Sabtu, 27 Februari 2016

Buah Nangka yang Hilang

Buah Nangka yang Hilang
Oleh : Rahap Ganendra
Riuh rendah suara anak-anak ramai di halaman rumah Mbah Gino. Halaman yang cukup luas itu memang setiap harinya dipakai untuk ngumpul anak-anak tetangga. Ada yang bermain lompat tali, ada juga yang bermain bola plastik dan lain-lain. Namun yang lebih menyenangkan mereka adalah karena sering didongengin cerita-cerita lucu dan menarik. Mbah Gino paling jago kalo lagi dongeng.
“Mbah jadi bikin kolaknya?” Tanya Lastri, cucu perempuan Mbah Gino yang tiba-tiba menyembulkan kepala di dapur. Lastri menemani tinggal di rumah itu, sejak suami Mbah Gino meninggal 4 tahun lalu. Rumah orangtua Lastri berdampingan dengan rumah Mbah Gino.
“Iya jadi Nduk, khan mbah udah janji. Nanti ajak teman-teman lainnya ya,” jawab mbah Gino sambil membelah sebuah nangka matang untuk bahan kolak, menjadi dua bagian. Nangka hasil memetik di pohon belakang rumah kemarin.
“Njiih mbah,” Lastri kegirangan lalu berlari, kembali bermain dengan teman-temannya.
Mbah Gino lalu kembali sibuk menyiapkan bahan lainnya. Ada pisang, nangka, singkong dan lain-lain. Beberapa bahan sudah diiris-iris. Semua bahan sudah lengkap, namun ada satu yang belum ada.
“Hmmm, santan belum ada,” gumam mbah Gino sendirian. Bergegas ia pergi ke rumah anaknya, yakni orangtua Lastri disebelah rumah. Dia bermaksud minta tolong Bapaknya Lastri untuk memetik kelapa dua buah.
***
Nangka itu tinggal separoh. Mbah Gino kebingungan. Ia melihat kesana kemari di ruangan dapur yang tak seberapa besar itu. “Apa aku sudah pikun.Perasaan, nangkanya tadi kubelah jadi dua, mana yang separohnya ya? Masak sih hilang.”
Mbah Gino resah. Bukan soal nangkanya hilang, toh masih ada sisanya yang bisa dipakai sebagai bahan kolaknya, namun dia sedih jika ada yang mengambilnya tanpa ijin. Mencuri. Dia tak berani menduga buruk, bahwa ada yang mengambilnya. Terlebih lagi jika anak-anak yang bermain di halaman itu.
“Semoga tidak dicuri.”
***
Kolak satu baskom itu sudah habis. Anak-anak suka sekali nampaknya. Mereka gembira menikmati bersama-sama. Tak lupa mendengarkan dongengan lucu mbah Gino di sore itu.
“Kami pulang dulu, besok kami main lagi kesini dan dongengin lagi yaa mbah.”
Satu persatu anak-anak berpamitan, dan berebut mencium tangan Mbah Gino. Tatakrama, kebiasaaan yang biasa dilakukan di kampung terhadap orangtua.
“Iyaa anak-anak. Ingat kalian boleh bermain tapi jangan lupa belajar.”
“Njiihh mbaaaah!!” jawab mereka serempak. Lalu berlarian bergegas pulang.
“Anton kesini dulu. Mbah mau ngomong.”
Seorang anak yang dipanggil dengan nama Anton pun menghampiri Mbah Gino. Sementara anak-anak yang lain bergegas pulang. Anton masih kelas 3 Sekolah Dasar, teman Lastri, cucu Mbah Gino. Setelah Anton duduk, Mbah Gino dengan suara pelan bertanya.
“Anton, mbah Cuma mau tanya. Jawab yang jujur yaaa… apakah tadi Anton ambil buah nangka di dapur?”
“Hmm …” Anton ragu-ragu menjawab. Ia lalu menunduk. Mbah Gino hanya tersenyum.
“Gak apa-apa, Anton ga usah takut, mbah gak marah kok.”
“Iiii … yyyy… aaaa mbah, Anton yang mengambilnya. Mmmaaaffin Anton mbah.”
“Iya gak apa-apa. Tapi mengapa Anton lakukan? Khan bisa minta sama mbah?”
“Tadi pas saya ambil minum di dapur, dan lihat nangka itu, Anton ingat adik yang di rumah. Kemarin saya janji kasih dia buah nangka mbah. Lalu aku ambil nangka itu, dan kukasih sama dia. Maafin Anton mbah. Anton salah,” jawab Anton menunduk.“Oooo… Anton, mbah senang kamu mau mengakui kesalahan. Artinya kamu tau, bahwa mencuri itu tidak baik. Kamu juga baik, memenuhi janji kepada adikmu, namun tidak boleh dengan cara yang tidak baik yaaa. Mengambil milik orang lain tanpa ijin dapat merugikan pada diri sendiri maupun orang yang memiliki barang itu. Orang yang mengambil akan berdosa, dan orang yang kehilangan barang akan sedih, susah karenanya. Lain kali saat menginginkan sesuatu, kita tidak boleh mengambil milik orang lain tanpa ijin yaaa,” nasehat Mbah Gino penuh kasih. Anton mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yaa sudah, yang penting Anton tidak mengulanginya lagi yaaa…. sekarang kamu boleh pulang,”
“Iya, Mbah, Anton mengerti. Terima kasih.”
Anton lalu menyalami mbah Gino dan mencium punggung telapaknya. Sesaat dia ragu-ragu. Seperti ada yang mengganggu pikirannya.
“Mbah. Bolehkah saya bertanya?”
“Yaaa, kenapa Anton?”
“Eemm…eemm… darimana Mbah tau kalo saya yang mengambil nangka itu?”
“Heheheeeee…. ,” Mbah Gino hanya tertawa terkekeh kekeh. Anton menjadi kebingungan. Dia semakin penasaran. Soalnya saat mengambil nangka tadi tidak ada orang disana. Dia hanya sendirian. Tapi kok Mbah tau. Dia makin bingung.
“Udahlah Anton, ini kamu cuci tanganmu dengan minyak ini. Tuh tanganmu lengket. Heheheheee,” jawab Mbah Gino sambil menyodorkan ‘jelantah’ atau minyak goreng bekas dalam gelas.
Ooo Anton baru sadar, telapak tangannya terasa lengket, kena ‘pulut’ getah buah nangka tadi.

0 komentar:

Posting Komentar