinggi kecuali kesetiaan tertentu terhadap seorang raja yang diperdewakan yang
bernama Si Singamangaraja di Bangkara. Oleh karena itu perlawannya terhadap
tentara kolonial menjadi tidak padu. Kondisi ini diperparah oleh persenjataannya
yang masih tradisional dibandingkan dengan pasukan Belanda. Namun karena
semangat mempertahankaan tradisi dan kemerdekaannya membuat pihak Belanda
sangat sulit mematahkan perlawanan itu dengan cepat.
Dengan memanfaatkan benteng alam dan juga beberapa benteng buatan,
beberapa kali pasukan Si Singa Mangaraja berhasil mematahkan serangan Belanda.
Dan untuk menghindari sergapan Belanda, berkali-kali Si Singa Mangaraja
memindahkan pusat pertahanannya. Sampai akhir abad ke-19 Si Singa Mangaraja
XII masih terus melakukan perlawanan. Barulah pada awal tahun 1907 pasukan
Belanda mampu memotong hubungan Si Singa Mangaraja dengan Aceh dan
membatasi ruang gerak pasukan Si Singa Mangaraja di sekitar Barus-Sidikalang dan
Singkel.
Akhirnya pada bulan Juni 1907, berkat laporan penduduk yang pro-Belanda,
pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menemukan
Si Singa Mangaraja di dekat Aik Sibulbulon, daerah Dairi. Dalam kondisi terkepung
dan sangat lemah, Si Singa Mangaraja beserta pengikutnya tetap melakukan
perlawanan. Dalam pertempuran itu Si Singa Mangaraja beserta dua orang
puteranya, Sutan Nagari dan Patuan Anggi serta seorang puterinya Lopian termasuk
orang-orang yang gugur bersama para pengikut lainnya. Istrinya dan anak-anaknya
yang lain yang masih hidup kemudian ditangkap dan ditawan yang kemudian
dibuang ke luar daerah Batak. Semua harta pusaka Si Singa Mangaraja dirampas oleh
Belanda.
A.9. Perang Belanda di Aceh (1873-1912)
Berdasarkan Perjanjian London, Belanda tidak boleh mengganggu kedaulatan Aceh.
Akan tetapi, perkembangan di Aceh antara dasawarsa 1850-an dan 1860-an membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi cemas dan tidak bisa membiarkan Aceh tetap
merdeka. Di antara perkembangan tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dari
Aceh untuk membiarkan pihak-pihak luar (seperti Amerika Serikat, Turki, dan
kekuatan Eropa lainnya selain Inggris dan Belanda) ikut campur di wilayah ini. Atas
dasar itu pada tahun 1857 Belanda kembali menghidupkan perjanjian dengan Sultan
Siak dan memasukkan kesultanan ini sebagai wilayah Belanda. Perjanjian ini jelas
melanggar yurisdiksi Aceh, karena batas-batas Siak ditarik sampai ke Alas dan
Langkat, yang termasuk wilayah hukum Aceh.
Inggris pun marah atas tindakan Belanda itu sehingga mengirimkan kapal
perangnya ke pelabuhan-pelabuhan lada di wilayah Alas dan Langkat. Akan tetapi
sikap Inggris kemudian berubah dan ‘mengizinkan’ Belanda untuk meneruskan
ekspedisinya ke wilayah Aceh. Salah satu faktor yang mendorong perubahan sikap
itu adalah terjadinya persaingan di antara kekuatan Eropa (termasuk Amerika
Serikat) dalam memperluas daerah jajahan. Menurut pertimbangan Inggris, akan
lebih baik apabila Aceh berada di bawah kekuasaan Belanda daripada jatuh ke
tangan Perancis atau Amerika Serikat. Pada November 1871 Inggris dan Belanda
mengadakan suatu kesepakatan di mana Belanda mendapatkan kebebasan mutlak di
Sumatra. Sebagai gantinya, Belanda menyerahkan Pantai Emas di Afrika,
memperbolehkan Inggris mengirim kuli-kuli India ke Suriname (jajahan Belanda di
benua Amerika), serta memberikan hak yang sama kepada Inggris dalam
perdagangan dari Siak ke utara.
