Posting kali ini
tentang Puisi karya Chairil Anwar. Sebelumnya apa kabar nih sahabat blogger
semuanya ? mudah-mudahan baik ya, amin.
Chairil Anwar adalah seorang penyair terkemuka asal Medan yang lahir pada
tanggal 26 Juli 1922. Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra
setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942,
saat itu ia baru berusia 20 tahun.[6] Hampir semua puisi-puisi yang ia
tulis merujuk pada kematian.[6] Namun saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya dimmajalah Pandji Pustaka untuk
dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak
sesuai dengan semangat Kawasan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Banyak sekali karya-karya beliau sehingga dia dijuluki sebagai "Si
Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku). Ia diperkirakan telah menulis 96
karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada
masa penjajahan Belanda.
Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18
tahun, ia tidak lagi bersekolah.[3] Chairil mengatakan bahwa sejak
usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.[4]
Chairil Anwar
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 28 April 1949, meskipun beliau sudah
meninggal namun karya-karyanya selalu dikenang oleh seluruh penggemarnya.
AKU
Karya: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Derai-derai Cemara
Karya: Chairil Anwar
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Tuti Artic
Karya: Chairil Anwar
Antara bahagia sekarang dan
nanti jurang ternganga,
adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola
isteriku dalam latihan; kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
-ketika kita bersepeda kuantar kau pulang -
panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,
Lagu Siul
Karya: Chairil Anwar
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Tak Sepadan
Karya: Chairil Anwar
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak saru juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja
Cinta adalah bahaya yang
lekas jadi pudar.
Cintaku Jauh di Pulau
Karya: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Sajak Putih
Karya: Chairil Anwar
Bersandar pada tari warna
pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu mengalun bergelut
senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak
membelah…
Prajurit Jaga Malam
Karya: Chairil Anwar
Waktu jalan. Aku tidak tahu
apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
Cintaku Jauh di Pulau
Karya: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Yang Terampas Dan Yang
Terputus
Karya: Chairil Anwar
Kelam dan angin lalu
mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi
lepaskan kisah baru padamu;
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
Rumahku
Karya: Chairil Anwar
Rumahku dari unggun-timbun
sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
Senja Di Pelabuhan
Kecil
Karya: Chairil Anwar
Ini kali tidak ada yang
mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri.
Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Malam
Karya: Chairil Anwar
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
Thermopylae?
jagal tidak dikenal?
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Malam Di Pegunungan
Karya: Chairil Anwar
Aku berpikir: Bulan inikah
yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Krawang – Bekasi
Karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring
antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam
hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang
kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang
berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang
untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam
hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Hampa
Karya: Chairil Anwar
Sepi di luar. Sepi menekan
mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Doa
Karya: Chairil Anwar
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cahyaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Karya: Chairil Anwar
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri
asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
Diponegoro
Karya: Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan
menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Karya: Chairil Anwar
Ini barisan tak
bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Sekian posting kali ini, semoga bermanfaat. Sampai berjumpa kembali dilain
kesempatan