Pada awal tahun 1873 konsul Amerika di Singapura mengadakan
pembicaraan dengan utusan Aceh mengenai kemungkinan terwujudnya suatu
perjanjian Aceh-Amerika Serikat. Situasi seperti itu telah mendorong Belanda untuk
segera masuk ke Aceh. Pada bulan Maret 1873, Belanda menyerang Kutaraja dan
mendaratkan pasukan berkekuatan 168 perwira dan 3.200 orang prajurit. Akan tetapi
serangan itu berhasil dipukul mundur pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku
Imam Lueng Bata. Bahkan panglima ekspedisi itu, yaitu Mayor Jenderal J.H.R.
Kohler, terbunuh. Oleh karena penyebab perang ini adalah Belanda, maka orangorang
Aceh waktu itu menyebutnya “Perang Belanda di Aceh”.Belanda berusaha menebus kekalahan itu dengan mengirimkan ekspedisi
kedua yang berkekuatan tiga kali lipat dari ekspedisi yang pertama. Selain itu,
angkatan laut Belanda melakukan blokade terhadap perairan Aceh, terutama jalurjalur
yang menghubungkan Aceh dengan tetangganya di Semenanjung Malaya,
seperti Penang. Sasaran utama penyerangan Belanda adalah istana kesultanan karena
mereka percaya bahwa jatuhnya istana akan menghentikan perlawanan Aceh.
Setelah melalui pertempuran sengit, pada tanggal 24 Januari 1874, pasukan
Belanda berhasil menduduki istana Kutaraja. Akan tetapi Sultan Mahmudsyah dan
kerabatnya berhasil meloloskan diri. Meskipun demikian, panglima Belanda, Letnan
Jenderal J. van Swieten, mengumumkan bahwa kerajaan Aceh telah berhasil
ditaklukkan dan daerah Aceh Besar dinyatakan sebagai milik pemerintah Hindia
Belanda.
Jatuhnya istana Kutaraja dan penghapusan kesultanan Aceh oleh Belanda
ternyata tidak menyurutkan perlawanan Aceh. Rakyat tetap mengakui keberadaan
kesultanan Aceh. Perlawanannya pun tidak lagi sekedar perlawanan kerajaan tetapi
telah menjadi perlawanan rakyat Aceh. Kebencian rakyat Aceh terhadap orang-orang
Belanda yang dinilai sebagai orang kafir telah mengobarkan semangat perang jihad
di kalangan rakyat Aceh. Dalam perkembangannya, sejak tahun 1881 terjadi
pergeseran kepemimpinan dalam perlawanan rakyat Aceh. Apabila sebelumnya
perlawanan terutama dipimpin oleh para bangsawan atau petinggi istana, maka kini
pimpinan perlawanan didominasi oleh para alim-ulama. Salah satu tokoh ulama yang
terkenal adalah Tengku Cik di Tiro (1836-1891). Perlawananpun telah berubah
menjadi perang suci, perang fisabilillah.
Dalam situasi seperti itu akhirnya Belanda menemukan pemecahan dalam
kebijakan yang diajukan oleh Dr. Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dan
Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924). Snouck Hurgronje adalah seorang
ilmuwan Belanda yang ahli tentang Islam. Sejak tahun 1891 hingga 1906 dia menjadi
penasehat utama pemerintah kolonial dalam masalah Islam dan penduduk asli.
Menurutnya untuk melawan rakyat Aceh fanatik di bawah pengaruh para ulama,
tiada jalan lain kecuali menumpasnya. Namun di samping itu kekuatan mereka dapat dipecah melalui pendekatan kepada para uleebalang yang dinilai lebih sekuler
(semacam para priyayi di Jawa atau penghulu di Minangkabau). Adapun van Heutsz
adalah seorang jenderal yang sudah lama berpengalaman dalam perang Aceh, yang
kemudian diangkat sebagai Gubernur Aceh (1898-1904).
Berdasarkan nasehat Snouck Hurgronje inilah pihak Belanda melakukan
pendekatan kepada para uleebalang dan upaya itu secara berangsur-angsur
membuahkan hasil. Banyak kaum uleebalang yang mau berkompromi yang nantinya
berbuah perpecahan di kalangan masyarakat Aceh.
Sekitar tahun 1903 dibentuk suatu pemerintahan yang benar-benar stabil
berdasarkan hasil persekutuan dengan para uleebalang yang mau berkompromi. Pada
tahun itu pula Sultan Tuanku Daud Syah menyerah karena mendapat ultimatum dari
pihak Belanda yang akan membunuh anak dan isterinya yang telah tertangkap pada
bulan November 1902. Meskipun demikian dia tetap menjalin hubungan dengan para
gerilyawan. Bahkan pada tahun 1905 dia berusaha menjalin hubungan dengan konsul
Jepang di Singapura untuk merencanakan serangan terhadap garnisun Belanda di
Banda Aceh. Tapi upaya itu gagal dan Sultan diasingkan. Dalam tahun 1903 pula
Panglima Polem Muhammad Daud, pemimpin militer utama dalam tahun-tahun
terakhir, juga menyerah.
Sejak Sultan menyerah dalam periode 1903-1912 justru terjadi kericuhan
sosial. Pada masa ini Van Heutsz diangkat menjadi Gubernur Jenderal (1904-1909).
Kedudukannya sebagai Gubernur Aceh digantikan oleh Letnan Kolonel G.C.E. van
Daalen, yang menjalankan pemerintahannya secara kejam. Banyak ulama terkemuka
Aceh yang mati syahid. Menurut kolonial verslag tahun 1908 tindakan van Daalen
yang bertujuan agar Aceh aman, justru mendorong semakin bertambahnya
perlawanan yang dilakukan secara sistematis. Pihak Belanda menilai banyak
perlawanan itu karena rakyat mendapat dukungan Sultan, yang berarti Sultan telah
melanggar perjanjian.
Meskipun perang Aceh dianggap berakhir pada tahun 1912 dan pejuang Aceh
berangsur-angsur menyerah, namun serangan terhadap orang-orang Belanda di sanasini
masih tetap berlangsung. Sejak tahun 1910 hingga 1921 tercatat ada 79 kali pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Dan perlawanan terakhir yang cukup
besar terjadi tahun 1927 di Bakongan.
B. Gerakan Sosial
Sejak Zaman Ekonomi Liberal, penetrasi sekaligus dominasi ekonomi Barat
masuk hingga ke tingkat desa. Akibatnya, hal tersebut tidak saja membawa
perubahan dalam masalah ekonomi saja tetapi juga dalam bidang sosial budaya.
Penetrasi tersebut banyak menimbulkan kekacauan pada pranata dan struktur sosial
setempat, baik dari segi nilai, norma ataupun fungsinya. Bahkan banyak lembagalembaga
atau pranata sosial yang sebelumnya sering dijadikan tempat untuk
menyalurkan perasaan ketidakpuasan, tidak berfungsi lagi.
Dalam perkembangannya, penetrasi asing ke dalam kehidupan desa itu bukan
hanya menimbulkan keresahan namun juga konflik berdarah. Adapaun konflik
tersebut dimotori oleh kelompok-kelompok pedesaan yang merasa tertindas atau
kesulitan untuk mengimbangi dampak yang ditimbulkan penetrasi Barat ke
wilayahnya. Pemerintah kolonial banyak memberikan istilah terhadap gerakangerakan
itu, seperti “huru-hara”, ‘kerusuhan”, “gerakan Ratu Adil”, “gerakan Imam
Mahdi”, “gerakan rohaniawan”, atau memberi nama sesuai dengan ideologinya atau
nama pemimpin gerakan tersebut, seperti “gerakan Madrais”, “Gerakan Samin”, dan
sebagainya. Sementara para ahli sejarah dan ilmu sosial menyebut gerakan-gerakan
ini sebagai gerakan sosial.
Daerah yang paling banyak terjadi huru-hara atau pemberontakan adalah
daerah tanah partikelir, yang banyak terdapat di wilayah Jawa Barat (termasuk
provinsi Banten). Hal ini terjadi dalam kepemilikan tanah partikelir, para pemiliknya
yang disebut sebagai tuan tanah tidak hanya diberi kekuasaan untuk memilik bidang
tanahnya saja, melainkan juga penduduk yang ada di atasnya. Di samping itu para
tuan tanah diberikan hak istimewa yang dilindungi undang-undang. Dengan hak
istimewanya itu para tuan tanah mempunyai keleluasaan dalam mengeksploitasi
tanah miliknya, dan banyak di antaranya melakukan eksploitasi secara berlebihan,
sehingga menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk setempat. Adapun pemberontakan petani yang terjadi di daerah ini antara lain: di Cirebon (1811),
Ciomas, Bogor (1886), Bekasi (1913) dan Tanjung Oost (di kalangan masyarakat
Betawi dikenal dengan sebutan pemberontakan Entong Gendut tahun 1916).
Setelah munculnya organisasi-organisasi sosial dan politik yang didirikan
orang-orang pribumi, pengaruhnya terlihat pula dalam beberapa gerakan sosial.
Tahun 1918 misalnya, terjadi satu gerakan pembangkangan oleh keluarga Haji Hasan
dari Cimareme, Garut (Keresidenan Priangan) terhadap tuntutan pemerintah kolonial.
Haji Hasan menolak menjual padinya kepada pihak pemerintah dengan jumlah dan
harga yang telah ditentukan pihak pemerintah. Akibatnya, pemerintah menyerbu
rumahnya, sehingga Haji Hasan beserta sebagian besar keluarganya tewas di tempat.
Menurut pihak pemerintah, Haji Hasan adalah anggota Sarekat Islam (SI) afdeling-B.
Dalam tahun yang sama di Toli-Toli, juga terjadi pembangkangan petani terhadap
tuntutan pihak pemerintah kolonial, yang juga oleh pihak pemerintah dikatakan
dihasut oleh SI afdeling-B.
Di samping itu, penetrasi ekonomi kapitalisme juga telah mendorong
munculnya beberapa gerakan sektarian. Yang dimaksud dengan gerakan sektarian di
sini adalah beberapa gerakan keagamaan yang muncul sebagai reaksi terhadap
kepercayaan atau agama besar yang ada, yang dinilai sudah tidak mampu menjawab
tantangan zaman, atau menjadi penyebab terpuruknya kesejahteraan mereka.
Misalnya ada herakan Syahadat Kalimusada, Mad Rais dan Kaum Wira’i.
Secara garis besar gerakan-gerakan sosial di Indonesia dapat dikelompokkan
ke dalam enam karegori, yaitu perbanditan, protes, revivalistis, nativistis,
messianistis-millenaristis, perang suci atau perang sabil.
Perbanditan adalah suatu gerakan yang bersifat bertentangan dengan pihak
yang berkuasa atau bertentangan dengan tata tenteram masyarakat, seperti
perampokan, penyamunan. Sebagai contoh gerakan dibawah pimpinan Mas Jakaria
di Banten, pemberontakan Bagus Sunda dan Bagus Jabin di daerah Cirebon (1816).
Kemudian di Surakarta sekitar tahun 1870 dikacaukan oleh gerombolan kecu di
bawah pimpinan Jadangsa dari Sragen. Selain itu pada tahun 1876 daerah utara
Madiun mendapat gangguan keamanan dari gerombolan R. Tirtadireja. Termasuk dalam kategori ini adalah kegiatan mengambil “paksa” harta benda orang-orang kaya
yang kikir atau pejabat pemerintah yang korup atu otoriter, untuk dibagi-bagikan
hartanya kepada rakyat miskin. Para bandit seperti ini disebut oleh Eric J. Hobsbawm
sebagai “bandit sosial”.
Gerakan protes adalah aksi kolektif menentang ketidak adilan atau merusak
peraturan yang dirasakan tidak adil. Sebagai contoh, pada tahun 1839 rakyat
Karawang menuntut agar wedana yang ada waktu itu diganti karena tidak termasuk
keluarga bupati daerah tersebut; di Banyumas pada tahun 1850 penduduk menolak
untuk bekerja tanpa dibayar di bangunan-bangunan pertahanan yang ada di Cilacap;
kemudian dalam tahun yang sama, para petani dari bagian utara Demak beramairamai
datang ke Semarang untuk menuntut agar pembayaran pajak tanah dapat
dilakukan secara natura yaitu dengan menyetor padi; dan pada tahun 1853 para
petani Pasuruan datang ke Surabaya untuk menyatakan penolakannya terhadap
kewajiban penanaman tembakau.
Gerakan nativistis adalah semacam gerakan protes karena merasa tidak
puas, namun di dalamnya terkandung tujuan (isu-isu) untuk menegakkan kembali
kerajaan kuno yang diyakini merupakan “masa kejayaan” mereka. Gerakan nativistis
ini misalnya menegakkan kembali kesultanan Banten; lalu gerakan Raksa Praja di
Priangan tahun 1841 yang ingin menegakkan kerajaan Sunda; dan gerakan Nurhakim
tahun 1871 yang ingin menegakkan kembali kerajaan Jawa.
Gerakan revivalistis yaitu kegiatan yang bertujuan untuk membangkitkan
kembali nilai-nilai atau norma-norma lama; dan menuntut agar masyarakat lebih
rajin menjalankana syariat agamanya. Mereka yakin dengan tindakan itu kehidupan
mereka akan lebih tenteram dan sejahtera. Gerakan semacam ini antara lain terlihat
dari geakan tarekat-tarekat seperti terjadi di Banten dalam gerakan tarekat Kadiriyah;
gerakan tarekat Naksabandiyah di Priangan Barat; dan gerakan tarekat Satariyah di
Banyumas.
Gerakan messianistis adalaah gerakan yang memuat harapan kedatangan
Ratu Adil atau Imam Mahdi yang diyakini akan membawa perubahan kearah
kehidupan yang lebih adil dan sejahtera. Peristiwa yang terjadi di Cilegon, Srikaton,dan peristiwa Jasmani yang ketiganya terjadi pada tahun 1888 termasuk ke dalam
kategori gerakan messianistis.
Perang suci atau perang sabil adalah gerakan sosial yang dijiwai oleh
semangat perang di jalan agama seperti yang terjadi di Bandung pada tahun 1885,
peristiwa Gedangan, Sidaarja pada tahun 1904, peristiwa Pak Jebrak di Brangkal
tahun 1919 dan peristiwa Cimareme di bawah pimpinan Haji Hasan yang terjadi juga
pada tahun 1919.
Sebagai catatan berdasarkan hasil studinya yang lebih mutakhir, Sartono
Kartodirdjo membagi gerakan-gerakan sosial itu ke dalam empat kelompok, yaitu
gerakan anti pemerasan (anti-extortion movement), gerakan messianistis, gerakan
revivalistis dan sectarian; serta gerakan Sarekat Islam Lokal.
Seperti halnya perlawanan-perlawanan lainnya, gerakan-gerakan sosial
tersebut yang semula banyak dipimpin oleh para pemimpin tradisional local yang
mengandalkan kharismanya, sejak munculnya organisasi-organisasi “kebangsaan’
yang relative modern, maka pimpinan gerakan-gerakan sosial yang menuntut
keadilan itu banyak berpindah kepada para pemimpin organisasi kebangsaan.
Munculnya Sarekat Islam sendiri pada awalnya adalah sebagai respon terhadap
ketidak adilan dalam bidang ekonomi perdagangan, yang membuat para pedagang
Cina dapat mendominasi perdagangan batik pada khususnya. Demikian pula
gerakan-gerakan pemogokan, baik yang dikordinir oleh para pemimpin SI atau pun
oleh Sarekat Rakyat atau PKI, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari gerakan
protes seperti yang pernah terjadi pada abad ke-19.
Setelah Indonesia merdeka, gerakan-gerakan sosial juga sering terjadi
walaupun sifatnya agak berlainan dengan yang terjadi pada masa kolonial. Pola
ideologinya memang ada yang hampir sama seperti gerakan revivalistis atau gerakan
protes lainnya. Namun jika ditelusuri secara lebih mendalam, penyebabnya relative
sama pula, yaitu munculnya rasa tidak puas atas peraturan atau pun perlakuan yang
dinilai tidak adil dan membebani kehidupan mereka

0 komentar:

Posting Komentar